Lalu seuntai tanya pun dilantunkan. Apa yang harus dilakukan? Pada ramadan yang kembali datang. Sejenak kita berpikir. Kiranya kita perlu membenahi dzikir. Hingga menyemat segenap harap agar wabah segera berakhir.
Rumah. Ya, pada akhirnya tempat pulang paling indah. Kini semua harus kembali ke rumah. Berdiam diri, menahan segala resah. Hingga berakhirnya wabah.
Barangkali selama ini banyak dari kita yang terlena. Disibukkan dengan segala urusan usaha pun bekerja. Hingga melupakan kehadiran rumah begitu saja. Pagi harus bersiap, dan kembali menjelang senja.
Tinggallah di rumah hanya ibu atau bahkan pengasuh dan anak kecil yang masih balita. Tentu begitu sunyi ketika sebagian penghuni  memiliki kepentingan yang tiada henti.
Bahkan anak sekolah pun kerap demikian halnya. Ada yang harus menghabiskan masa belajar dan bermain di sekolah. Seolah tak rindukan rumah. Semua dilalu demi kewajiban layaknya mencari nafkah.
Begitulah. Sehingga rumah hanyalah menjadi tempat singgah. Itulah mengapa banyak dari kita yang lengah. Bagaimana pertama lahir ke dunia. Rumahlah yang menjadi tuju utama. Ketika kita mulai bisa menapak pun menatap semesta. Rumah pulalah yang menjadi saksi masa.
Bagaimana rangkaian kehidupan dimulakan. Rumah menjadi awal segala impian. Untuk dikenang bukan ditinggalkan.
Kini, kita bagai diingatkan. Saat wabah tetiba dihempaskan. Sontak mengharuskan semua manusia kembali ke rumah. Sebab di sanalah tempat paling aman dari segala gundah. Agar terhenti wabah. Berdiamlah di dalam rumah.
Bahkan jika hendak menunaikan ibadah saat wabah. Pun diutamakan di dalam rumah. Sungguh sebuah fenomena yang begitu indah. Menjadikan rumah sebagai pusat ibadah.
Hingga ramadan tahun ini singgah, rumah menjadi titik diri menggapai serangkai berkah. Menuai segala bentuk amanah. Semua dilakukan di dalam rumah.
Bahkan yang menjadi ciri ketika ramadan, shalat tarawih berjamaah. Kini dialihkan di dalam rumah. Tinggallah keluarga inti. Yang tersisa untuk saling menguatkan diri. Tentu kita kan pahami, apa makna dibalik semua ini.