Mohon tunggu...
Ummu el Hakim
Ummu el Hakim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang emak biasa

Penyuka alam dan rangkaian kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Waspada Covid-19, Anggaplah Jalan Naik Kelas Kehidupan

5 Agustus 2020   01:51 Diperbarui: 5 Agustus 2020   02:12 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pada langit kuberserah. Setiap helai daun yang berguguran bagai pengiring jalan. Sebuah keberuntungan jika bisa menapak hingga beranjak naik kelas kehidupan."

Begitulah yang kurasakan. Meski yang kulewati bukan hal yang kuinginkan. Anggaplah jalan naik kelas kehidupan. Ya, sebuah ungkapan yang barangkali bisa menenangkan pikiran.

Beberapa hari lalu aku mengalami hal di luar apa yang menjadi angan. Bagaimana tidak, selama ini aku berusaha untuk menjaga. Diriku juga orang-orang di sekitarku. Namun kurasa Tuhan memiliki rencana yang lebih indah. Meski aku harus lebih dahulu mengulur resah.

Siang itu, aku tak memiliki prasangka apapun jua. Dengan yakin kulangkahkan kaki menuju halaman masjid. Di mana sahabat lain sudah menanti.

Panitia qurban. Kebetulan aku mendapat tugas siang. Bergantian dengan suamiku. Tak ada benak lain selain yakin semua berjalan sesuai rencana pun protokol covid 19 yang telah disampaikan sebelumnya.

Menggunakan APD lengkap tanpa ada yang khilaf. Pun jaga jarak walau dengan sahabat dekat. Aku percaya semua yang ada di sana dalam kondisi baik-baik saja.

Sesuai dengan apa yang menjadi titah, tak boleh ada riwayat ke luar kota, atau hal lain di luar protokol yang telah ditetapkan.

Lalu bagaimana dengan aku? Tentu aku sudah menyiapkan jauh hari. Tak ke luar kota, pasti. Pun riwayat lain di luar prosedur, juga tidak aku lakoni. Aman. In syaa Allah. Maka tak kuragukan lagi langkah menuju lokasi.

Kuurai tugas yang harus segera tuntas. Siang itu daging qurban usai dieksekusi shift pagi, tinggal menunggu hingga distribusi. Namun masih dihitung dengan teliti, tak boleh ada yang terlewati.

Terdapat dua lokasi pendistribusian. Sehingga harus dibagi ke tempat yang berlainan. Agar memudahkan proses penyampaian.

Posisi daging pun harus dipilah. Supaya yang bertugas mendistribusi lebih mudah. Aku membantu mengusung beberapa tas daging ke arah pintu pendistribusian.

Beberapa harus dihitung ulang. Hingga benar-benar siap diangkut petugas yang datang. Shift siang yang cukup melelahkan. Namun kami melakukan tugas dengan suka rela tanpa beban pikiran. Bahagia. Ya, itulah yang kurasakan.

Rehat menjadi bagian yang wajib dilakukan. Di tengah tugas yang belum terselesaikan. Aku dan sebagian teman pun lantas asyik menikmati hidangan yang disediakan. Jujur tak ada pikiran lain berseliweran. Hanya bahagia sampai tugas bisa dituntaskan.

Hingga tak kupedulikan dengan siapa aku berdampingan. Aku hanya punya satu pikiran. Semua yang ada saat itu dalam kondisi aman. Sesuai dengan protokol yang dianjurkan.

Usai tugas aku pun pulang dan bersih-bersih badan seperti yang biasa kulakukan usai dari bepergian. Masa tak biasa ini memang menghendaki agar kita lebih meningkatkan kedisiplinan.

Aku merasa sudah maksimal dalam menjaga apa yang harus kujaga. Yakin semua baik baik saja. Larut malam pun aku hanyut dalam rehat. Tak kurasakan hal lain selain harus istirahat.

Pagi hari, sungguh menjadi awal berkecamuknya hati. Bukan karena aku tak sehat. Namun beberapa pesan singgah di gawaiku dengan begitu cepat. Bagai arus air yang cukup kuat. Aku hanya bisa menyimak satu per satu hingga mataku seakan tak henti menatap.

"Mba jangan kemana-mana dulu. Kemarin sempat lepas masker kan pas makan?"

Aku masih belum faham. Apa yang sekiranya sudah terjadi. Hingga beberapa pesan hadir bertubi. Lanjut aku baca pesan berikutnya.

"Mba beliau positif covid 19. Kabar baru terdengar sore usai beberes qurban. Yang sempat berinteraksi dengan keluarga beliau sebaiknya karantina mandiri. Njenengan bersebelahan dengan istri beliau sewaktu makan kan?"

Astaghfirullah. Saat kutersadar, sungguh bagai sebuah mimpi yang mengguncang alam bawah sadar. Antara percaya dan tidak percaya. Aku sendiri memilih untuk tak percaya.

Namun ini nyata. Jika aku bisa memilih, tak seharusnya aku ada saat itu di sana. Lalu apa aku harus memutar waktu dan mengatur mundur segalanya seperti yang kumau?

Kurasa itu hanya sebuah hal yang tak mungkin. Waktu bukan sebuah adonan roti. Yang bisa kubalik sesuka hati. Pun kuatur sekehendak diri. Ini memang kejadian tak terduga yang bisa dialami siapa saja. Harus ikhlas dan sabar menerima.

Menawar keadaan bukan merupakan tindakan jantan. Menghadapi dengan tangan terbuka, barangkali itu lebih bijaksana.

***

"Ibu kok pake masker terus. Kan di dalam rumah?"

"Enggak apa-apa biar Ibu tambah keren aja, pake masker. Hehe."

Anak-anakku sudah mulai resah. Tetiba aku memakai masker di dalam rumah. Biasanya aku mengajari mereka memakainya jika keluar rumah saja. Nah, tambah satu tugas lagi, menjelaskan.

Merekapun akhirnya memahami. Betapa pentingnya arti sebuah kata menjaga. Apa yang aku alami dan lakukan menjadi sebuah pelajaran berharga. Tak hanya untukku saja, namun seluruh anggota keluarga.

Ya, statusku kini harus menunggu. Aku tau ini bukan kondisi yang aku mau. Terlebih sebuah pengakuan yang begitu memikul berat beban. Aku harus menerima meski rasa ingin menolak begitu besar. Anggaplah ini sebuah jalan agar aku bisa naik kelas kehidupan.

Meski aku tak memiliki kontak erat dengan terkonfirmasi. Namun aku mempunyai kontak dengan sang istri. Itulah sebabnya mengapa kini aku disarankan untuk sabar menunggu. Dan dihimbau agar menahan diri tak keluar rumah dulu.

Sembari menanti hasil swab istri terkonfirmasi, aku harus memiliki kesadaran untuk menahan diri. Tak keluar rumah terhitung berita itu menghampiri. Ya, aku lakukan dengan segenap hati. Meski berat namun harus kujalani. Demi menjaga cinta di masa yang tak biasa.

Aku tau ini bukan merupakan hal yang kuinginkan. Jika aku bertanya mengapa dan bagaimana, sungguh itu tak kan menuai jawaban. Hanya menemui sebuah kesia-siaan. Tenanglah. Aku tak sendirian. Begitu banyak di luar sana yang mengalami kondisi sepertiku.

Ini bukan waktu untuk menyesali keadaan. Bukan pula menghakimi kenyataan. Anggaplah ini sebuah jalan agar kita bisa naik kelas kehidupan. Tentu lebih indah bukan?

Hingga saat ini aku masih menantikan. Tentu hasil terbaik yang diharapkan. Semoga Tuhan segera memberi jawaban. Apapun itu kan diterima dengan segala resiko yang ditimbulkan. Anggaplah ini jalan naik kelas kehidupan.

Tetaplah tersenyum dan bahagia, apapun kondisi yang saat ini menimpa. Sebab hidup di masa yang tak biasa sebetulnya bukan hal yang menakutkan, jika kita menemukan jalan supaya bisa naik kelas kehidupan. Percayalah kawan.

Niek~
Jogjakarta, 5 Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun