Memiliki orangtua yang katanya dari kalangan biasa itu sebenarnya menguntungkan. Kita jarang dilirik. Malahan banyak yang tutup mata. Tapi ada yang iseng juga sih. Direcoki. Hehehe
Itu yang saya rasakan di masa silam. Walau begitu, keluhan tak terlontar dari lisan. Menurut teman-teman kami miskin. Menurut ibu kami kaya. Menurut beliau lagi, buktinya kita tidak pernah mengemis dan mencuri.
Selain itu juga tak pernah bikin onar. Karena miskin akhlak dan miskin iman, berdampak pada akhlak yang kian merosot. Hingga memiliki sikap meresahkan masyarakat. Ini ciri-ciri miskin menurut ibu.
Cara pandang beliau jauh berbeda dari orang-orang yang kami kenal pada umumnya saat itu.Â
Nah, dampak lain  dari keterbatasan juga hadir kala menempuh pendidikan. Corak para pendidik begitu beragam dalam menghadapi kondisi siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Walau begitu, saya memiliki seorang guru istimewa. Kala duduk di bangku sekolah menengah pertama. Beliau guru matematika. Oh iya,Alhamdulillah, selama masa sekolah, saya kerap akrab dengan guru matematika.Â
Sebagian siswa menganggap guru matematika kaku, pemarah dan sedikit angker. Alhamdulillah saya tak merasakan hal seperti itu. Malahan sukses merajut cinta dan mengukir cerita indah dengan hampir semua guru mtematika yang pernah saya temui.
Kelekatan terjalin begitu kuat dengan guru yang menekuni bidang hitung-hitungan ini. Salah seorang guru sumber inspirasi saya, juga merupakan guru matematika.
Beliau adalah Bu Hasnita. Lembut dan ramah. Jika sebagian oknum pendidik yang sedang khilaf, rada malas melihat anak dari kalangan perekonomian biasa. Bu Hasnita sebaliknya.
Beliau merapat pada anak didik yang kerap tersisihkan. Semangat dan harapan kami terus dibangkitkan.Â
Beliau begitu akrab nyaris dengan seluruh siswa dari berbagai kalangan. Beliau setia mendengar cerita dan curahan hati anak didiknya.Â