Mohon tunggu...
Untari Seati
Untari Seati Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu rumah tangia biasa karena alasan seorang anak aku belajar menjadi ibu yang luar biasa

Selalu bertumbuh dengan belajar dari sang guru kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Itu Ada jika Kau Bisa Bahagia

14 Oktober 2018   09:07 Diperbarui: 14 Oktober 2018   10:07 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berjejal hatiku dengan segala informasi, yang disampaikan bang Azis tentang perubahan sikap Abah sebagai anak perempuan Abah satu-satunya meletup juga hati dan perasaanku, keadaan psikisku tak terima jika Abah jatuh cinta dan menikah dengan seorang perempuan muda yang usianya di bawahku.

Oooh.. Vertigo tiba-tiba menyerangku, apa jadinya jika nanti segala hasil perkebunan jatuh di tangan perempuan matre itu, gemetaran aku dengan segala penyampaian bang Azis tentang perempuan yang sanggup meruntuhkan hati Abah.

Sepeninggal Emak tiga tahun lalu semua baik baik saja, Abah yang sudah memasuki usia ke 58 tahunnya memang tak lagi stabil kesehatannya, tapi sekarang Abah berubah total lebih meyerupai ABG jatuh cinta dan tergila- gila dengan seorang perempuan muda. Latifa nama yang membuatku sangat geram dan penasaran, perempuan macam apa dia yang sanggup mengobrak abrik hati Abahku.

Ku tempuh perjalanan semenjak habis subuh tadi, menyusuri perkebunan sawit yang berhektar- hektar, dengan mengurangi kecepatan laju mobilku ku hempas rasa kesal yang membumbung di dada panen raya  sawit sebentar lagi.

Tiba- tiba aku mengigat Emak yang telah tiada apakah ini ada hubungan dengan rencana abah ingin menikah lagi, kami 5 bersaudara telah dibesarkan keduanya dengan pendidikan tinggi dan dibekali dengan materi lebih dari cukup, rumah kendaraan dan tempat usaha, bagaimana nantinya jika semua beralih ke orang lain segala perhatian dan hasil panen.

Ku parkir mobilku didepan rumah joglo berpagar kayu jati ku beranikan diri membuka dan memasuki rumah itu, keadaan lengang tanaman hias tertata cukup asri hanya ocehan burung burung peliharaan dan juga air pancuran dikolam ikan menyambut kedatanganku, ku hempaskam tubuhku pada kursi yang tebuat dari potongan akar kayu jati sampai aku tak menyadari seorang perempuan paruh baya berada di sampingku, "maaf dek, sedang mencari siapa", sapanya mengagetkan ku.

"Oooh...Maaf  benar disini rumah bu Latifa, saya Sarita, anak perempuan Abah Sugana ingin bertemu", " Ya mohon ditunggu ibu Latifa ada, tapi sedang meditasi sebentar lagi selesai". Perempuan setengah baya itu berlalu, dan datang kembali membawa satu mug coklat panas dan kembali meninggalkan aku sendirian di jejal seribu tanya.

Aku seperti tersihir dengan penampilan perempuan muda di hadapanku, segala kesal dan pertanyaan yang ingin aku sampaikan tiba tiba tiada, sungguh ada pesona dan kharisma yang sanggup menahanku yang tadinya ingin bicara kasar jadi melembut, uluran tangannya kusambut dengan rasa hormat, "saya Latifa, maaf dengan siapa?" Dengan gagap akupun menjawab "saya Sarita anak perempuan Abah Sugana, Niat kedatangan saya hanya ingin bertanya ada hubungan apa Anda dengan Abah saya". 

Perempuan muda dihadapanku ini tertawa, terlihat barisan giginya yang putih dan rapi, " saya mengerti, sarita pasti tanya kenapa saya mau berakrab dan menanggapi kebaikan Abahmu", penjelasan nya mengalir mendamaikan ku, "Saya hanyalah teman bicara Abah dan saya hanya merasa berhutang kebaikan pada beliau dan tentang niatnya, saya belum menerima karena jodoh itu bukan lagi perkara antara manusia". 

Sepeninggalku dari rumah joglo itu aku menuju rumah abah yang sekarang tinggal sendirian semenjak kepergian Emak, kami anak anaknya sibuk dengan keluarga dan pekerjaan masing-masing, ku buka perlahan gerbang yang tak terkunci, kumasuki rumah yang sekarang nampak tak terawat, tawa canda ketika aku masih belia membayang di pelupuk mata, sepi dan kehampaan yang meyambutku, lebih meyesakkan dari takutnya aku kehilangan Abahku.

Peternakan sapi di belakang rumah pun tampak lengang, ku masuk ke rumah induk dan menelusuri kamar-kamar nihil Abah tiada. Alangkah kagetnya aku melihat abah jatuh tersungkur di kamar mandi. 

Kuangkat tubuh abah yang lemah dengan segala dayaku tak ada satupun orang dapat kumintai pertolongan. walaupun aku sendiri seorang Dokter, apalah dayaku apalah artiku, ku periksa nadi nya sangat lemah tapi Alhamdullilah masih ada dan segera kularikan ke rumah sakit terdekat dengan bantuan karyawan sawit abah.

Sungguh tak bisa kucairkan beku hatiku, aku hanya bisa menyerah dengan kondisi psikis Abah, abah terkena amnesia hanya satu nama saja yang dia ingat "Latifa".

Alhamdullilah keadaan fisik nya tak ada masalah yang berarti, kami ke 5 anaknya dan 12 cucunya tak satupun berhasil di ingatnya, kami menangis karena menjadi sosok asing dimata Abah sampai kami akhirnya kami meyadari, abah sudah berjuang selama usia kami agar tak kekurangan sesuatu apapun kebahagian kami adalah cita-cita hidupnya, tapi kami anaknya tak bisa memberikan satu kebahagiaan sejati yang dibutuhkan seorang bapak, kebahagiaan bathin yang diberikan seorang istri.

Sragen, 14 okt 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun