"Ibu kita mau ke mana?"
Si bungsu bertanya saat aku bergegas mengganti baju sekolahnya dengan baju biasa usai kujemput, nyaris jam 12.00 siang. Tas aku isi untuk bekal di perjalanan. Sembari aku menunjuk pada buku yang dia pegang, dan aku katakan,
"Ketemu sama Opa dan Oma Tjipta, yang ada di buku itu. Adek mau?"
"Oh yang potonya ada di buku penulis 150 ini ya Bu."
"Iya betul Dek, hehe."
Sebetulnya aku masih harus menjemput putraku yang kedua sekitar jam setengah dua. Namun aku coba membagi waktu sebaik-baiknya. Meski dengan konsekuensi, hanya bisa bertemu Opa dan Oma beberapa menit saja. Hiks.
Si bungsu lanjut bersemangat dan menjawab "mau". Saat terdengar adzan dhuhur, segera shalat. Aku sarankan agar maem dulu beberapa suap sebelum berangkat, dan bergerak cepat. Sebab perjalanan ke lokasi Kopdar membutuhkan waktu yang tak singkat, agar tak terlambat. Ditambah lagi jika terjebak macet di beberapa lampu merah sepanjang Jalan Kaliurang menuju kilometer bawah. Semangat!
Kebetulan kami tinggal di desa di bagian Utara kota Yogyakarta. Tepatnya di Jalan Kaliurang kilometer atas, masih ke arah Timur. Sedangkan Rumah Makan Sederhana tempat Opa dan Oma menunggu, ada di Jalan Kaliurang kilometer bawah, selatan Ring Road Utara. Acara dimulai sekitar jam 12.00. Sedangkan aku baru bisa berangkat dari rumah pukul 12.00 lewat.
Kira-kira membutuhkan waktu setengah jam lebih jika dengan kecepatan ala emak plus macet di lampu merah. Hanya bisa pasrah semoga masih ada kesempatan bertemu dengan Opa dan Oma.
Opa Tjipta sedari malam sudah kirimkan wapri. Aku yakin beliau juga menghubungi Kompasianer lain untuk mengabarkan hal yang sama secara pribadi. Waktu itu aku baru baca artikel mengenai rencana Kopdar di Jakarta tanggal 20 Agustus mendatang. Belum tau kalau ternyata Opa dan Oma singgah pula di Yogyakarta. Â
Pagi hari usai beberes anak sekolah, aku baru membaca beberapa pesan. Termasuk komentar Pak Budi pada puisiku, yang mengabarkan jika Opa dan Oma sudah tiba di Yogyakarta dan mengundang makan siang di Rumah Makan Sederhana.
Ternyata semalam Opa telah memposting tulisan beliau hampir berbarengan dengan postingan puisiku. Menjelang siang Opa kembali mengirim pesan wapri, "Kami tunggu kedatangan ananda."
Aku kabarkan berita ini ke suami. Jikalau Opa dan Oma ternyata singgah pula di Yogyakarta. Sebuah kejutan yang tak kusangka sebelumya. Suami faham jikalau aku sangat menghormati Opa dan Oma, sebagai penulis senior yang sangat murah hati membagi ilmu pada sesama. Ingin rasanya menemui Opa dan Oma bersama suami tercinta.
Namun sayang suami tidak bisa meninggalkan tugasnya, menjadi instruktur pelatihan hari itu. Hanya menitip salam untuk beliau berdua jika aku berhasil bertemu. Dan aku pun meminta izin untuk menemui Opa dan Oma usai menjemput si bungsu.
Selain itu aku sempatkan juga bertanya pada Mba Jora (Zahrotul Mujahidah). Sobat Kompasianer asal Gunungkidul. Barangkali bisa sebentar turun ke Yogya dan bersama ketemu Opa dan Oma. Ternyata Mba Jora tidak bisa, beliau pun menitip salam untuk Opa dan Oma. Baiklah, aku rekam semua titipan pesan dalam ingatan.
Aku masih tak menyangka ternyata Opa dan Oma tak lagi berjarak, bahkan nyaris di depan mata. Sebagai yang lebih muda aku merasa begitu dihargai. Beliau tak sungkan menyapa dan memberi informasi mengenai kedatangan bersama Oma ke Yogyakarta. Bahkan mengundang untuk makan siang. Justru aku merasa malu, seharusnya sebagai tuan rumah yang mengundang tapi malah diundang. Hiks.
Persis pukul 13.00, aku baru tiba di Rumah Makan Sederhana. Masya Allah mobil semua, aku nyaris bingung mau parkir motor di mana? Ini membutuhkan waktu, cari parkiran, hehe. Alhamdulillah pak parkir begitu bijaksana, membantuku memasukan motor di sudut dekat tempat jaga.
Saat sampai di pintu masuk, aku melihat begitu banyak orang, namun tak nampak kulihat wajah Opa dan Oma. Aku bertanya kepada seorang karyawan,
"Maaf Mas, saya mau ketemu sama Pak Tjiptadinata dan rombongan, di sebelah mana nggih?"
"Mbak udah janjian?"
"Sudah Mas, beliau bilang acara jam 12.00. Ini Rumah Makan Sederhana jalan Kaliurang kan?"
Aku pun bertanya untuk memastikan, jejangan aku salah masuk ruangan. Hihihi.
"Iya betul Mbak, coba saya carikan nggih karena untuk nama yang Mbak sebutkan tadi tidak tercantum dalam daftar hari ini."
Aku dan si bungsu menunggu, namun jantungku mulai berdebar, jam menunjukkan pukul 13.10 artinya sudah hampir bergulir mendekati setengah dua. Gimana kalau belum ketemu Opa dan Oma? Hiks.
"Mbak gak ada yang namanya Pak Tjiptadinata, sudah saya tanya hingga ke pojok sini dan sana. Kalau untuk ruangan sebelah sana sudah di pesan atas nama Waskita Reiki."
Karyawan tersebut menunjuk ruangan tengah yang ada di sudut dalam. Sempat terlintas nama Waskita Reiki tapi aku lupa kalau pendirinya adalah Opa, hiks. Maklum saat itu menyandang status "terburu-buru", ambyar sebagian ingatan hehe.
Untung aku masih punya jurus selanjutnya, menunjukkan foto Opa kepada karyawan.
"Nah orangnya seperti ini Mas, barangkali ada tamu seperti dalam foto ini?"
Aku menunjukkan foto profil WA Opa. Petugas terlihat mengernyitkan dahi.
"O kalau Bapak ini saya tau Mbak tapi gak tau namanya, itu yang pesan ruangan atas nama Waskita Reiki."
"Oh gitu nggih, baik bisa antar saya ke sana?"
Lagi lagi aku melirik jam di dinding ruangan itu. Ya Allah masih terus menuju setengah dua. Aku bergegas mengikuti karyawan tadi bersama si bungsu.
Di pintu masuk ruangan sudah ada seorang bapak yang menyambut, bukan Opa. Tapi aku langsung bisa menemukan Opa dan Oma dalam ruangan yang sama. Masya Allah.
"Ada yang bisa dibantu?"
"Maaf Bapak saya mau bertemu dengan Pak Tjiptadinata dan Ibu Roselina."
"Mbak dari mana?"
"Dari Kompasiana."
Naaah, aku dengan pedenya memperkenalkan diri dari Kompasiana. Maafkan, padahal menulis pun aku masih suka-suka, hehe. Tak apalah, setidaknya aku tak lupa Kompasiana sebagai rumah kedua, ya kan hehe.
Opa pun langsung berdiri menyambut. Jelas beliau masih bertanya-tanya, siapa? Sebab baik di Kompasiana maupun profil WA tak terpasang wajahku di sana, hehe. Saat aku sebut Ummu El Hakim, beliau langsung ingat, Masya Allah luar biasa. Padahal aku jarang nulis kan? Begitupun dengan Oma saat aku hampiri, Oma pun berkata,
"Ya, Oma ingat dengan Ummu El Hakim."
Jujur ini merupakan hal yang luar biasa secara Ummu El Hakim jarang sekali menulis di Kompasiana. Bahkan sehari menulis, entah kapan lagi, bisa seminggu atau bahkan sebulan kemudian, dan seperti itulah ritmenya, hihi.
Saat aku kenalkan si bungsu pada Oma beliau langsung faham, jikalau aku masih repot dengan urusan anak-anak. Oma lanjut berpesan,
"Oma tunggu tulisannya lagi ya dan tetaplah menulis."
Aiiih maknyees dan langsung meleleh. Seperti dapat suntikan semangat dari senior hebat. Meski lagi-lagi jari ini tak langsung bisa gercep mengeksekusi. Setidaknya berseliweran rencana, tentu ada.
Aku banyak belajar dari beliau berdua. Sikap menghargai sesama begitu luar biasa. Tak sungkan menyapa dan tak pilih dengan siapa. Semua dianggap sebagai sahabat. Ini yang aku sebut hal hebat.
Orang tua sebagai panutan dan orang tua sebagai tumpuan, tulisan beliau berdua selalu menginspirasi kehidupan, tak pernah mempermasalahkan perbedaan. Meski sudah lebih dulu banyak makan garam, namun tak sungkan berbagi pengalaman. Seringkali justru merangkai hikmah dibalik kisah-kisah yang beliau sajikan.
Saat beliau hendak berkunjung ke Indonesia pun tak lupa memberi kabar kepada seluruh Kompasianer yang beliau kenal. Tak terkecuali aku. Padahal aku merupakan bagian kecil dari Kompasiana bahkan tulisanku barangkali sudah banyak yang tenggelam, namun beliau tetap ingat. Hebat!
Rasanya tak sanggup jika menyiakan kedatangan beliau berdua. Sebab belum tentu dalam waktu dekat bisa kembali bersua terlebih jika sudah terbang ke Australia.
Saat sudah di depan mata, seperti bertemu dengan orang tua sendiri, beliau berdua tak sungkan menanyakan dengan berurai senyuman. Begitu ramah, tak membedakan Kompasianer yang hadir dalam ruangan.
Pertemuanku memang tak lama. Sebab waktu bergulir begitu cepat hingga semakin dekat dengan jarum jam setengah dua. Yang artinya aku harus segera berpamit menuju sekolah anak kedua.
Aku katakan pada Opa dan Oma,
"Saya senang bisa bertemu dengan Opa dan Oma, meski hanya sebentar tapi saya banyak belajar."
Tak lupa aku sampaikan semua titipan salam. Sebelum aku berpamit dan ucapkan perpisahan. Sampai jumpa lagi Opa dan Oma, semoga sehat selalu, dan terus semangat menyemangati para sahabat.
Semoga Yogyakarta menjadi persinggahan yang berkesan dalam lingkaran kebersamaan dan persahabatan. Selamat melanjutkan perjalanan nggih Opa dan Oma.
Cukup singkat namun tak sedikit yang aku dapat. Bertemu sahabat adalah hal indah yang sarat manfaat. Dari Opa dan Oma Tjipta, aku belajar arti menghargai sesama. Meski begitu sederhana, namun teramat berharga. Dan yang pasti mencatat dalam ingatan adalah trik tersembunyi yang beliau ajarkan.
Niek~
Jogjakarta, 7 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H