Mohon tunggu...
Ummu el Hakim
Ummu el Hakim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang emak biasa

Penyuka alam dan rangkaian kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Edelweis

18 Juni 2020   22:34 Diperbarui: 18 Juni 2020   22:32 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : senjakelabu29

Lis segera meletakkan kendaraan di sebuah sudut, di mana pintu gerbang terbuka lebar. Aku segera menyusul dari arah belakang. Kami pun masuk ke sebuah ruang secara bersamaan.

Seorang ibu berkacamata tersenyum menyambut kedatangan kami. Ruang itu begitu sunyi. Ibu paruh baya tersebut terlihat duduk seorang diri. Di sudut meja panjang terdapat sebuah tulisan mini. "Asrama Putri".

"Maaf Bu, apakah masih ada tempat untuk kami berdua?" aku langsung mengutarakan maksud kedatangan kami ke tempat itu.

"Masih tapi tinggal satu, bisa untuk berdua kok, ranjang ada dua. Bagaimana?" Ibu tersebut menjawab dengan begitu mantap. Seolah mengetahui betul kondisi tempat ini. Barangkali beliau adalah sang pemilik asrama putri.

"Tidak mengapa Bu malah kebetulan itu yang kami cari. Lebih murah kan?" Lis menjawab sembari mengurai senyuman.

"Baiklah. Oya, di sini banyak peraturan. Kalian keberatan?" tetiba Ibu itu melayangkan tanya.

"Tidak Bu! Kami tidak keberatan. Malah itu lebih aman dan nyaman." aku pun menjawab penuh kepastian. Sembari memandang Lis yang kembali berurai senyuman. Tanda persetujuan.

***

Sejak keputusan untuk mengambil akta mengajar. Aku dan Lis harus singgah di sebuah kota pelajar. Kami sepakat untuk bersama belajar. Pun mengurai sebentuk kisah kehidupan dalam serambi rumah singgah yang kami impikan.

Di kota ini, kami tak punya banyak informasi. Pintu demi pintu kami lalui. Namun hingga sore hari belum jua ditemui tempat yang cocok untuk kami tempati.

Seharian kami telah menyusuri jalan. Berharap ada asrama yang menjadi tempat persinggahan. Tak satupun yang menawan, mahal pun tak nyaman. Hingga menjelang sore, rasanya kami tak sanggup lagi. Mata pun kaki seolah sudah tak searah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun