Kala itu, mentari mulai meredup. Sayup angin seolah tau. Aku masih menantimu. Tak bertemu. Sekadar mendengar ucapmu, tlah cukup bagiku. Belum jua terdengar, aku kian tak sabar.
Sebulan lebih, sejak kuantar kau pagi itu. Sempat kau lambaikan tangan. Dan senyum tanda siap temui masa depan.
Perlahan, kutinggalkan dirimu yang sudah berpaling, mengemasi barang bawaan. Mataku mulai berkaca. Ada titik bahagia dan rasa tak percaya, rupanya kau sudah beranjak remaja, tak seperti yang kukira.
Rumah keduamu, menjadi ladang terbaik, untukmu. Bagai benih yang kusemai, kini saatnya kupindah. Agar lebih berkembang dan indah. Begitulah kau di sana.
Membiarkanmu tumbuh bersama aliran sungai penuh kesejukkan. Menjadi sebuah bentuk kepercayaan di antara keyakinan. Kau banyak belajar mengatur langkah. Lebih dekat dengan-Nya, serta membenahi segala mimpimu.
Bukan tanpa ujian, deru angin pun hujan pasti kan datang menyapa. Namun bekal yang kau bawa, kuharap dapat kau gunakan sebagai cara agar kau bisa tumbuh lebih baik dan tangguh.
Pantang menyerahlah! Jikalau kau temui remah masa. Gunakan sebagai senjata agar kau pantang putus asa. Tumbuhlah di antara beragam kisah. Tangguhlah dalam menjalani terpaan musim yang silih berganti.
Yakinlah satu saat, akar bertumbuh menguatkan batang. Hingga dahan tak henti bertahan dari percikan hujan. Ikuti apa yang kau anggap benar. Sebagai bekal agar kau semakin kokoh berdiri dan tegar.
***
Akhirnya terdengar juga suaramu. Kubenahi rasaku. Kau pun tak membisu. Beragam kisah kau urai satu persatu. Begitu banyak pengalaman. Hingga kau pun lupa kisah kedatangan. Namun kau selalu ingat kapan jeda kepulangan.