Hawa kesejukan mulai dirasakan. Saat ramadan menyapa dari balik bilik kehidupan. Waktu kian mendekap asa. Kala desir angin belum jua menyingkap catatan cerita.
Terselubung tanya, sanggupkah kita bertahan pada masa yang tengah digariskan? Tentu, kita harus hadapi kenyataan. Meski dihadapkan pada sehampar keterbatasan. Pun penyelesaian yang masih enggan diungkapkan.
Wabah. Rupanya belum jenuh singgah. Hingga tangan-tangan tak henti menengadah. Namun kiranya wabah masih terasa betah. Hadir bagai sedang menunaikan tugas. Wabah pun bergerak asyik menjelajah, seakan belum tuntas. Menembus ruang tanpa batas.
Mencari jiwa-jiwa untuk diserang. Hingga tak henti menyerang. Lantas bagaimana menghentikan? Bila waktu terus saja berjalan. Lalu apa pula yang hendak dikatakan? Jikalau bulan suci tetiba datang. Namun wabah masih saja bersarang.
Marhaban Yaa Ramadan. Begitulah Dia berbisik. Suara langit hadir di tengah hati yang terusik. Meski pandemi masih saja mengusik. Namun diri tak henti menyelisik. Yakin masa ini hadir, tentu agar kita bisa menjadi lebih baik.
Tahun ini sapa ramadan memang begitu berbeda. Terasa tak seperti biasa. Tak ada saling jumpa. Apalagi mengunjungi sesama. Peluk hangat orangtua pun para saudara. Semua hanya sebatas lewat layar gawai bersua.
Tersebab wabah yang melanda. Kini semua dianjurkan untuk di rumah saja. Pun menjaga jarak terhadap sesama. Hal ini tentu agar korban tak bertambah banyak. Dan wabah pun segera lenyap.
Kenyataan ini harus dilewati. Meski hati kian mendera sunyi. Saat kaki masih terhenti. Rumah ibadah pun terasa sepi. Terkunci. Hingga tak terlihat jamaah hadir menghampiri. Tatap begitu pedih, mengulur segala perih.
Hanya terdengar adzan sebagai penanda waktu dikumandang. Lepas itu larut kembali dalam kesunyian. Rupanya alam tak henti bergumam. Hingga diri sepenuhnya faham.
Malam ramadan yang seharusnya berhias cahaya bulan. Harus terganti remang pelita di keheningan malam. Bahkan rintik hujan tetiba hadir turut merasakan. Begitu syahdunya getaran alam saat ramadan datang di tengah wabah yang menyerang.
Cermin-cermin seakan dipajang. Agar kita bisa saling memandang. Begitu banyak yang telah kita lakukan pada kehidupan. Kiranya ini bagian teguran Tuhan. Agar kita lebih bisa berlapang. Dan menahan diri dari segala bentuk cobaan. Â
Lalu seuntai tanya pun dilantunkan. Apa yang harus dilakukan? Pada ramadan yang kembali datang. Sejenak kita berpikir. Kiranya kita perlu membenahi dzikir. Hingga menyemat segenap harap agar wabah segera berakhir.
Rumah. Ya, pada akhirnya tempat pulang paling indah. Kini semua harus kembali ke rumah. Berdiam diri, menahan segala resah. Hingga berakhirnya wabah.
Barangkali selama ini banyak dari kita yang terlena. Disibukkan dengan segala urusan usaha pun bekerja. Hingga melupakan kehadiran rumah begitu saja. Pagi harus bersiap, dan kembali menjelang senja.
Tinggallah di rumah hanya ibu atau bahkan pengasuh dan anak kecil yang masih balita. Tentu begitu sunyi ketika sebagian penghuni  memiliki kepentingan yang tiada henti.
Bahkan anak sekolah pun kerap demikian halnya. Ada yang harus menghabiskan masa belajar dan bermain di sekolah. Seolah tak rindukan rumah. Semua dilalu demi kewajiban layaknya mencari nafkah.
Begitulah. Sehingga rumah hanyalah menjadi tempat singgah. Itulah mengapa banyak dari kita yang lengah. Bagaimana pertama lahir ke dunia. Rumahlah yang menjadi tuju utama. Ketika kita mulai bisa menapak pun menatap semesta. Rumah pulalah yang menjadi saksi masa.
Bagaimana rangkaian kehidupan dimulakan. Rumah menjadi awal segala impian. Untuk dikenang bukan ditinggalkan.
Kini, kita bagai diingatkan. Saat wabah tetiba dihempaskan. Sontak mengharuskan semua manusia kembali ke rumah. Sebab di sanalah tempat paling aman dari segala gundah. Agar terhenti wabah. Berdiamlah di dalam rumah.
Bahkan jika hendak menunaikan ibadah saat wabah. Pun diutamakan di dalam rumah. Sungguh sebuah fenomena yang begitu indah. Menjadikan rumah sebagai pusat ibadah.
Hingga ramadan tahun ini singgah, rumah menjadi titik diri menggapai serangkai berkah. Menuai segala bentuk amanah. Semua dilakukan di dalam rumah.
Bahkan yang menjadi ciri ketika ramadan, shalat tarawih berjamaah. Kini dialihkan di dalam rumah. Tinggallah keluarga inti. Yang tersisa untuk saling menguatkan diri. Tentu kita kan pahami, apa makna dibalik semua ini.
Ya, rumah. Menjadi sebuah ruang menuai berkah. Merupakan tempat yang pertama. Sebagai catatan paling utama. Saat seluruh kegiatan dikembalikan ke rumah. Hingga berakhirnya wabah. Tentu ini bukan sekadar hikmah, melainkan anugerah dibalik terjadinya musibah.
Kiranya rumah tak henti lantunkan ayat penuh pengharapan. Ketika langit masih gantungkan segala cobaan. Dan saat ramadan kembali menyapa, semua pintu terbuka untuk jalan bahagia. Tak ada kata selain kesyukuran pada-Nya. Meski ruang hampa terhampar di depan mata. Pun badai wabah masih meraja.
Bagaimana tidak, inilah yang kini dirasakan manusia. Saat tak bisa menginjak rumah ibadah. Pun bersilaturahmi menuai berkah. Tentu rumah menjadi tempat berlindung paling nyaman. Di mana semua aktifitas bisa berjalan dengan aman.
Yang bekerja, sekolah, bahkan menjalankan usaha. Sebisa mungkin dialihkan di dalam rumah. Berkomunikasi pun menggunakan teknologi masa kini. Kiranya dijadikan sebagai alternatif solusi. Semua demi wabah agar segera terhenti.
Inilah hikmah dibalik terjadinya musibah. Bahkan ritual ibadah pun dipusatkan di rumah. Meski suasana ramadan tak lagi seperti biasa. Yang mana disambut dengan keramaian suka. Pun keriuhan saat menjelang berbuka. Tetiba harus menguntai jejak ramadan dengan balutan penuh makna sederhana. Yang dilakukan di rumah saja.
Barangkali ini bagian dari kenyataan. Agar manusia tak terjebak dalam sehampar kemewahan. Menyigi harapan ramadan penuh pengampunan. Hingga memberi penerang meski tak seindah yang pernah dikenang.
Kiranya manusia wajib menyambut dengan sebentuk kesyukuran. Pun hadapi kenyataan dengan tangan penuh kebajikan. Ramadan kali ini sungguh menuai banyak pelajaran.
Di tengah wabah pun musibah. Kiranya terhampar hikmah. Saat rumah menjadi pusat ibadah. Yakin ramadan kali ini terasa indah. Dan pastikan tetap tinggal di dalam rumah. Hingga alam kembali tersenyum ramah.
Niek~
Jogjakarta, 24 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H