Mohon tunggu...
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN Mohon Tunggu... Penulis - Pendidikan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Akun dikelola oleh Tim Media Relations

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Soroti Perlindungan Hukum bagi Tenaga Medis dan Pasien, UPH Hadirkan Narasumber Berkompeten

18 Oktober 2023   15:10 Diperbarui: 18 Oktober 2023   15:13 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah mendapatkan persetujuan dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 11 Juli 2023 dan telah resmi ditandatangani oleh Presiden RI Joko Widodo pada tanggal 8 Agustus 2023. UU ini, yang mencakup 20 bab dan 458 pasal, menjadi fokus utama dalam diskusi dan perhatian di sektor kesehatan Indonesia.

Menanggapi isu tersebut, Program Magister Hukum dari Universitas Pelita Harapan (UPH) telah menyelenggarakan Seminar Nasional dengan judul "Perlindungan Hukum bagi Tenaga Medis dan Pasien Pasca Pengesahan Undang-Undang Kesehatan." Acara seminar ini diinisiasi oleh mahasiswa angkatan 2022 dari Program Studi (Prodi) Magister Hukum UPH. Seminar tersebut diselenggarakan dalam format hybrid dan diadakan di UPH Kampus Pascasarjana pada tanggal 2 Oktober 2023.

Melalui sambutannya, Prof. Dr. Agus Budianto, S.H., M.Hum, yang menjabat sebagai Ketua Program Studi (Kaprodi) Magister Hukum UPH, mengungkapkan bahwa dengan berlakunya UU Kesehatan, sebanyak 11 peraturan hukum telah ditiadakan atau tidak berlaku lagi. Peraturan-peraturan tersebut mencakup UU Nomor 419 Tahun 1949 yang mengatur tentang Ordonansi Obat Keras; UU Nomor 4 Tahun 1984 yang berkaitan dengan Wabah Penyakit Menular; UU Nomor 29 Tahun 2004 yang mengatur tentang Praktik Kedokteran; UU Nomor 36 Tahun 2009 yang mengenai Kesehatan; UU Nomor 44 Tahun 2009 yang mengatur tentang Rumah Sakit; UU Nomor 18 Tahun 2014 yang berkaitan dengan Kesehatan Jiwa; UU Nomor 36 Tahun 2014 yang mengatur tentang Tenaga Kesehatan; UU Nomor 38 Tahun 2014 yang mengatur tentang Keperawatan; UU Nomor 6 Tahun 2018 yang mengatur tentang Kekarantinaan Kesehatan; UU Nomor 20 Tahun 2013 yang mengatur tentang Pendidikan Kedokteran; dan UU Nomor 4 Tahun 2019 yang mengatur tentang Kebidanan.

"Persetujuan undang-undang ini malah memunculkan sejumlah isu yang perlu diatasi, terutama berkaitan dengan perlindungan tenaga kesehatan serta hak dan kewajiban mereka yang sebelumnya telah diatur dalam undang-undang masing-masing. Isu-isu terkait pembentukan UU Kesehatan ini akan menjadi fokus perbincangan dalam seminar ini," ungkap Prof. Agus.

Dalam sambutannya, Dr. Velliana Tanaya, S.H., M.H., yang menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum (FH) UPH, menyatakan bahwa kemunculan peraturan baru tersebut membawa tantangan bagi tenaga kesehatan, masyarakat umum, serta para peneliti hukum.

"Kita perlu memahami tujuan dan implikasi ke depan dari proses pembentukan undang-undang ini. Ini tidak hanya relevan bagi sektor kesehatan, tetapi juga dalam konteks hukum. Saya pikir sebagai mahasiswa dan akademisi hukum, kita harus selalu memperbarui pengetahuan kita terkait perkembangan-perkembangan ini," ujar Velliana.

Melalui rekaman video, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) RI, Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD-KEMD., Ph.D., menyatakan harapannya bahwa UU yang diinisiasi oleh DPR dapat mempercepat transformasi sektor kesehatan di Indonesia dan memberikan solusi untuk beragam permasalahan kesehatan, termasuk pelayanan primer, rujukan pelayanan, ketahanan kesehatan, pendanaan, Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan, dan teknologi kesehatan.

Prof. Dante kemudian memberikan contoh terkait isu-isu terkait Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan, seperti kekurangan tenaga kesehatan, distribusi yang tidak merata, perizinan yang rumit, dan ancaman kriminalisasi terhadap mereka. Menurutnya, UU Kesehatan akan memberikan tiga manfaat signifikan. Pertama, akan ada peningkatan jumlah tenaga kesehatan yang memadai dan distribusi yang merata. Kedua, proses perizinan akan menjadi lebih cepat, sederhana, dan mudah. Ketiga, tenaga kesehatan yang rentan terhadap kriminalisasi akan diberikan perlindungan hukum khusus.

Prof. Dante juga mengangkat isu meningkatnya kasus malapraktik, yang mencapai 370 kasus pada tahun 2020. Menurutnya, peningkatan sengketa medis ini berpotensi menciptakan praktik defensive medicine, yaitu situasi di mana dokter menghindari tindakan medis berisiko tinggi untuk menghindari tuntutan atau gugatan yang berlebihan dari pasien dan pengadilan. Dalam rangka mencegah situasi ini, Prof. Dante berpendapat bahwa UU Kesehatan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dalam perlindungan hukum bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pasien.

Prof. Dante menjelaskan bahwa dalam UU Kesehatan terdapat dua pendekatan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pertama, melibatkan sebuah majelis yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran pidana dan perdata. Pendekatan ini akan menghasilkan rekomendasi apakah ada penyimpangan dari standar profesi, standar pelayanan, atau standar prosedur operasional. Kedua, UU ini memberikan prioritas pada penyelesaian sengketa melalui mekanisme keadilan restoratif.

Seminar Nasional

Dalam Seminar Nasional ini, tiga narasumber yang sangat berkompeten di bidangnya telah diundang, yaitu Prof. Dr. Dr. dr. Eka Julianta Wahjoepramono, SpBS., Ph.D., yang menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran UPH; Dr. Christine Susanti, S.H., M.Hum, seorang Dosen di FH UPH; serta dr. Mahesa Paranadipa Maikel, M.H., yang menjabat sebagai Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI).

Dalam konteks UU Kesehatan, Prof. Eka menggarisbawahi peran penting Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), yaitu lembaga yang memiliki kewenangan dalam menilai apakah terjadi pelanggaran etika oleh dokter atau dokter gigi, serta menetapkan sanksi yang sesuai dalam konteks disiplin profesi. Prof. Eka mengajukan pertanyaan mengenai sejauh mana MKDKI setara dengan sistem peradilan. Menurutnya, MKDKI perlu berfungsi sebagai lembaga independen yang memiliki kapasitas untuk menangani masalah disiplin kedokteran secara memadai.

"Apakah benar bahwa jika seorang polisi ingin menangkap seorang dokter atas tuduhan tindak pidana, prosesnya harus melalui MKDKI? Dengan kata lain, apakah MKDKI memiliki yurisdiksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengadilan dalam kasus pidana dan perdata? Apakah MKDKI lebih efektif atau lebih baik daripada sistem peradilan? Semua pertanyaan ini perlu diteliti lebih lanjut," ujar Prof. Eka.

Dr. Christine menjelaskan bahwa berdasarkan UU Kesehatan, peran dari majelis disiplin adalah memberikan rekomendasi terkait pelanggaran etika dan prosedur. Hal ini bertujuan untuk mencegah tenaga medis dan kesehatan dari langsung terlibat dalam proses hukum dengan polisi. Secara prosedural, sebelum penyidik memutuskan untuk melanjutkan proses hukum, mereka harus meminta rekomendasi terlebih dahulu dari majelis disiplin.

"Oleh karena itu, kami mengajak semua yang terlibat dalam bidang hukum untuk berhati-hati ketika menangani kasus yang melibatkan pelanggaran yang melibatkan tenaga medis dan kesehatan. Penting untuk memiliki pemahaman yang baik tentang undang-undang ini. Oleh karena itu, mari tidak tergesa-gesa dalam menyelesaikan perkara hukum dengan pendekatan pidana," ujar Dr. Christine.

dr. Mahesa menegaskan bahwa meskipun perlindungan hukum bagi tenaga medis atau tenaga kesehatan telah diatur dalam UU Kesehatan, tetapi perlu adanya peraturan teknis yang lebih rinci dan spesifik agar dapat memberikan perlindungan hukum yang efektif, baik dalam hal pencegahan maupun penanganan pelanggaran. Ia mengatakan, "Kehadiran dan fungsi dari majelis disiplin harus dipantau dan dievaluasi secara cermat untuk memastikan kepastian hukum dalam proses penegakan norma etik, disiplin, dan hukum."

Melalui kegiatan ini, UPH bertujuan untuk memberikan kontribusi dalam meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Seminar ini juga diharapkan memberikan manfaat kepada mahasiswa untuk memahami lebih dalam perkembangan hukum yang berlaku. Harapannya, para mahasiswa Magister Hukum UPH akan semakin terlatih untuk menjadi profesional di bidang hukum yang integritasnya tinggi dan memberikan dampak positif.

Magister Hukum UPH

Program Magister Hukum UPH didesain dengan tujuan untuk mempersiapkan mahasiswa agar dapat bersaing dan menghadapi tantangan dalam lingkup global. Dengan fokus pada Hukum Bisnis, lulusan dari program MH UPH diharapkan mampu mengembangkan pemahaman mendalam dalam ilmu hukum, menyelesaikan permasalahan secara efisien, meningkatkan kinerja profesional, dan memiliki kemampuan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat doktoral. Program ini didukung oleh kurikulum yang relevan, dosen-dosen yang kompeten, serta jaringan yang luas dengan dunia industri dan lembaga terkait.

Ayo, bergabunglah bersama UPH dan persiapkan diri Anda untuk mengalami transformasi sehingga dapat menjadi pemimpin yang berdampak. Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi Student Consultant di nomor 0812-8535-2278 atau kunjungi situs web kami untuk rincian lengkap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun