Menulis semudah bernapas. Begitu slogan seorang guru menulis, Cahyadi Takariawan. Nyatanya slogan itu tak sekadar isapan jempol semata. Melalui bimbingan beliau, naskah penulis tuntas dalam kurun lebih kurang dua pekan.
Tak hanya sekadar mengetik naskah dalam waktu sesingkat itu. Mulai mencari bahan, buku sumber, wawancara ke beberapa tempat terkait materi buku, hingga bongkar pasang outline.Â
Semuanya dikerjakan dalam waktu singkat di bawah pengawasan ketat Gurunda Cahyadi Takariawan dan Bunda Ida Nur Laila.
Eits, tapi jangan salah. Selama perampungan naskah, waktu tidur penulis nyaris 1-3 jam saja setiap harinya. Biar tak typus, asupan suplemen ditingkatkan dengan banyak minum madu, jeruk hangat, makan buah, sayur dan sumber energi lainnya yang lebih dari cukup.
Naskah tuntas, jiwa muda nelangsa. Apa yang mesti dilakukan? Mengirim naskah ke penerbit mayor? Saingan para penulis senior. Sedang penulis hanya seorang pendatang junior.Â
Ah sudahlah. Belum berani melirik penerbit mayor. Selain saingan ketat, jadwal tunggu lama. Serta cukup disadari, penulis belum memiliki panggung di jagad kepenulisan. Nama belum dikenal.
Melirik penerbit indi? Bisa saja. Kemungkinan kelahiran buku jadi lebih cepat. Namun bayangan kebutuhan akan modal besar berkelebat.Â
Menggandeng penerbit indi, otomatis seluruh biaya yang akan lahir dari penerbitan buku sepenuhnya ditanggung oleh penulis.
Mulai dari biaya editing, proof reading, design cover, layout hingga biaya cetak akan ditanggung sendiri. Membayangkan semua ini, membuat getaran hebat di ruang mimpi.
Akankah melahirkan sebuah buku menjadi angan belaka? Apakah naskah ini harus disimpan saja hingga lapuk ditelan masa?
Sembari tetap menghibur diri dan menguatkan asa, proses self editing dimulai. Bantuan teman-teman menyerbu. Naskah diprint out hingga lebih kurang lima kali.Â