Sore itu, 9 Desember 2019, Widodomartani, Ngemplak, Sleman, Jogjakarta. Tetiba hujan lebat diiringi angin yang begitu hebat. Menerpa beberapa ruas daerah di Kecamatan Ngaglik hingga Widodomartani, Ngemplak, Sleman. Sempat merobohkan papan nama sekolah pun pepohonan yang menimpa beberapa jaringan listrik di sekitar pemukiman.
Seperti yang dialami warga lingkungan kami, Perum Wahana Praja. Kebetulan perum kami ini berada pada wilayah Kecamatan Widodomartani yang terkena dampak bencana.
Tiang listrik beton yang berada di sebelah Utara gapura roboh menimpa pepohonan disekitarnya. Listrik padam seketika. Hingga larut malam tak kunjung menyala. Tentu saja, sebab kerusakan yang ditimbulkan tak bisa segera diatasi. Harus menunggu esok hari.
Kami hanya pasrah diri. Ini adalah kehendak-Nya yang harus ditaati. Menelusuri kegelapan bukan hal yang menakutkan. Jika kita mau menyemat cahaya dibalik temaram malam. Bagaimana bisa? Tentu saja tak mudah menghadapi hal yang demikian. Karena kegelapan kan menuai kekecewaan. Menurut kita yang hanya menggunakan kacamata manusia biasa.
Lalu bagaimana menyikapi dengan bijaksana? Tentu kita harus mampu melewati jembatan keikhlasan. Tanpa hal itu tak kan mudah melepaskan diri dari jerat kegelapan yang mengelilingi. Apalagi tanpa bekal yang memadai. Sedang aneka tugas masih menunggu untuk dieksekusi.
Adanya pohon tumbang hingga jaringan listrik yang mengalami kerusakan. Tentu bukan hal yang diinginkan. Apalagi saat itu kami tak menyangka kan mengurai malam dalam gulita. Tak ada persiapan sebelumnya. Lampu LED pun emergency belum sepenuhnya tertata. Semua serba terbatas daya. Padahal anak anak masih mengurai PAS hari kelima. Mereka terpaksa membaca di tengah gulita dengan penerangan seadanya.
Bagaimana tidak, selama ini kita dimanjakan dengan nikmatnya teknologi. Segalanya menjadi mudah tanpa menuai susah. Tak merasakan bagaimana mengurai perjuangan mendapatkan penerangan. Tinggal duduk manis menikmati hasil yang mengagumkan.
Saat tetiba dicoba, maka hanya bisa menopang kesedihan. Padahal dalam mendapatkan sesuatu pastinya butuh pengorbanan. Itulah arti penting sebuah perjalanan kehidupan. Tak selamanya dalam bingkai apa yang menjadi keinginan.
Namun sepertinya banyak manusia yang terlupa. Tergoda gemerlap kecanggihan masa kini yang menyilaukan mata. Di jaman sekarang semua serba dimudahkan.
Pun teknologi rupanya telah membuat kita banyak melakukan kekhilafan. Begitu berharganya arti sebuah kebersamaan dalam kekurangan. Sehingga akan dapat senantiasa terbalut dalam rajut kesyukuran.
Kerap kita mengeluh di tengah kegelapan. Tersebab kita tlah terbiasa dimanjakan dengan teknologi penerangan. Coba bayangkan hidup di jaman perang. Jangankan lampu mewah, pelita pun menggunakan arang.
Namun tak didengungkan semburat kekecewaan. Yang ada semangat pun penerimaan tak pernah dipadamkan. Sungguh bertolak belakang dengan kehidupan sekarang. Apapun sudah terlilit kata "nyaman".
Pohon tumbang pun kerusakan jaringan listrik yang diakibatkan karena hujan lebat. Barangkali hanya sekedar musabab. Diantara puing puing ciptaan-Nya yang terhebat.
Rupanya alam tengah mengajak kita tuk berpikir. Bukan malah mangkir. Entah apa yang kerap terpikir. Tentang keadaan yang terjadi sebaiknya tak menyingkir. Justru inilah saatnya kita bermuhasabah diri. Bagaimana tatkala Dia mencabut nikmat yang diberi.
Ini sebuah bencana yang tentu ada hikmah istimewa dibaliknya.
Menikmati malam diantara temaram pelita. Mampu pertahankan asa disehampar gulita. Kegelapan tak pernah sembunyikan aksara rasa.
Niek~
Jogjakarta, 11 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H