Di berbagai daerah di Indonesia, tradisi gotong royong menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Salah satu contoh tradisi tersebut adalah mbecek atau buwuh di Jawa Timur. Tradisi ini, terutama dalam acara seperti pernikahan, khitanan, dan hajatan, memungkinkan masyarakat saling membantu secara finansial dan menunjukkan dukungan sosial. Buwuh, dalam hal ini, berarti memberi sumbangan sebagai bentuk perhatian dan partisipasi terhadap acara keluarga lain di komunitas. Namun, seiring berjalannya waktu, mbecek sering dianggap beban karena tuntutan untuk "membalas" dengan nominal yang sama atau lebih tinggi pada acara serupa di masa depan.
      Tradisi yang tadinya berfungsi untuk mempererat hubungan sosial ini berubah menjadi beban bagi sebagian masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Artikel ini akan membahas asal-usul dan makna budaya dari tradisi mbecek, dampak positif dan negatifnya bagi masyarakat, serta langkah-langkah untuk menjaga nilai-nilai budaya tanpa membebani pihak-pihak tertentu.
 Asal-Usul dan Nilai Budaya Tradisi Mbecek
Secara etimologis, kata mbecek berasal dari bahasa Jawa yang berarti "memberi" atau "menyumbang" dalam konteks sosial. Sumbangan ini mencakup segala bentuk pemberian yang diserahkan kepada seseorang yang memiliki hajat, dengan harapan bahwa penerima bantuan tersebut akan memberikan bantuan serupa di masa depan jika diminta. Dari perspektif budaya, tradisi ini mencerminkan nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan, yang berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk memperkuat kohesi masyarakat.
Aspek resiprositas atau timbal balik dalam mbecek memainkan peran penting dalam tradisi ini. Bagi masyarakat Jawa Timur, mbecek adalah bentuk interaksi sosial yang diatur oleh aturan tidak tertulis tentang kewajiban untuk saling membantu. Jika seseorang menerima buwuh dalam acara tertentu, mereka diharapkan, secara moral dan sosial, untuk memberikannya dalam jumlah yang sama atau lebih besar ketika orang lain dalam komunitas mengadakan acara serupa. Harapan ini telah menjadikan mbecek sebagai komponen vital dari hubungan sosial di pedesaan Jawa Timur.
Dampak Positif Tradisi Mbecek dalam Masyarakat
Meski sering kali diwarnai dengan perasaan "wajib membalas," mbecek tetap memiliki banyak dampak positif bagi masyarakat, terutama di pedesaan yang masih memegang erat nilai gotong royong.
1. Mempererat Hubungan Sosial: Salah satu dampak positif paling menonjol dari mbecek adalah kemampuannya memperkuat hubungan sosial. Dalam sebuah masyarakat yang saling mendukung, memungkinkan masyarakat terhubung lebih dekat, terutama melalui bantuan keuangan yang dapat meringankan beban keluarga yang sedang mengadakan acara.
2. Dukungan Finansial dalam Acara Besar: Mbecek juga berfungsi sebagai solusi praktis untuk membantu membiayai acara besar seperti pernikahan atau khitanan. Bagi banyak keluarga, biaya acara semacam ini cukup besar, dan dukungan dari komunitas sangat membantu untuk meringankan beban ekonomi.
3. Peluang Ekspresi Budaya Lokal: Di tengah arus modernisasi, mbecek menjadi salah satu cara untuk melestarikan tradisi lokal. Masyarakat dapat merasakan dan mempertahankan nilai-nilai tradisional mereka, bahkan ketika berbagai budaya dari luar mulai mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.
Dampak Negatif Tradisi Mbecek pada Ekonomi dan Sosial
Meskipun memiliki banyak sisi positif, mbecek juga memiliki dampak negatif, terutama ketika tradisi ini diikuti tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat.
1. Beban Finansial bagi Tamu Undangan: Salah satu masalah terbesar adalah tuntutan untuk memberikan sumbangan dalam jumlah tertentu. Bagi keluarga berpenghasilan rendah, hal ini bisa menjadi beban yang cukup besar, terutama jika mereka menerima undangan secara beruntun dalam satu periode waktu. Ketika jumlah sumbangan yang diterima dalam satu acara dianggap sebagai hutang yang harus dibalas pada acara serupa, mbecek berubah dari sekadar bentuk partisipasi sosial menjadi beban finansial.
2. Ekspektasi Sosial yang Menekan: Tradisi ini secara moral menciptakan ekspektasi untuk memberikan bantuan serupa kepada orang lain. Ekspektasi ini kadang-kadang menimbulkan tekanan sosial yang mengganggu hubungan antarindividu. Orang yang tidak mampu membalas sumbangan dalam jumlah yang sama sering kali merasa malu atau merasa "berhutang," yang mengakibatkan stres atau ketidaknyamanan dalam hubungan sosial mereka.
3. Perubahan Nilai Gotong Royong ke Arah Transaksi: Di tengah tekanan sosial dan finansial, makna gotong royong dalam mbecek berisiko bergeser ke arah yang lebih transaksional. Daripada menjadi simbol kebersamaan, dipandang sebagai "utang" yang harus dikembalikan, mengurangi aspek sukarela dari tradisi ini dan mengurangi ikatan emosi yang tulus di antara masyarakat.
Studi Kasus: Pengaruh Mbecek pada Masyarakat Pedesaan di Jawa Timur
Contoh nyata dari fenomena ini bisa ditemukan di beberapa desa di Jawa Timur, seperti Ponorogo dan Banyuwangi. Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat desa masih menjalankan tradisi mbecek dengan antusias, tetapi ada pergeseran nilai dalam prosesnya. Jika pada masa lalu dilakukan sebagai bentuk sukarela, saat ini ada tuntutan tidak tertulis untuk membalas sumbangan dalam jumlah yang sama.
Dalam sebuah studi di Desa Besuki, Ponorogo, banyak responden mengungkapkan bahwa buwuh menjadi seperti "piutang" yang harus dikembalikan pada kesempatan lain, terutama jika nominal sumbangan tersebut cukup besar. Akibatnya, bagi keluarga berpenghasilan rendah, menerima atau memberikan buwuh bisa menjadi beban finansial yang cukup besar. Banyak dari mereka mengaku kesulitan untuk menyeimbangkan antara kebutuhan pribadi dan kewajiban sosial.
Rekomendasi untuk Menjaga Nilai Tradisi Tanpa Beban Berlebihan
Untuk menjaga nilai-nilai positif mbecek tanpa membebani masyarakat, ada beberapa langkah yang bisa diambil:
1. Sosialisasi tentang Fleksibilitas Sumbangan: Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa sumbangan dalam mbecek tidak harus dalam jumlah yang sama. Kesukarelaan harus diutamakan, sehingga tradisi ini tidak menjadi beban finansial bagi yang tidak mampu.
2. Penyediaan Opsi Donasi Sukarela: Tuan rumah bisa menyediakan kotak donasi atau buku tamu, yang memungkinkan tamu memberikan sumbangan sesuai kemampuan tanpa merasa ada tekanan sosial.
3. Mengembalikan Esensi Gotong Royong: Masyarakat perlu diingatkan bahwa mbecek seharusnya tidak mengarah ke hubungan transaksi atau beban. Penekanan kembali pada nilai gotong royong dapat mengurangi tekanan sosial, mengembalikan makna mbecek sebagai bentuk kebersamaan.
4. Sistem Kas Kolektif atau Arisan Sosial: Beberapa desa mulai menggunakan sistem arisan atau kas kolektif untuk acara-acara besar. Dengan ini, masyarakat tidak perlu merasa terbebani secara pribadi, karena dana sudah dikumpulkan secara bersama-sama.
Kesimpulan
Tradisi mbecek di Jawa Timur mencerminkan nilai luhur gotong royong dan solidaritas sosial yang kuat. Meskipun memiliki banyak sisi positif, ekspektasi sosial dan finansial dalam praktik  sering kali memberatkan sebagian masyarakat. Dengan menyesuaikan tradisi agar lebih fleksibel dan berdasarkan pada prinsip kesukarelaan, mbecek bisa terus dilestarikan tanpa harus membawa beban bagi sebagian masyarakat. Pendekatan yang lebih inklusif ini akan membantu menjaga nilai budaya sekaligus melindungi mereka yang rentan dari tekanan finansial.
Tradisi ini akan terus lestari jika dilakukan dengan ikhlas, berdasarkan pada niat saling membantu, bukan pada keterpaksaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H