Teruntuk Dina, sahabatku..
Din, semoga album ini bisa menjadi obat rindu suatu saat nanti kala kamu merinduku, kebersamaan kita. Din, makasih, kamu udah mau jadi sahabatku. Tak banyak menuntutku harus begini begitu. Aku senang. Terakhir, semoga kau tidak jadian sama abang itu, tapi jadian sama aku, hahah.
Kata -- kata terakhir dalam tulisannya itu membuatku tersenyum. Meski aku tak tau, dia serius atau hanya sekedar bergurau. Aku tutup album itu lalu aku peluk dalam-dalam. Lalu kumasukkan ke dalam tas, dan kudapati suratku untuknya masih anteng di sana. Oh, Tuhan, aku lupa menyelipkan surat itu ke dalam bingkisannya. Aku menghempaskan badanku lemas pada sandaran kursi. Inginku mengejarnya lalu kuberikan surat itu padanya. Namun, sayangnya aku tak seberani itu.
Sejak kita berpisah, aku dan dia jarang berkomunikasi meski hanya saling menanyakan kabar. Sesekali aku melihat dia mengunggah foto di akun instagramnya. Sepertinya dia sekarang menjadi aktifis dan sibuk. Mungkin itu yang membuatnya tak punya waktu untuk bertukar kabar denganku.
Sampai sekarang, surat yang kutulis untuknya masih kusimpan rapi, kuselipkan dalam album kenangan darinya. Kusandingkan dengan surat darinya. Kupandangi lagi surat darinya lalu kupeluk dalam -- dalam. Aku rindu sekali dengannya. Namun apa bisaku, kecuali hanya memeluk rindu ini erat -- erat dalam hati.
"Dina, ayo sarapan!", teriak ibuku dari dapur membuyarkan nostalgiaku pagi ini.Â
Sekian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H