Mohon tunggu...
Un.Sriwahyuni
Un.Sriwahyuni Mohon Tunggu... -

Penyuka rak buku, langit, dan taman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Labirin

13 Februari 2017   21:30 Diperbarui: 13 Februari 2017   21:58 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku terperanjat dari tidur lelapku. Kudapati bantal yang kukenakan telah basah, sebab air mata yang berderai semalam. Hingga pukul tiga dini hari aku akhirnya terlelap. Lelah menertawai dan menangisi diriku secara bergantian.

“Leni itu siapa?” tanyaku pada Damar semalam melalui pesan whatsapp

“Maaf aku tak bisa menjelaskannya,” jawabnya tanpa rasa bersalah

Percakapan semalam kembali meracuniku pagi ini, membuat tatapanku kembali nanar. Aku yang tak menemui siapa-siapa di dekatku, menjadi kalang kabut ingin menumpahruahkan kekesalanku dengan bercerita kepada siapapun.

Kudapati seorang wanita di hadapanku. Wajahnya sembab, sekeliling matanya menghitam seperti mata panda, kantung mata juga membesar, dan sungguh acak-acakan. Wajah itu menatapku dengan penuh iba. Sayangnya wanita itu sebenarnya ialah diriku sendiri, di balik cermin. Itu aku.

Hanya diriku melalui pantulan cermin yang mampu kuajak berbicara saat ini. Pikiranku menerawang ke beberapa tahun silam, ketika hal yang serupa terjadi

“Indah itu siapa?”

Kasus serupa dengan tersangka yang berbeda. Kak Wahyu, seseorang yang hadir dan pergi  lebih dulu dari Damar. Jauh sebelum aku mengenalnya, jauh sebelum aku menjadiknnya sebab tidak menjadi wanita “gagal move on”. Aku berhasil move ondari kak Wahyu setelah bertemu dengan Damar. Namun sekarang yang terjadi, mereka sama saja.

Kabar baiknya ialah Damar masih melakukan perpisahan lebih baik menurutku, meski mereka sama bejatnya. Mengapa? Setidaknya Damar sempat meminta maaf, mengakui kesalahan, berpamitan, dan tetap ingin berteman baik denganku. Sedangkan kak Wahyu, tak merespon apa-apa padaku. Hanya me-read pesanku di whatsapp saja. Tentu saja, aku menganggap hubungan kami telah berakhir. Ditinggalkan tanpa pamit rasanya lebih sakit. Pengkhianatan, ingkar, mendua, selingkuh atau ahh entah apa namanya. Aku bingung akan menyematkan julukan apa pada orang-orang macam mereka. Memamerkan keromantisan mereka dengan wanita lain di sosial media tanpa mengakhiri hubungan denganku terlebih dahulu. Dan bodohnya aku mengetahuinya dari orang lain. 

Lagi-lagi aku tertawa terbahak-bahak di depan cermin. Menatapi diriku yang kembali menjadi wanita korban PHP-pemberi harapan palsu. Kemudian diganti dengan tangis sendu.

“Kau terjatuh di lubang yang sama” kata wanita dalam cermin itu padaku diakhiri dengan suara melengkingnya tertawa. Aku dan wanita dalam cermin bergantian saling menertawai, bergantian menjadi muram, bergantian meneteskan air mata. Aku bahkan tak mampu mengatur ritme pargantian itu.

***

Ngilu berubah menjadi beku 
Detak kini menjadi debar 
Napas pun sesak tak karuan 
Setiap kali ku tengok kau dalam labirin

Asa telah kau buat menjadi abu 
Kau bakar dan kau biarkan ia meronta 
Luka bahkan bernanah karena kubiarkan ia terbuka lebar 
Bodohnya, aku bahkan menambahnya dengan air garam

Tegar hanya kepura-puraan 
Kabar hati? Jangan kau tanyakan lagi 
Ia bahkan telah lama menjadi kepingan 
Dan kau hanya berdiri di sana memandanginya

Lepaskan saja topengmu ! 
Agar kau bisa bernapas lega 
Berhentilah menjadi bimbang dan berpura-pura 
Aku pergi, maka berbahagialah

Kukumpulkan sisa-sisa kekuatan menemuinya, untuk mengembalikan buku-buku yang selama ini kupinjam darinya. Buku yang menjadi sebab keakraban kami. Awalnya aku ragu untuk mengembalikannya. Rasanya tak sanggup bertemu dengannya setelah pengkhianatan yang ia lakukan padaku. Kembali aku menemui wanita dalam cermin. Kutanyai ia perihal sikap yang harus kutunjukkan padanya. Ekspresi bagaimana yang harus aku pasang saat menemuinya sore nanti. Wajah datar, acuh, cuek, ceria, tabah atau sendu. Namun tak ada yang pas menurutku. Topeng seperti apa lagi yang harus kukenakan saat bahkan untuk berdiri pun rasanya lututku masih bergetar.

Motorku melaju dengan kecepatan standar menuju kediamannya. Di sepanjang jalan, pikiranku menjadi kosong, jalanan pun terasa sepi. Diiringi dengan irama embusan angin yang juga terasa dingin menusuk kulit. Dedaunan pohon-pohon di pinggir jalan berguguran. Mengapa alam harus ikut-ikutan menjadi sendu?.  

“Neng, motornya dibawa masuk saja” satpam penghuni rumahya menawarkan saat aku hanya memarkir motorku di depan pagar. Aku tak sanggup melaju hingga ke halaman depan. Takut jika kutemui banyak kenangan di sana.

“Tidak  apa-apa, Pak, aku hanya mampir sebentar, ingin menitipkan barang ini saja” aku menyodorkan bungkusan plastik merah pada bapak tua yang wajahnya menyejukkan itu. Bahkan di mataku bapak tua ini tiba-tiba memiliki sayap putih nan lebar di belakangnya dengan lingkaran emas melayang di atas kepalanya. Seolah penyelamat agar aku bisa mengembalikan buku-buku Damar melalui perantaranya. Tanpa harus bertemu dengan Damar.

“Ini apa Neng?” tanyanya dengan wajah bingung.

“Itu milik Damar, minta tolong diberikan ke dia” jawabku menunduk menahan tangis yang tiba-tiba saja ingin keluar dari kedua bola mataku.

“Kenapa bukan Neng langsung mengembalikannya?” saran Bapak itu harusnya menjadi ide yang brilian. Sayang, sepertinya diriku masih belum sanggup bertemu dengannya. Ratusan kalimat yang sudah kukonsep di depan cermin, tiba-tiba saja ter­-deletesemua.

“Neng tunggu saja Mas Damar di dalam, bentar lagi pulang, kok” lanjutnya

Apa? Damar sedang tidak di rumah?. Artinya benar, hari ini aku memang tidak ditakdirkan untuk bertemu dengannya. Aku harus segera pergi sebelum dia pulang.Batinku menolak saran Bapak tadi, aku harus pergi secepatnya. Keputusanku memang sudah tepat. Kutitipkan saja barang-barangnya di satpam. Semuanya beres, kan? Ahh pengecut sekali diriku ini.

“Maaf Pak, tetapi aku buru-buru. Aku titipkan barang ini saja, yah, Pak. Terimakasih” aku  pun berlalu dari pandangan Bapak tua itu.

Aku tak berhasil bersua denganya.

***

“Ping” pesan BBM masuk di ponselku. Sebuah nama tertera di sana. Napasku tertahan. Kak wahyu, sebuah nama di masa lalu. 

“Iya?” ku jawab singkat.

“Ayo nongkrong besok sore di tempat biasa” jawabnya tanpa menanyai persetujuanku dulu

***

Segelas Capucinodingin telah habis setengah gelas kuminum. Sosoknya belum nampak juga. Beberapa menit berlalu, akhirnya kak Wahyu tiba dan langsung duduk di sampingku dengan tenang. Membawa secangkir cokelat panas.

Kebiasaannya masih sama.Tegurku dalam hati

“Maaf terlambat, jalanan macet.” Dia mengemukakan alasan tanpa ku tanyai

“Iya tidak apa-apa. Santai saja,” jawabku berusaha santai meski sejak tadi sebenarnya justru sangat gelisah.

Beberapa menit kami hanya menghabiskan waktu tanpa bicara. Aku berusaha tenang. Membiarkan dia untuk memulai pembicaraan lebih dulu. Sedang ia hanya sibuk dengan cokelat panasnya yang ia seruput bahkan hampir habis itu.

“Sedang ingin balas dendam, yah?” tanyanya memecahkan lamunanku pada cokelat panasnya.  

“He?” wajahku bingung menanggapi pertanyaannya

“Balas dendam yang terbaik melalui senyum, status BBM-mu kulihat kemarin”

“Ohh iya” Aku tertunduk malu.

Yaa ampuun apa selama ini dia sering membaca status-statusku di BBM. Dia kan sudah lama menghilang tanpa kabar, tak seharusnya kan seperti itu.Umpatku dalam hati

“Dengan cara terbaik apa pun, Tuhan tidak pernah menyarankan umatnya untuk balas dendam,” nasehatnya padaku

Ehh..apa dia tahu kalau saat ini aku sedang galau atas kepergian lagi. Atas rasa marah pada Damar yang sebenarnya tak bisa ku balas dendami dan aku hanya mampu tersenyum saja, menutupi rasa galauku.

“Menurutku membalas siksaan itu dibolehkan, tetapi dengan balasan yang sama. Namun jika bersabar, itu lebih baik” jelasku dari kumpulan buku-buku yang pernah kubaca.

“Pertanyaannya adalah apa yakin jika membalas, balasannya akan sama dari yang diterima?” tanyanya dengan bijak

“Tidak. Karena tak ada yang bisa ukur” jawabku polos. Aku bingung arah pembicaraan ini kemana. Kenapa dia menjadi begitu bijak setelah apa yang dia lakukan kepadaku jauh-jauh hari menurutku jahat.

“Kebanyakan orang tidak pahami apa yang dia tulis atau dia ucapkan. Yang penting sekali baca, langsung tau saja” kalimat penutup darinya setelah pembahasan balas dendam itu. Aku manggut-manggut tanda mengerti. Mesti sebenarnya aku tak mengerti mengapa pembahasan seperti ini yang harus dia bahas di saat pertemuan pertama kalinya setelah insiden kepergiannya hingga tak pernah berkabar padaku lagi. Setelah insiden ia bersama wanita lain telah berbahagia.

Hidup memang terkadang seperti itu. Bagaikan sebuah sistem dengan jalur yang rumit, berliku-liku, dengan banyak jalan buntu yang mungkin akan ditemui. Tetapi aku percaya akan ada satu pintu menuju jalan keluar. Sungguh ini seperti labirin. Meski begitu untuk bisa memaafkan orang lain, kita tak perlu untuk berdamai dengan siapa pun melainkan berdamai dengan diri sendiri. Maka semua akan termaafkan, termasuk mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun