Usapan tanganmu begitu lembut menyentuh kepala dan dahiku. Ciuman hangat mendarat di kening hingga kuterjaga dan kubalikan wajah tanpa ragu. Kau membangunkanku, pagi itu.
"Nak, hari ini jadi ke gasebo?"
Suaramu membuatku terjebak. Tetiba mataku terbelalak. Ya, aku ingat! Gasebo. Ada yang menungguku di sana. Ah tak sabar rasanya.
Apa yang akan kukatakan saat bertemu? Yeeah biarlah kusimpan dulu. Lebih baik aku mandi dan menuruti perintah ibu. Sarapan.
Katakan dengan cinta, ibu. Ungkapan itu terangkai manis di atas meja. Sepiring nasi berhias telor ceplok. Kesukaanku. Di pagi hari tak ada yang kusukai selain telor ceplok. Rupanya ibu tau, tanpa kuberi tau.
Baju seragam sudah bergaris rapi. Pertanda baru disetrika dengan sepenuh hati. Harum. Ibu membubuhi percikan aroma bunga.
Meski aku anak lelakinya, bukan berarti mengajariku menjadi penyuka bunga. Namun agar aku bisa lebih menghargai cinta. Seperti sekuntum bunga. Begitulah ibu berkata.
Acara pagi yang memesona. Bagaimana tidak, hari pertamaku berdamai dengan kebiasaan baru. Bekalku pun menjadi lebih beraneka dari yang biasa. Hand sanitizer menjadi senjata utama. Faceshield sebagai pelindung sekaligus melindungi cinta. Mengapa?Â
Kini, dengan cara inilah ungkapan rasa lebih terjaga. Dan menjadi bekal sebuah kata menjaga. Sekolahku pun sedikit berbeda. Kata ibu, aku belajar di ruang yang tak biasa. Bertemu tak banyak wajah, hanya beberapa. Semua demi menghargai cinta. Sebelum berangkat, ibuku tak lelah memberi pesan. Jangan lupa cuci tangan.
Begitulah cinta. Rasanya lengkap sudah aku membawa seperangkat pesan dalam satu tas berisi perhatian sebelum aku pergi. Ibu bilang, agar aku terlindungi. Baiklah, ini bekal awal sebuah hal bagaimana aku menghargai cinta.
"Boleh aku bawa kandang belalang, Bu?"
"Hmmm. Baiklah. Yang penting kau bahagia. Asal bisa menjaga agar suasana tetap terjaga."
"Tentu saja."
Aku melangkah pasti. Gasebo tak jauh dari tempat aku berdiri. Tak diantar pun aku bisa sendiri. Namun, pagi itu ibu menemani. Barangkali sudah lama tak melakukan ini. Rindu mengantar, tentu menjadi bagian dari menghargai cinta.
Aku masih terlalu muda untuk memahaminya. Tapi aku sudah cukup mengerti bagaimana merasakannya. Perhatian ibu tentu menjadi pedoman untukku menghargai cinta.
"Letakkan kandang itu di tepi ya."
"Oke Bu."
Aku tau maksud ibu. Agar tak mengganggu. Tenang, aku hanya rindu. Sudah lama tak bertemu. Mereka teman bermainku. Belalang. Kandang ini menjadi saksi, rindu segera terobati.
Kuletakkan kandang seperti yang ibu bilang. Sebelum kuberanjak. Kutatap wajah baru yang mulai mendekat. Mereka tak ada yang menolak. Kandang pun tetap nyaman berada di tempat. Aku semakin bersemangat.
"Assalamu'alaikum anak shaleh."
"Wa'alaikumussalam."
Aku tertunduk malu. Suaraku pun masih ragu. Namun wajah itu meyakinkanku. Terlebih senyum yang membuatku tak bisa mengelak untuk segera beranjak, memasuki gasebo. Akupun berpamitan pada ibu.
Saat ibu semakin menjauh. Aku mulai mendekati wajah-wajah baru di hadapku. Mereka terlihat siap menyambutku. Cinta, ya aku tetap meyakini itu. Mereka pun sama seperti ibu. Menghargai cinta.
"Hei, kandangmu bagus. Yuk kita main."
Seseorang menghampiriku. Dia seusiaku. Usia yang masih terlalu muda untuk memahami cinta. Begitupun anak yang ada dihadapanku, sama. Namun aku merasakan dia tak sungkan menyapa walau kita baru berjumpa. Barangkali itulah cinta.
Aku hanya butuh beberapa waktu untuk memulai bercerita. Beberapa pasang mata telah mengajariku bagaimana menghargai cinta. Tak lama aku merasa terbiasa. Bahkan suasana menyenangkan berhasil membuatku terlena.
Aku bahagia. Menemukan cinta di antara pasang mata yang tak biasa. Bukan hal yang mudah jika mereka tak mengajariku bagaimana menghargai cinta. Itulah yang menjadi bekal utama mengurai cerita, setelah keluarga.
Niek~
Jogjakarta, 25 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H