Jadi biarkanlah bakat itu muncul dengan sendirinya. Jangan paksa mereka hanya untuk keegoisan kita sebagai orangtua. Biarlah mereka berkembang sesuai dengan minatnya.
Membimbing kreativitas anak, tak harus mematahkannya. Apalagi menjadikan matematika sebagai momok utama, yang harus menjadi patokan agar anak serba bisa. Sebab anak yang akan menanggung beban semua harapan. Kasihan bukan?
Apabila memang anak kita belum juga suka terhadap matematika, tak mengapa barangkali dia penyuka mata pelajaran lainnya. Dan bakat mereka bukan ada pada otak kirinya. Tak ada salahnya kan.
Bagiku yang terpenting dari sebuah pendidikan adalah akhlak. Jikalau dia pandai berilmu namun tak pandai berakhlak, maka ilmunya pun menjadi mubadzir. Sebaliknya jika dia berakhlak namun belum pandai berilmu, bukan berarti gagal hanya saja belum sempurna ilmunya. Tak mengapa, karena proses berakhlaklah yang akan menyempurnakan ilmu. Masya Allah.
Nah Sobat, begitulah kisahku. Bagaimana kisahmu? Masihkah menganggap matematika adalah momok utama untuk anak kita? Lalu menjadikannya hal horor saat penerimaan rapor?
Semoga aku dan kalian bisa lebih bijak dalam bertindak, terutama untuk kepentingan anak-anak. Sebab anak terlahir dengan bakat masing-masing yang tak bisa dipaksakan. Yang terpenting adalah pendidikan akhlak yang kiranya harus selalu ditanamkan. Jika pada akhirnya mereka tak memilih matematika, jangan disalahkan.
Jogjakarta, 15 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H