Mohon tunggu...
Ummu el Hakim
Ummu el Hakim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang emak biasa

Penyuka alam dan rangkaian kata

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Belajar Menulis Esai, Tak Harus Menunggu Pandai, Benarkah?

1 Maret 2019   21:54 Diperbarui: 2 Maret 2019   00:10 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menulis dan menulis. Kiranya merupakan hobi yang praktis. Tak habis meski waktu terkikis. Hingga usia menipis. Namun menulis tetap melaju dengan optimis.

Meski kita mengaku bukan penulis. Jika kita ingin menulis tentu kita melakukan kegiatan laiknya penulis. Menuang rasa hingga terangkai sejumlah kata penuh makna.

Lalu apakah kita boleh asal menulis? Kiranya kita kembalikan kepada si penulis. Motivasi apa yang menjadikannya gemar menulis? Kemudian apa yang menjadikan penulis mau menulis apa yang hendak ditulis?

Menulis bagi saya merupakan media untuk berbagi hal positif. Meski saya sadar tak banyak hal yang bisa saya bagikan. Kiranya hanya sepotong semangat yang kerap hinggap. Dengan harap semangat pun kan menyertai diri saya.

Semangat adalah hal terindah bagi saya untuk terus menulis. Dengan semangat menulis seolah energi berpindah ke dalam diri. Menulis dengan hati, motivasi untuk berbagi, kiranya menjadi bekal selama tangan ini ingin menoreh sebuah tulisan yang berarti.

Jika semangat sudah didapat, lalu jenis tulisan apa yang nyaman untuk kita tulis? Seperti yang kita tahu, begitu banyak jenis tulisan. Sayangnya saya bukanlah ahli bahasa atau berkecimpung di dunia sastra. Sehingga saya pun tak berani membahas apa yang tak begitu saya pahami. Sebab saya masih berstatus belajar menapaki dunia literasi.

Baiklah. Disini saya hanya ingin berbagi kisah saja. Tentang diri saya sebagai seorang pemula. Terus terang, saya penasaran dengan salah satu jenis tulisan. ESAI. Ya esai, begitulah orang kerap menyebutnya. 

Pada awalnya saya tak begitu melirik, sebab sepertinya jenis tulisan ini sulit. Terlalu dini jemari ini menyentuh hal yang begitu rumit. Apalagi belum saya pahami betul, juga dengan kemampuan yang masih sedikit. Namun entahlah, lambat laun esai begitu menggelitik, membuat saya tertarik mengulik.

Satu waktu ada seorang sahabat mengajak untuk bersama menulis esai. Jelas saya tak lantas menyambut dengan lekas. Sebab saat itu masih saja tak pahami apalagi tumbuh percaya diri. Saya sempat bertanya pada beliau. Apa itu esai? Dan bagaimana cara membuatnya? Jujur saja saya tak mengerti mengenai seluk beluk tulisan bergenre esai.

Seingat saya beliau menjelaskan demikian, "Esai itu semacam karangan pendek yang berisi opini penulis."

Oh begitu, baiklah. Kala itu saya membolak balik lagi catatan yang ada di gawai saya. Teringat sebuah tulisan, yang saya pikir barangkali masuk ke dalam esai.

Kemudian saya serahkan naskah tersebut kepada beliau. Dan ternyata, benar adanya tulisan saya itu termasuk jenis esai. Saya terdiam. Padahal tulisan itu sudah begitu lama, bahkan saya sendiri lupa kapan menulisnya. Yang jelas saat itu saya tak tau menahu tentang jenis apa tulisan saya itu.

Apalah saya ini menulis hanya menulis saja, tak mengerti ilmunya. Maklum emak ya beginilah adanya, hanya sekedarnya. Tak apalah.

Yang penting apa yang saya bagi adalah hal yang berguna, telah cukup kiranya. Dalam tulisan tersebut saya mencoba mengulik motivasi dari balik sebuah pohon yang tumbuh di halaman rumah tetangga. Begitu sederhana. Namun sangat menggoda pikiran saya. Kemudian saya tuang dalam beberapa larik rangkaian kata. Dengan nafas yang tentu sangat sederhana. Mengalir begitu saja tanpa tau jenis apa tulisan itu.

Diluar dugaan ternyata tulisan itu diterima sebagai salah satu tulisan pada sebuah buku kumpulan esai. "Mripat". Buku usungan Bpk. Achmad Saifullah Syahid, dkk. Yang terbit beberapa bulan silam. Merupakan pengalaman yang tak terlupakan bagi saya menjadi satu bagian dari beberapa senior kenamaan.

dokumen grup Mripat
dokumen grup Mripat
Sebuah tulisan awam bersanding dengan tulisan hebat dengan karakter kuat, adalah hal yang tak terkata. Sungguh bahagia tak terkira, bagi saya yang berstatus pemula. Terimakasih telah memberi kesempatan kepada saya, dengan tulisan yang alakadarnya.

Meski hanya sebuah saja, namun berjuta makna saya terima. Pengalaman yang memberi banyak pelajaran sarat manfaat. Ternyata menulis esai tak harus menunggu pandai. Ah kiranya saya telah menemukan jawabannya.

Esai. Rupanya begitu mudah dan menarik. Jikalau kita bisa mendalami setiap larik hingga bait kata dengan seksama. Hanya sekedar mengulik hal sederhana yang ada di sekitar kita ternyata bisa diangkat menjadi sebuah tulisan esai penuh makna. Sepintas terlihat rumit namun ternyata tak begitu sulit. 

Dengan sentuhan opini yang tak harus bagus, yang penting sarat makna dan berguna bagi sesama. Nafas yang dihembuskan pada rangkaian memuat desahan motivasi dan semangat berbagi. Kiranya itu yang membuat cinta saya tertambat disini. Esai, begitu indah, berbagi opini mengurai isi hati, hingga tercipta harmoni seni dunia literasi. Ah saya pun pada akhirnya ketagihan menulis esai. Hahay.

Dunia menulis begitu ramah. Siapa pun bisa menulis dan membagi kisah. Tak harus sempurna, hanya berbekal kemauan tanpa harus menunggu kemampuan. Ilmu bisa dicari kemudian.

Kiranya semua bisa kita raih dengan proses pembelajaran. Jangan takut jikalau menemui kesalahan, bahkan tantangan. Karena mereka berdua ini justru merupakan guru yang dinantikan. Mengapa demikian?

Bagi saya kesalahan bukan merupakan musuh bebuyutan yang harus dimusnahkan. Justru kehadirannya memunculkan motivasi menuju perbaikan. Biarkan dia hadir di tengah proses pembelajaran. Menjadikannya sahabat, yakin bisa jadi penguat.

Begitu pun tantangan. Dia merupakan cambuk yang menguatkan benteng pertahanan. Jikalau dalam proses belajar muncul berbagai tantangan, hadapi dengan kesabaran. Urai satu persatu dengan tongkat keikhlasan. Dengan begitu kekuatan akan semakin tajam.

Esai, sebuah jenis tulisan yang memuat opini, menuang isi hati, hingga tercapai makna berbagi. Menulis esai tak harus menunggu pandai. Saya telah mencobanya. Saya tak pandai, hanya berbekal keinginan dan semangat untuk berbagi. Dengan esai kiranya bisa saya capai. Meski sekedar menulis tentang hal sederhana. Tak mengapa. Jangan takut, tetap menulislah. 

Karena menulis maka engkau ada. Kiranya kalimat itu yang kerap kita dengar di setiap helai lembar. Kekuatan itulah yang membuat saya masih bertahan. Di tengah tertatihnya diri saya dalam melalui proses pembelajaran.

Setiap penulis memiliki tingkat kenyamanan yang berbeda. Tergantung pada titik mana dia ingin menapakinya. Kini, kiranya esai membuat saya jatuh cinta. Meski saya belum sepenuhnya bisa. Namun saya mencoba untuk terus mempelajarinya. Karena saya yakin belajar menulis esai tak harus menunggu pandai. Tetap semangat!

Niek~

Jogjakarta, 1 Maret 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun