Soal Simpanan, Soal Kekhawatiran
Kekhawatiran. Sebuah kata yang wajar, karena hidup selalu penuh ketidakpastian. Karena semua orang percaya, pun semua agama mengajarkan perihal ketidakpastian karena yang pasti hanya milik yang Maha Kuasa, maka kita selalu mencoba “sedia payung sebelum hujan”.
Soal Simpanan, juga demikian. Kita bersiap untuk menabung, dengan harapan hasilnya dapat dimanfaatkan di masa depan. Untuk segala hal. Mulai yang besar seperti perluasan usaha oleh warung yang dipunyai, hingga untuk keadaan darurat karena konsep ketidakpastian tadi.
Anak saya, juga menabung. Di celengan yang saya dapatkan pada saat era Coin-a-chance. Upaya sistematis dan masif dari semua yang peduli kasus Prita Mulyasari beberapa tahun lampai karena sosial media dan arogansi rumah sakit. Sempat heboh dan orang-orang mengumpulkan koin recehan untuk bantu denda yang ditimpakan ke Ibu beranak balita tersebut.
Yang lucu, nenek saya.
Almarhumah, tabungannya juga ada. Di dalam Bambu. Ya, tak salah, di dalam bambu. Sejak kanak-kanak, saya mengetahui itu dan kadang mengguncang-guncangnya. Hehe. Tapi itu sebelum rumah-nya kebakaran, dan kemudian ikut dengan Ayah Ibu saya, anak dan menantu nya yang pertama. Si uangnya ludes, namun masih bisa mengumpulkan koin logam-nya. Ngga banyak seingat saya. Hitam-hitam dan saya sempat ambil untuk kerokan hehe..
Beliau nggak kapok, ternyata.
Setelah kejadian itu yang sudah lama, saya mengunjungi pada saat Lebaran, beliau punya kaleng. Kaleng Biskuit Monde yang pipih bundar. Isinya beragam duit dari anak dan cucu serta kerabat. Ta mengapa, biasanya itu karena beliau suka ngasih duit cicit-nya (anak-anak dari cucu-nya) uang untuk beli es atau jajanan lain di warung kalau pada datang ke rumah.
Namun sebagai anak dan cucu, kami sudah siapkan untuk beliau tabungan haji dan umroh. Yang Alhamdulillah, walau fisik-nya sudah tak kuat lagi untuk naik Haji, Umroh bersama anak ke-dua nya, Tante saya, sudah dilaksanakan.
Beberapa saat setelah itu, ketika adik lelaki saya, cucu kesayangannya menikah, beliau berpulang. Seperti sengaja menunggu, karena adik-saya mirip sama Almarhum om saya, anak keempat beliau yang meninggal saat kanak-kanak. Tabungan beliau sudah pula dibelikan semuanya untuk adik saya, walau ditolak, tetap ngotot, katanya buat itu saja, tak ada buat yang lain, tak dibawa mati.
Demikian cerita nenek saya dan tabungan.