Mohon tunggu...
Un.Sriwahyuni
Un.Sriwahyuni Mohon Tunggu... -

Penyuka rak buku, langit, dan taman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Labirin

13 Februari 2017   21:30 Diperbarui: 13 Februari 2017   21:58 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

***

Ngilu berubah menjadi beku 
Detak kini menjadi debar 
Napas pun sesak tak karuan 
Setiap kali ku tengok kau dalam labirin

Asa telah kau buat menjadi abu 
Kau bakar dan kau biarkan ia meronta 
Luka bahkan bernanah karena kubiarkan ia terbuka lebar 
Bodohnya, aku bahkan menambahnya dengan air garam

Tegar hanya kepura-puraan 
Kabar hati? Jangan kau tanyakan lagi 
Ia bahkan telah lama menjadi kepingan 
Dan kau hanya berdiri di sana memandanginya

Lepaskan saja topengmu ! 
Agar kau bisa bernapas lega 
Berhentilah menjadi bimbang dan berpura-pura 
Aku pergi, maka berbahagialah

Kukumpulkan sisa-sisa kekuatan menemuinya, untuk mengembalikan buku-buku yang selama ini kupinjam darinya. Buku yang menjadi sebab keakraban kami. Awalnya aku ragu untuk mengembalikannya. Rasanya tak sanggup bertemu dengannya setelah pengkhianatan yang ia lakukan padaku. Kembali aku menemui wanita dalam cermin. Kutanyai ia perihal sikap yang harus kutunjukkan padanya. Ekspresi bagaimana yang harus aku pasang saat menemuinya sore nanti. Wajah datar, acuh, cuek, ceria, tabah atau sendu. Namun tak ada yang pas menurutku. Topeng seperti apa lagi yang harus kukenakan saat bahkan untuk berdiri pun rasanya lututku masih bergetar.

Motorku melaju dengan kecepatan standar menuju kediamannya. Di sepanjang jalan, pikiranku menjadi kosong, jalanan pun terasa sepi. Diiringi dengan irama embusan angin yang juga terasa dingin menusuk kulit. Dedaunan pohon-pohon di pinggir jalan berguguran. Mengapa alam harus ikut-ikutan menjadi sendu?.  

“Neng, motornya dibawa masuk saja” satpam penghuni rumahya menawarkan saat aku hanya memarkir motorku di depan pagar. Aku tak sanggup melaju hingga ke halaman depan. Takut jika kutemui banyak kenangan di sana.

“Tidak  apa-apa, Pak, aku hanya mampir sebentar, ingin menitipkan barang ini saja” aku menyodorkan bungkusan plastik merah pada bapak tua yang wajahnya menyejukkan itu. Bahkan di mataku bapak tua ini tiba-tiba memiliki sayap putih nan lebar di belakangnya dengan lingkaran emas melayang di atas kepalanya. Seolah penyelamat agar aku bisa mengembalikan buku-buku Damar melalui perantaranya. Tanpa harus bertemu dengan Damar.

“Ini apa Neng?” tanyanya dengan wajah bingung.

“Itu milik Damar, minta tolong diberikan ke dia” jawabku menunduk menahan tangis yang tiba-tiba saja ingin keluar dari kedua bola mataku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun