"Lathifah, tolong bantu dampingi takliman ibu-ibu komplek," suara Uni Eswil terdengar mengandung harapan kuat di seberang telepon.
"Siap, laksanakan!" Sahut Lathifah tanpa pikir panjang. Dengan penuh semangat, ia bersegera menuju lokasi lebih awal. Namun, siapa sangka. Sesampai di sana, sebuah kejutan tak terduga telah menanti.
"Silahkan, Zah Lathifah. Beliau yang akan mengisi materi tazkiyatun nafs," ucap salah seorang ibu paruh baya pada rekan-rekannya.
Lathifah terkesiap. Alamak! Jebakan batman! Tepuk jidat. Tiada persiapan. Tak ada catatan kecil yang dibawa sebagai modal. Kini ia tiba-tiba menyandang status sebagai pemateri. Tubuh mendadak panas dingin.
Syukurnya, dia yang mengaku sudah kocak sejak lahir, membuat suasana mencair dan penuh tawa. Materi mengalir. Peserta larut dalam kisah-kisah yang dipaparkannya.
Selepas taklim, Lathifah melesat menuju kediaman Uni Eswil. Tentu saja untuk protes dan klarifikasi tingkat tinggi.
Tanpa tedeng aling-aling, Lathifah langsung menyambar.
"Afwan Uni, katanya mendampingi! Kenapa jadi aku yang ngisi?" Â Protesnya dengan napas memburu.
Uni Eswil menatapnya santai dan tertawa ringan. Rupanya beliau sudah menduga akan kedatangan gelombang penolakan ini.
"Masa ke sana mau di suruh masak?" Balasnya terkekeh.