Belajar lebih kritis dengan ketrampilan baru, membuka pemikiran baru setiap saat adalah kunci dalam strategi untuk bertahan dari persaingan yang semakin keras ini. Dulu sewaktu saya dibangku kuliah seorang dosen senior mengatakan dalam salah satu kuliahnya bahwa berdasarkan pengalaman para alumni kampus bahwa hanya 10 persen saja mata kuliah yang dipakai di tempat kerja. Maka mungkin betul apa yang dikatakan Illich bahwa sekolah atau pendiidkan formal mengajarkan sedikit pengetahuan (Zamroni, 1992).
Hal tersebut mungkin tidak berlaku pada semua model pendidikan seperti pendidikan profesi atau yang sejenis. Tapi apabila itu berkenaan dengan kemasyarakatan dan teknologi maka akan semakin berkembang memenuhi tuntutan keadaan terbaru, yang mungkin tidak diajarkan di buku ajar  di bangku sekolah atau kuliah.
Jadi belajar untuk megantisipasi masa depan mutlak sekarang dilakukan oleh siapa saja jika ingin bertahan. Apalagi pada era pandemi covid-19 ini maka gerak langkah orang dibatasi maka tantangan agar bisa bertahan hidup menjadi lebih rumit. Banyak usaha atau perusahaan gulung tikar, para pekerja terkena PHK Â dan sebagainya.
Jadi belajar setiap waktu, setinggi-tingginya bukan untuk mencari gelar, karena sebagaimana dikatakan salah seorang wakil dekan di sebuah perguruan tinggi bahwa gelar adalah bonus tapi yang lebih penting adalah mencari ilmu untuk bisa bertahan di tengah persaingan hidup yang semakin keras  di masyarakat.
Sehingga belajar untuk mengantisipasi masa depan terutama pasca pandemi Covid-19 menuntut setiap orang agar senantiasa  "asah gergaji" untuk selalu belajar dan berkembang  agar tetap relevan dengan tuntutan zaman yang menuntut kompetensi tinggi di setiap area kehidupan masyarakat dan dunia kerja.    Â
Untung Dwiharjo, alumnus Fisip UnairÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H