Sobat apa kabar? Aku ingin sedikit bercerita pada kalian. Entah mengapa aku sungguh tertarik untuk mengulasnya di sini. Barangkali di antara kalian ada yang memiliki pengalaman sama seperti diriku. Dan hal ini bisa menjadi perenungan kita sebagai orangtua.
Kemarin aku datang ke sekolah anakku. Untuk mengambil rapor sembari berkonsultasi dengan guru. Tetiba di sana, sudah ada beberapa wali murid yang mengantre di kelas. Aku menemukan kondisi yang masih saja sama ketika penerimaan rapor. Horor. Mengapa demikian?
Beberapa wali murid selalu ada yang menyampaikan keluhan terhadap guru karena nilai mata pelajaran matematika anak mereka sangat buruk. Aku tercengang.
Bukan karena apa-apa, namun aku melihat pada diriku yang seolah tak ada yang aneh saja. Padahal nilai matematika anakku pun tak jauh beda dengan anak mereka. Lalu mengapa aku santai begini ya? Aku hampir tak begitu merisaukan keadaan ini. Bagiku semua tak ada yang aneh. Ah apa aku yang tak lazim bersikap sebagai orangtua? Masa iya!
Matematika, ada apa dengan matematika? Lalu apa yang terjadi jika nilai matematika tak sebagus yang diharapkan? Salahkah? Yang pasti setiap penerimaan rapor selalu saja menjadi hal yang horor. Dari dulu hingga sekarang, sama saja.
Aku ingat sekali sewaktu aku masih sekolah matematika sudah banyak diperbincangkan. Entahlah, ada apa dengan matematika sebenarnya. Lalu bagaimana dengan nilaiku saat itu? Nilai matematikaku biasa saja, tak ada yang istimewa.
Namun, kedua orangtuaku tak lantas menghakiminya. Mereka menganggap ini adalah proses semata. Itu sungguh membuatku nyaman. Alhamdulillah. Nah itulah bedanya orangtuaku dengan kebanyakan orangtua. Tak menganggap horor matematika.
Apakah itu berarti kedua orangtuaku tak peduli padaku? Tidak juga. Mereka sangat mempedulikanku. Namun cara mereka berbeda. Mereka tak lantas menyalahkan guruku lalu menganggapnya tak bisa mengajariku. Tidak demikian. Atau memarahiku karena tak bisa menyerap pelajaran. Tak juga begitu. Mereka lebih menuntun kepada apa yang aku suka. Dan tak memaksa yang aku tak suka.
Hingga pada akhirnya aku menemukan caraku memperlakukan matematika. Ya, saat kelulusan Alhamdulillah nilai matematikaku mencapai angka 9. Masya Allah. Hal yang tak pernah disangka sebelumnya. Lalu aku menilik pada diriku saat itu. Apa yang membuatku pada akhirnya menjadi suka matematika? Meski pada awalnya aku justru menghindarinya.
Betul! Itu semua karena perlakuan orangtuaku yang tak begitu mengkhawatirkan matematika menjadi momok utama. Orangtuaku menganggap belajar matematika adalah sebuah proses.
Ketika sedang tak suka, tak usah dipaksa. Sebab matematika pada dasarnya menarik. Jikalau kita bisa menariknya menjadi sesuatu hal yang indah, bukan justru membuatnya menjadi semakin ditakuti.
Orangtuaku biasa mengarahkan aku dengan metode atau cara yang begitu asyik. Hal itu tentu saja untuk menarik perhatianku. Misalnya saja untuk perkalian atau pembagian, mereka mengajariku dengan sapu lidi. Sembari mengajakku bermain. Aku pun menjadi senang, belajar matematika pun menjadi seasyik bermain.
Juga dengan roti kesukaan yang dibagi-bagi, setelah itu kita lanjut makan bersama. Nah itulah yang pada akhirnya membuatku menyukai matematika. Tak ada pemaksaan untuk menjadikan aku seorang penyuka, semua mengalir melalui proses alami yang ada.
Berbekal hal tersebut yang kemudian membuatku tak begitu memprotes anakku juga gurunya. Mengapa? Sebab guru pun hanya manusia biasa tak luput dari salah dan lupa.
Guru lebih kujadikan teman. Partner dalam mendidik anakku. Sebab aku tau betul jika dahulu orangtuaku memprotesku, atau memprotes guruku, aku pun pasti akan merasa tertekan. Tak mungkin otakku berkembang. Bahkan akan semakin menjauhi matematika. Karena kuanggap sebagai hal yang begitu menakutkan.
Anakku kini hidup di era baru, berbeda denganku dulu. Kurikulum serta metode pendidikan pun sudah lebih maju. Namun sepertinya yang masih awet dan tetap sama adalah matematika yang seolah menjadi hal horor saat penerimaan rapor.
Hal ini rupanya masih menjadi sesuatu yang memalukan jikalau nilai matematika hancur tak karuan. Lalu orangtua cenderung menyalahkan. Entah terhadap guru maupun si anak.Â
Aku jadi berpikir seandainya aku melakukan hal yang sama seperti mereka, anakku pastilah akan semakin takut pada matematika. Sebaliknya, jika aku melakukan hal seperti yang dilakukan orang tuaku padaku, barangkali anakku bisa sepertiku, berubah menjadi suka pada matematika, semoga. Meski hanya sebatas suka, itu sudah luar biasa.
Ya, proses! Semua memang butuh proses. Aku pernah mengalami yang namanya menjadi murid. Aku juga pernah mengalami bagaimana kesulitan dan kemudahan belajar. Aku tau pelajaran matematika itu tak mudah. Dan mau tak mau harus ditempuh sebagai mata pelajaran akademik utama.
Namun, mendampingi anak menjalani proses untuk lebih baik itu jauh lebih utama. Yang penting jangan paksa mereka menjadi penyuka. Biarlah rasa suka itu mengalir dengan sendirinya. Seperti roda kehidupan yang terus berputar, ada kalanya di atas dan pasti akan mengalami di titik terendah.
Hal seperti itu pun berlaku untuk matematika, mungkin sekarang anak kita berada pada titik atas rasa tidak suka, namun yakinlah suatu saat nanti insya allah akan berubah menjadi titik terendah yang melebur menjadi rasa suka. Percayalah!
Menurutku, semua mata pelajaran itu sama. Tak terkecuali dengan matematika. Di sini aku tidak akan mengungkapkan hal bahwa matematika tak penting. Aku lebih menekankan bahwa anak memiliki bakat masing-masing.
Jadi biarkanlah bakat itu muncul dengan sendirinya. Jangan paksa mereka hanya untuk keegoisan kita sebagai orangtua. Biarlah mereka berkembang sesuai dengan minatnya.
Membimbing kreativitas anak, tak harus mematahkannya. Apalagi menjadikan matematika sebagai momok utama, yang harus menjadi patokan agar anak serba bisa. Sebab anak yang akan menanggung beban semua harapan. Kasihan bukan?
Apabila memang anak kita belum juga suka terhadap matematika, tak mengapa barangkali dia penyuka mata pelajaran lainnya. Dan bakat mereka bukan ada pada otak kirinya. Tak ada salahnya kan.
Bagiku yang terpenting dari sebuah pendidikan adalah akhlak. Jikalau dia pandai berilmu namun tak pandai berakhlak, maka ilmunya pun menjadi mubadzir. Sebaliknya jika dia berakhlak namun belum pandai berilmu, bukan berarti gagal hanya saja belum sempurna ilmunya. Tak mengapa, karena proses berakhlaklah yang akan menyempurnakan ilmu. Masya Allah.
Nah Sobat, begitulah kisahku. Bagaimana kisahmu? Masihkah menganggap matematika adalah momok utama untuk anak kita? Lalu menjadikannya hal horor saat penerimaan rapor?
Semoga aku dan kalian bisa lebih bijak dalam bertindak, terutama untuk kepentingan anak-anak. Sebab anak terlahir dengan bakat masing-masing yang tak bisa dipaksakan. Yang terpenting adalah pendidikan akhlak yang kiranya harus selalu ditanamkan. Jika pada akhirnya mereka tak memilih matematika, jangan disalahkan.
Jogjakarta, 15 Desember 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI