(3) meningkatkan kepercayaan anggota;
(4) anggota lebih terorganisir, serta;
(5) serikat pekerja menjadi suatu hal yang baik bagi pekerja.
Perjanjian kerja bersama ini secara tidak langsung menimbulkan dampak yang menguntungkan meningkatkan daya saing perusahaan dan sektor bisnis pada umumnya, lebih jauh lagi menimbulkan dampak positif pada hubungan antara pekerja dan serikat pekerja ditingkat perusahaan karena perundingan yang komplek tentang pengupahan dan sebagainya telah ditentukan. Perjanjian tawar menawar kolektif ini akan menekankan serikat pekerja untuk lebih hati-hati dalam penggunaan hak mogoknya sebagai upaya yang paling akhir dan lebih mengedepankan proses dialog atau negosiasi dalam menyampaikan tuntutannya. Mengedepanan prinsip berunding bersama adalah suatu proses :
(1) pencapaian suatu kesepakatan;
(2) penyelesaian konflik yang saling menguntungkan kedua belah pihak (conflict resolution for mutual gain);
(3) menjaga hubungan industrial yang harmonis dalam waktu lama (maintenance industrial peace).
Hubungan Industrial. Hubungan antara serikat pekerja dan pengusaha adalah bersifat“unik”. Disatu pihak, hubungan hukum yang tidak seimbang terjadi karena sosial ekonomi pengusaha lebih kuat jika dibandingkan dengan serikat pekerja sehingga sangat rentan terhadap terjadinya konflik. Dilain pihak, hubungan saling membutuhkan (mutual symbiosis) antara serikat pekerja dan pengusaha, dan merupakan embrio bagi terciptanya hubungan kerjasama antara serikat pekerja dan pengusaha itu sendiri. Hal yang paling kongkrit dari hubungan yang unik ini adalah keikutsertaan Serikat Pekerja dalam menentukan upah, syarat-syarat kerja dan kondisi kerja lainnya melalui pembentukan perjanjian kerja bersama. Kerjasama dalam menentukan upah, syarat-syarat kerja dan kondisi kerja lainnya adalah suatu sarana dalam meningkatkan hubungan kemitraan serikat pekerja dan pengusaha, dan bukan untuk saling memusuhi. Sekarang pengaturan hubungan industrial menjadi “berubah” dengan ditetapkannya UU No. 2/2004. Undang-Undang No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial telah disyahkan dan diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004. Undang-undang ini menyediakan instrument penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar dan di dalam pengadilan (dan pada tanggal 14 Januari 2006 bertempat di Padang, Sumatera Barat, Ketua MA Bangir Manan menandatangani prasasti yang menandai beroperasinya 33 pengadilan hubungan industrial di Indonesia).
Kondisi Kini Hukum Perburuhan Indonesia
Sejak tahun 1997, Negara selalu berusaha untuk melakukan perombakan besar-besaran dalam sistem hukum perburuhan nasional. Tahun 1997, Negara mensahkan keberlakuan UU Ketenagakerjaan No. 25 tahun 1997. UU ini ditentang oleh mayoritas serikat buruh dan kaum buruh, akibatnya UU tidak pernah dilaksanakan. Namun usaha Negara tidak berhenti sampai di situ. Tahun 1998 kemudian muncul 3 rancangan UU yang sesungguhnya merupakan pecahan dari UU No. 25 tahun 1997. Paket 3 UU Perburuhan itu adalah: UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) No. 4 tahun 2004. Paket 3 UU Perburuhan ini mencabut sekitar 20-an UU perburuhan beserta puluhan peraturan pelaksana (PP, Keppres, Kepmen) yang berlaku dan menjadi tonggak sistem hukum perburuhan yang berlaku.
Dalam prakteknya, pelaksanaan Paket 3 UU Perburuhan ini banyak sekali mengalami benturan. UU No. 21 tahun 2000 yang diharapkan mampu memberikan perlindungan bagi buruh dan serikat buruh, ternyata hampir serupa dengan macan kertas. Konsep pemberian sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar kebebasan buruh untuk berserikat dan berorganisasi, sampai hari ini nyaris tak berbunyi dan sekedar menjadi pasal yang impoten. Machmud Permana, aktivis SP PT Bridgestone Indonesia yang di-PHK semena-mena karena melakukan aktivitas keserikatburuhan, sejak tahun 2002 berusaha untuk mengadukan kasus tentang pelanggaran hak berserikat. Sampai hari ini, tidak ada titik terang dari kepolisian-kejaksaan-Depnakertrans, sebagai pihak yang berwenang untuk memproses kasus pidana. Puluhan kasus sejenis berderet-deret di kantor-kantor kepolisian dan kejaksaan setempat tanpa ada titik terang kapan akan dibawa ke proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Analisa sementara yang muncul atas kondisi ini adalah (a) lemahnya political will Negara untuk menegakkan UU No. 21 tahun 2000 dan (b) bobroknya mekanisme law enforcement di negeri kita ini terlindas kekuatan politik uang. UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 secara formal menempatkan buruh pada posisi yang lemah: tidak ada job security (tidak ada kepastian keamanan kerja); legitimasi hukum bagi majikan/pemilik modal untuk tidak memberikan/menyediakan jaminan sosial bagi buruhnya; longgarnya prosedur PHK sehingga buruh semakin mudah untuk di-PHK (tidak perlu ada ijin dari lembaga tripartit, dirubahnya sifat perselisihan perburuhan, dari sifat publik menjadi urusan privaat/perdata semata); amat fleksibelnya sistem hubungan kerja; terlanggarnya hak-hak serikat buruh (hak untuk berunding, melakukan aktivitas serikat buruh di tempat kerja, hak untuk mogok). UU ini juga amat executive heavy; memberikan kebebasan besar kepada pemerintah eksekutif yang berkuasa untuk menterjemahkan pasal-pasal yang ada di dalamnya dalam bentuk keputusan-keputusan.