Mohon tunggu...
Ummu el Hakim
Ummu el Hakim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang emak biasa

Penyuka alam dan rangkaian kata

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengenang Jejak Petualang di Lereng Gunung Slamet

14 Januari 2020   01:17 Diperbarui: 14 Januari 2020   07:42 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : travel.kompas.com

Pernahkah kalian singgah di Kota Purwokerto? Atau barangkali tinggal di salah satu sudutnya? Ya, kota yang mendapat julukan "Satria" ini memang kerap menggoda telinga.

Purwokerto, berada di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Terletak tepat di lereng Gunung Slamet, seakan menuai beragam cerita. Bagai melukis pada selembar asa yang tersemat di setiap sudut kota.

Dimana pernah kuletak berjuta mimpi. Pesonanya mampu tambat ingatan hingga kini. Purwokerto, begitulah nama yang istimewa tak mungkin kulupa.

Kebetulan aku lahir dan besar di sana. Beragam kenangan kuuntai seiring laju perkembangan kota. Ya, kota yang berada sedikit menepi. Jikalau dari arah Jakarta menuju Jogjakarta pastilah lewati kota ini.

Dulu, kota ini masih lugu. Bangunan pun gedung belum begitu membelenggu. Kesejukkan terasa hingga jantung kota. Setiap sudut masih tercium aroma alami nan memesona.

Kini, semua telah berubah. Kota Satria menjadi begitu padat bak metropolitan yang sumringah. Beberapa ruas sudah dipenuhi bangunan. Pun kemacetan terjadi di berbagai penjuru jalan.

Hingga satu ketika aku sempatkan sejenak mengunjungi kembali. Kurasakan hawa yang berbeda. Hempasan kesejukkan seolah kian berubah warna. Jejak petualang yang dulu sempat kugoreskan. Seakan terkikis letihnya zaman.

Aku dibesarkan di bagian Utara kota ini. Tepatnya di lereng Gunung Slamet yang menjulang tinggi. Saat itu, tiap detik masih kudengar kicauan merdu. Pun pesona Slamet bisa kunikmati dari berbagai penjuru. Bebas, tanpa terhalang rintang bangunan. Hanya alunan pepohonan yang pecahkan kesunyian. Indah, tentu kurasa demikian.

Ada saja waktu yang kucuri tuk sekadar nikmati keindahan alami. Pesona Gunung Slamet kerap menggoda hati. Terlebih lagi jikalau jadwal tak begitu padat. Melipir tuk lepaskan sedikit penat adalah hal terhebat. Rasanya patut diingat.

Jalan HR. Bunyamin seolah jadi saksi setiap jejak petualangku kala itu. Merupakan jalan utama menuju arah Gunung Slamet, salah satu petunjuk awal sebuah petualangan dimulakan. Dan aku menjadi bagian pecandu alam yang hanya bermodal kenekatan.

Titik tuju utama adalah obyek wisata Baturaden. Barangkali ada yang pernah mendengar atau bahkan singgah meski barang sebentar di sana?

Ya, obyek wisata ini menjadi sangat terkenal, dimana terdapat beberapa sumber mata air yang mengandung belerang. Pun pemandangan yang eksotik juga udara yang begitu mengurai kesejukkan. Sehingga kerap menjadi buruan para wisatawan.

Dan Pancuran Tujuh, menjadi bagian akhir rute petualanganku kala itu. Mengapa akhir? Lalu di mana awal rute bermula?

Ya, aku menggunakan rute yang tak biasa. Melewati jembatan Kalipagu, teriring elok Bukit Cendana pun DAM buatan Belanda. Ekstrim dan cukup menantang. Namun disitulah letak keindahan yang tertuang.

Penasaran? Baik akan kuceritakan bagaimana persahabatanku dengan sebentang alam kala itu. Meniti jejak petualang di lereng Gunung Slamet. Menjadi bagian yang patut dikenang.

Gunung Slamet. Gunung ini merupakan gunung terbesar di Pulau Jawa. Tergolong kerap melakukan aktifitasnya. Namun hal ini tentu sangat berguna. Sebab dengan begitu kondisi aman bisa terus terjaga. Semoga.

Begitu banyak pendaki yang terpesona hingga ingin bersahabat lebih dekat. Tak menjadi masalah, jikalau selama bersahabat mematuhi aturan pendakian yang melekat. Bisa dikatakan akan aman mengurai jejak demi jejak.

Ada beberapa titik pendakian yang bisa dilewati. Salah satunya adalah yang pernah aku susuri, saat itu. Rute Kalipagu berakhir di pintu Pancuran Tujuh. Ini menjadi salah satu rute favorit para pecandu alam. Begitu mengasyikkan dan pasti melekat dalam ingat meski terganti zaman.

Rute Kalipagu. Seingatku, untuk bisa melewati rute ini butuh kekuatan fisik yang cukup lumayan. Sedari turun kendaraan di Desa Ketenger, hingga perlintasan jembatan Kalipagu, kita harus berjalan kaki beberapa kilometer. Namun kondisi jalan sejauh ini masih aman.

Tepat di bawah jembatan merupakan tempat yang cocok untuk rehat barang sejenak. Curug (air terjun) Gede, seolah menyapa setiap pendaki yang melewati rute ini.

Singgah adalah hal terbaik yang dibuat. Sekadar merendam tapak kaki sesaat. Guna mengumpul tenaga pun semangat. Tuk lanjutkan rute kembali yang akan dihadap. Diurai dengan buaian alam yang begitu memikat. Kiranya Curug Gede kan menemani dengan nyanyian dalam rehat sejenak.

Setelah melewati jembatan Kalipagu pun Curug Gede, struktur jalan sudah terlihat menanjak. Dan ini berlaku hingga beberapa kilometer jalan setapak. Maka akan segera terlihat sehampar pipa raksasa yang begitu panjang. Dengan anak tangga yang lumayan curam.

Pipa raksasa ini merupakan peninggalan Belanda. Pipa menuju DAM yang dibangun pada masa yang sama. Terdapat di ujung dekat jalan setapak yang lebih menanjak. Merupakan pemandangan langka yang tak biasa. Menakjubkan.

Pipa raksasa PLTA Ketenger peninggalan Belanda. Sumber : aroengbinang.com
Pipa raksasa PLTA Ketenger peninggalan Belanda. Sumber : aroengbinang.com
Apalagi ketika duduk pada anak tangga tertinggi, terlihat sehampar permadani hijau yang begitu memukau. Seolah menuai tanya, apakah kita kan merasa berbangga jikalau di depan mata terdapat balutan yang lebih indah, dari apa yang menjadi keindahan yang selama ini digenggam?

Kiranya tak ada nikmat yang kan terdustakan. Sebab Tuhan tlah mengatur sebaik-baik keindahan. Dan manusia diharap mampu mensyukuri nikmat yang diberikan.

Selanjutnya, saat menuruni anak tangga, satu demi satu kiranya hati diliputi kekhawatiran. Mengingat kondisi yang begitu curam. Akankah selamat sampai batas akhir yang menjadi tujuan?

Di sini kita belajar menjaga diri hingga mencapai dasar yang menjadi tuju abadi. Cobaan tentu saja merupakan cambuk yang harus dihadapi. Jika ingin sampai pada masa yang Dia ingini.

Nah, sampailah pada sehampar sabana. Di sebelah kiri tersanding Bukit Cendana. Dia menyapa, sudah lelahkah raga kita? Hingga titik dimana akhir belum dijumpa. Kiranya hijau mampu melindungi. Dan lelah raga berhasil dilewati.

Lanjut kembali menemukan sesuatu di ujung harapan. Di antara puing DAM (kolam tando) PLTA yang terbentang air tenang. Di sanalah kesegaran disuguhkan. Bagaimana saat sebuah perjalanan yang tentu menuai penat. Kemudian ditemu satu tempat yang memikat. Hati sudah pasti tertambat.

DAM (kolam tando) PLTA Ketenger. Sumber : aroengbinang.com
DAM (kolam tando) PLTA Ketenger. Sumber : aroengbinang.com
Menikmati semilir angin pun genang air tenang yang menuai kesegaran. Kiranya bisa sejenak meletak lelah sesaat. Berteman pemandangan alam yang begitu menebar pikat.


Ya, tak terasa kita sudah mulai berada di ketinggian yang cukup lumayan. Dimana sehampar alam terurai bak negeri di atas awan. Kiranya lelah diri tak dirasai. Terbalas pesona luar biasa yang mampu membuat lupa diri.

Setelah siap, lanjut kembali menyusuri aliran air menuju jalan setapak berikutnya. Nah, kali ini rute lebih mengundang uji nyali. Dimana hanya berbekal mawas diri. Hutan lebat menjadi sahabat. Pun kanan kiri jalan mulai terjal dan menuai jurang yang cukup curam.

Aliran air menuju jalan setapak ke Pancuran Tujuh. Sumber : hexatography.blogspot.com
Aliran air menuju jalan setapak ke Pancuran Tujuh. Sumber : hexatography.blogspot.com
Nyanyian merdu penghuni hutan mulai menggoda alam pikiran. Tentu menambah syahdu ingatan perjalanan. Naik dan terus naik, jangan coba lihat ke belakang. Atau di samping yang sudah pasti terhampar jurang.

Di sinilah saat terbaik melatih diri untuk teguh pada pendirian. Begitulah yang kurasakan. Menatap ke depan serta tingkatkan kehati-hatian kiranya menjadi kunci menghadapi cobaan.

Ingat pada rute ini hewan mulai mengintai. Pacet, lintah, pun berbagai serangga kerap menemani. Tetap waspada, namun jangan terlalu khawatir diri. Sebab mereka hanya menyapa bukan ingin menyakiti. Percayalah.

Setapak ini hanya berkisar tak lebih dari satu kilometer. Tenanglah. Hawa belerang segera ditemui. Penghujung rute pun segera dijumpai. Pancuran Tujuh tak lama kan disinggahi. Saat itulah kebahagiaan seketika hinggap. Tetiba lelah pun lenyap. Terganti dengan kesyukuran yang teramat kuat.

Pancuran Tujuh obyek wisata Baturaden. Sumber : lalerijo.com
Pancuran Tujuh obyek wisata Baturaden. Sumber : lalerijo.com

***

Begitulah jejak petualanganku bercerita. Bercengkerama dengan balutan alam yang masih belum tersentuh teknologi. Menjadi bagian yang mengundang diri tuk kembali. Lagi dan lagi.

Rute indah ini kerap membuat hati rindu. Mengulang adalah hal yang teramat dirindu. Meski berulang kali kiranya tak pernah terungkap kata jemu. Tersebab alam tak kan mengkhianati persahabatan. Menjadi bagian dari sebuah perjalanan dalam sepenggal kisah kehidupan yang tak terlupakan.

Yang harus dicatat, jika ingin kondisi tetap sehat dalam bersahabat di lereng Slamet. Pegang semangat setiap saat, jauhkan diri dari kata penat. Jikalau tak ingin jatuh dan terjebak.

Pandang lurus ke depan, urai ucapan yang bermanfaat. Jaga perkataan yang tak manfaat. Maka kita pasti kan selamat. Dalam dekap alam yang begitu berharga untuk diingat.

Begitulah moto yang kami semat. Menelusuri jejak petualang tak harus memiliki raga yang hebat. Yang dibutuhkan hanyalah cinta dan semangat. Pun tak lupa doa. Itu saja.

Salam petualang.

Niek~
Jogjakarta, 14 Januari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun