"Dasar gila." Desis salah seorang wali murid di kelas yang saya ampu kepada anaknya. Tentu saja hujatan gila itu tak dialamatkan pada sang buah hati yang masih duduk di bangku kelas 1 SD ini.
Ya, ujaran gila itu sejatinya ditujukan pada saya selaku wali kelas si anak. Ujaran tersebut saya ketahui melalui cerita si anak ketika berada di kelas. Saya sontak ketawa lepas mendengar cerita si anak. Ujaran tersebut sungguh menggelitik hingga saya gagal mengedalikan tawa di hadapan siswa yang masih imut-imut ini.
Mengapa ujaran demikian disematkan kepada saya yang jelas-jelas waras. Bahkan ke sekolah selalu berpakaian rapi. Senyuman begitu setia melekat dibibir hingga nyaris siswa satu sekolahan nempel dengan saya setiap saat. Bahkan sering berbagi hadiah pada siswa, selalu menyapa siswa terlebih dahulu dengan riang dan gembira. Saking akrab dengan para siswa, saya kepedean meyakini diri sebagai guru favorit di sekolah tersebut.
Nah, lantas kenapa gila disandingkan dengan nama saya. Ya, karena fashion saya dalam mengajar memang sangat berbeda dibanding teman-teman sejawat pada umumnya. Salah satunya, saya lebih dominan belajar dengan siswa di luar kelas dari pada di dalam kelas. Awal mula belajar menulis, anak-anak saya pandu menulis di atas tepung. Hal ini sangat seru bagi anak-anak walau dengan risiko baju siswa sedikit kotor terkena tepung. Di lain hari mereka saya pandu belajar menulis di atas air yang telah di warnai dengan gincu. Tentu saja tulisan tak berbekas sama sekali. Wkwkwk.Â
Pernah juga belajar membuat huruf-huruf dari tanah liat yang ada di lingkungan sekolah. Otomatis baju juga sedikit ternoda tanah liat. Terkadang belajar matematika dalam bentuk permainan sehingga membuat siswa belarian di lapangan sekolah. Dilihat sekilas memang itu seperti bermain belaka. Namun jika praktek pembelajaran yang saya lakukan diamati dari awal hingga akhir akan terlihat jelas ada topik yang sedang diselesaikan.
Hal lain yang membuat wali murid gusar adalah ketika saya tidak pernah memberi tugas rumah kepada siswa. Beberapa orangtua malahan menemui saya ke sekolah dan minta anak-anak mereka diberi tugas. Saya pun memberi tugas kepada siswa. Pembaca tahu apa tugas yang saya berikan? Tentu saja berbeda dengan tugas rumah yang didapat oleh siswa pada umumnya. Hehehe
Contoh beberapa tugas rumah yang saya berikan pada siswa adalah membantu orangtua membereskan rumah, membantu menyisir rambut orang tua, memijit tubuh orangtua ketika terlihat beliau capek dan lain sebagainya. Tugas yang dilakukan oleh sianak mesti ada bukti fisik berupa foto ataupun video yang dikirim ke grup whatsup orangtua di kelas yang saya ampu.Â
Sekilas ini terlihat tidak ada hubungannya dengan aktivitas pembelajaran anak di sekolah. Namun tanpa karakater positif pada siswa mulai terbentuk secara perlahan. Kepedulian terhadap orangtua terbangun.
Alhamdulillah dari penerapan strategi pembelajaran yang berbeda memperlihatkan hasil yang luar biasa. Diantara dampaknya adalah siswa selalu belajar dengan riang gembira, enjoi tanpa tekanan, motivasi belajar siswa meningkat. Pada semester pertama siswa rata-rata sudah lancer membaca. Padahal diawal masuk sekolah rata-rata belum mengenal huruf. Mereka juga tidak pernah remedial karena hasil ujian melewati KKM. Bahhkan berdasarkan laporang orangtua, kepekaan dan kepdulian anak terhadap orangtua dan saudara di rumah perlahan terus meningkat.
Dampak positif ini begitu dirasakan oleh orangtua sehingga mengundang senyuman di wajah mereka.
Nah, terkait sebutan gila ini hilang atau terus bertahan? Alhamdulillah sebutan gila yang sempat dialamatkan kepada saya perlahan berubah menjadi decak kagum. Bahkan saya kerap menerima perlakuan positif dan menerima ucapaan terimakasih tanpa henti dari orangtua siswa.
Kenapa bisa demikian? Sebab saya berupaya mencarikan solusi agar tak terjadi kesalahpahaman dengan orangtua. Pasca mendapat laporan dari siswa, saya berdiskusi dengan kepala sekolah dan rekan sejawat. Kemudian kami mengundang seluruh wali murid di kelas yang saya ampu. Pada pertemuan dengan wali murid ini saya jelaskan secara detail segala strategi yang saya terapkan dalam proses belajar mengajar tersebut.Â
Bahkan saya membentuk komite kelas yang strukturnya diamanahkan kepada wali murid. Bahkan terbentuk kesepakatan ada pertemuan rutin orangtua siswa sebulan sekali di kelas kami dengan cover komite kelas. Di sana kami selalu berdiskusi terkait perkembangan dan segala kebutuhan anak untuk kepentingan belajar di sekolah.
Dampaknya sebutan gila menghilang seketika. Berbagai peningkatan yang diperlihatkan oleh siswa membuktikan gurunya mengajar dengan cara yang waras hingga tak ada keluhan dari orangtua. Hehehe. Setiap persoalan yang kita hadapi dapat diselesaikan dengan komunikasi sehat, musyawarah serta mufakat tanpa perlu ada kemarahan apalagi baper-baperan (bawa perasaan).
   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H