Mentari tersenyum menatap bola mata. Bidiknya membuatku tak beranjak dari ruang teduh tempat kubersandar, menunggumu. Kau tak jemu memandang crayon warna biru. Kau ambil satu lalu kau goreskan pada lembar dihadapmu. Sesekali kau melihatku, lalu tersenyum.
"Ibu di situ ya."
"Siap!"
Kau bahkan tak mau aku mendekat. Walau jarakku bisa saja kuatur lebih dekat. Namun kau memberi tanda bahwa kau bisa tanpa aku ada. Kau palingkan perlahan tatapmu pada sebilah papan kayu. Tempat di mana lembar kau goreskan dengan crayon warna biru.
Perlahan ayunan tanganmu berbicara. Kau begitu percaya. Tak ada ragu pada apa yang kan kau baca. Meski yang tertata hanya satu, crayon warna biru.
Rupanya kau justru semakin asyik dengan apa yang ada dihadapmu. Sesekali kau memandangku. Sekejap kemudian menatap kembali pada lembar penuh dengan crayon warna biru.
"Bagus kan Bu?" teriakmu padaku.
"Tentu."
Mataku berbinar melihat karyamu. Senyummu sentuh rasaku saat itu. Meski kutau yang kau tuang hanyalah crayon warna biru, kesukaanmu.
Namun gurat wajahmu tak kubaca gelisah. Kulihat kau begitu menikmati tanpa gundah. Sesekali senyum kau urai dalam balutan wajah. Kau sungguh bahagia walau seluruh badan lembar di hadapmu penuh dengan crayon warna biru.
"Sudah Bu."