Sore itu, mentari masih terlihat begitu terik hingga tak pudarkan cahaya. Rupanya angin mampu menundukan senja dan nyata membuat bulu kuduk berdiri. Kau masih saja asik menyiangi beberapa helai bekas jerami. Â
"Kena satu...."
Seekor katak melompat kegirangan  berusaha menghindarimu. Nahas tanganmu lebih cepat dari lompatan sang katak. Kau berusaha mendekat, namun tak menyakitinya.
Tak jua menangkap erat. Sekadar bercanda. Sang katak pun seakan tau. Isyarat darimu begitu jitu. Dia tak menjauh. Tak jua dekat. Seakan memberi isyarat, dia pun senang jika kau melompat girang.
"Sudahlah Nak, ayo kita pulang, hari mulai malam."
"Tak mau, belum gelap pun Bu."
Kau memang seperti kuda. Lari ke sana kemari seolah tak memiliki rasa lelah. Padahal aku sudah gerah ingin segera berebah.
"Ibu pulang dulu saja aku menyusul. Berani!!!"
Aku tau kau anak yang mandiri. Tak seharusnya aku mengatur waktumu. Namun namanya ibu tetap saja punya asa melebihi apa yang kau rasa. Mandi kesorean hingga terasa kedinginan. Rupanya kau berusaha meyakinkan. Jika pandai menahan.
Terkadang sulit bagiku menerima keadaan. Anak seusiamu tak seharusnya luput dari perhatian. Tak jarang pula aku melihat kau perhatikan. Namun sesungguhnya kau lebih dari apa yang kuperhatikan.
"Aku sudah mandi, tapi aku ingin main lagi."