***
Ngilu berubah menjadi beku
Detak kini menjadi debar
Napas pun sesak tak karuan
Setiap kali ku tengok kau dalam labirin
Asa telah kau buat menjadi abu
Kau bakar dan kau biarkan ia meronta
Luka bahkan bernanah karena kubiarkan ia terbuka lebar
Bodohnya, aku bahkan menambahnya dengan air garam
Tegar hanya kepura-puraan
Kabar hati? Jangan kau tanyakan lagi
Ia bahkan telah lama menjadi kepingan
Dan kau hanya berdiri di sana memandanginya
Lepaskan saja topengmu !
Agar kau bisa bernapas lega
Berhentilah menjadi bimbang dan berpura-pura
Aku pergi, maka berbahagialah
Kukumpulkan sisa-sisa kekuatan menemuinya, untuk mengembalikan buku-buku yang selama ini kupinjam darinya. Buku yang menjadi sebab keakraban kami. Awalnya aku ragu untuk mengembalikannya. Rasanya tak sanggup bertemu dengannya setelah pengkhianatan yang ia lakukan padaku. Kembali aku menemui wanita dalam cermin. Kutanyai ia perihal sikap yang harus kutunjukkan padanya. Ekspresi bagaimana yang harus aku pasang saat menemuinya sore nanti. Wajah datar, acuh, cuek, ceria, tabah atau sendu. Namun tak ada yang pas menurutku. Topeng seperti apa lagi yang harus kukenakan saat bahkan untuk berdiri pun rasanya lututku masih bergetar.
Motorku melaju dengan kecepatan standar menuju kediamannya. Di sepanjang jalan, pikiranku menjadi kosong, jalanan pun terasa sepi. Diiringi dengan irama embusan angin yang juga terasa dingin menusuk kulit. Dedaunan pohon-pohon di pinggir jalan berguguran. Mengapa alam harus ikut-ikutan menjadi sendu?.
“Neng, motornya dibawa masuk saja” satpam penghuni rumahya menawarkan saat aku hanya memarkir motorku di depan pagar. Aku tak sanggup melaju hingga ke halaman depan. Takut jika kutemui banyak kenangan di sana.
“Tidak apa-apa, Pak, aku hanya mampir sebentar, ingin menitipkan barang ini saja” aku menyodorkan bungkusan plastik merah pada bapak tua yang wajahnya menyejukkan itu. Bahkan di mataku bapak tua ini tiba-tiba memiliki sayap putih nan lebar di belakangnya dengan lingkaran emas melayang di atas kepalanya. Seolah penyelamat agar aku bisa mengembalikan buku-buku Damar melalui perantaranya. Tanpa harus bertemu dengan Damar.
“Ini apa Neng?” tanyanya dengan wajah bingung.
“Itu milik Damar, minta tolong diberikan ke dia” jawabku menunduk menahan tangis yang tiba-tiba saja ingin keluar dari kedua bola mataku.