"Iya!" jawab mereka serempak.
"Buktikan dong! Jangan terlalu ngefans sama aku. Sampai peniti kerudungku pun kalian evaluasi." Lathifah membulatkan mata, wajahnya dipasangi ekspresi serius yang dibuat-buat.
Lagi-lagi, tawa pecah. Beberapa menepuk bahunya, ada yang mendecak kesal.
"Sakarepmu, Lathifah. Nikmati hidupmu sesukamu!" ujar seorang teman sebelum berlalu.
Begitulah Lathifah. Kepercayaan dirinya setinggi langit. Tak pernah ia goyah oleh omongan miring. Setiap ledekan ia balas dengan akal cerdasnya.
"Dari mana kau dapat jawaban-jawaban itu?" tanya seorang teman suatu hari.
Lathifah tersenyum jahil. "Ini dampak kepalaku tertutup rapat. Ide-ide tak menguap, berkembang dalam kepala."
"Ah, jangan ngawur, Tifah!" protes temannya.
"Beda denganmu yang kepalanya terbuka. Ide-ide sering kabur. Makanya UTS gagal terus. Mungkin ide tersapu angin?" selorohnya santai.
Mereka tergelak, ada yang sebal, tapi tak bisa membantah. Sikap Lathifah yang percaya diri, santai, dan penuh canda lama-kelamaan menular. Teman-temannya mulai nyaman di dekatnya. Yang tadinya mengejek, perlahan berubah jadi kawan. Ada yang curhat, ada yang minta nasihat.
Tanpa canggung, Lathifah membimbing mereka yang ingin hijrah. Ia tunjukkan bahwa berpegang teguh pada keyakinan tak berarti menjauh dari dunia. Ia tetap berprestasi, tetap punya panggung, dan tak pernah kehilangan senyum. Hingga akhirnya, satu per satu temannya mengikuti langkahnya. Bersama, mereka melawan derasnya pergaulan bebas di kota besar. Bersama, mereka meniti jalan taat tanpa meninggalkan impian.