Namun ini nyata. Jika aku bisa memilih, tak seharusnya aku ada saat itu di sana. Lalu apa aku harus memutar waktu dan mengatur mundur segalanya seperti yang kumau?
Kurasa itu hanya sebuah hal yang tak mungkin. Waktu bukan sebuah adonan roti. Yang bisa kubalik sesuka hati. Pun kuatur sekehendak diri. Ini memang kejadian tak terduga yang bisa dialami siapa saja. Harus ikhlas dan sabar menerima.
Menawar keadaan bukan merupakan tindakan jantan. Menghadapi dengan tangan terbuka, barangkali itu lebih bijaksana.
***
"Ibu kok pake masker terus. Kan di dalam rumah?"
"Enggak apa-apa biar Ibu tambah keren aja, pake masker. Hehe."
Anak-anakku sudah mulai resah. Tetiba aku memakai masker di dalam rumah. Biasanya aku mengajari mereka memakainya jika keluar rumah saja. Nah, tambah satu tugas lagi, menjelaskan.
Merekapun akhirnya memahami. Betapa pentingnya arti sebuah kata menjaga. Apa yang aku alami dan lakukan menjadi sebuah pelajaran berharga. Tak hanya untukku saja, namun seluruh anggota keluarga.
Ya, statusku kini harus menunggu. Aku tau ini bukan kondisi yang aku mau. Terlebih sebuah pengakuan yang begitu memikul berat beban. Aku harus menerima meski rasa ingin menolak begitu besar. Anggaplah ini sebuah jalan agar aku bisa naik kelas kehidupan.
Meski aku tak memiliki kontak erat dengan terkonfirmasi. Namun aku mempunyai kontak dengan sang istri. Itulah sebabnya mengapa kini aku disarankan untuk sabar menunggu. Dan dihimbau agar menahan diri tak keluar rumah dulu.
Sembari menanti hasil swab istri terkonfirmasi, aku harus memiliki kesadaran untuk menahan diri. Tak keluar rumah terhitung berita itu menghampiri. Ya, aku lakukan dengan segenap hati. Meski berat namun harus kujalani. Demi menjaga cinta di masa yang tak biasa.