Tulisan ini adalah tulisan terakhir dari serangkaian tulisan setiap harinya dari saya, salah seorang driver yang dipilih oleh tim Datsun Indonesia dan Kompasiana untuk menjadi “risers” dalam empat hari di etape tiga Datsun GO Jelajah Kalimantan dengan tajuk “Datsun Risers Expedition”.
Anak-Anak DAT: Awal Bersinar
Tak banyak anak muda yang mengenal Datsun. Jika NISSAN, iya, jelas sudah terkenal. Namun bagi saya yang masih anak-anak di masa 80an masih mendengar sedikit tentang Datsun dari kakak-kakak dan Ayah. Paling tidak, hingga saya lulus SD, nama Datsun lambat laun hilang.
Tentu, saya tak tahu banyak perihal hilangnya datsun, namun saya tahu mengenai tangguhnya Datsun ketika ayah saya memilikinya, setelah merelakan motor Vespanya dilego demi sebuah mobil agar istri dan anak-anaknya tidak kepanasan di jalan. Paling tidak, itulah memori terakhir saya tentang Datsun.
Datsun, merupakan merk awal dari Nissan loh ternyata. Alkisah, sejak tahun 1914 Kwaishinsa Motorcar Works (快進自動車工場 Kaishin Jidōsha Kōjō?), membuat perusaaan DAT. Sebuah akronim dari pendirinya yaitu,
Kenjirō Den (田 健次郎 Den Kenjirō)
Rokurō Aoyama (青山 禄朗 Aoyama Rokurō)
Meitarō Takeuchi (竹内 明太郎 Takeuchi Meitarō)
Sejak berproduksi resmi tahun 1931, Dat Motorcar menggunakan nama “Datson” untuk mobil kecil produksinya. Bukan tanpa alasan, bahwa Dat Sons adalah “anak-anak”nya DAT. Sekaligus, mengenalkan logo Datsun yang persis seperti bendera Jepang, matahari terbit (Sun Rise).
Nah, kemudian Datson diganti menjadi Datsun dengan alasan bahwa SON sendiri punya arti jelek menurut bahasa Jepang, yaitu means "loss" (損 Son) alih-alih bahasa inggris yang artinya “Anak lelaki”. Sekaligus, SUN menjadikan lekatnya kebanggaan akan bendera jepang, sang matahari terbit.
Evolusi Logo Datsun dan Nissan
Namun demikian, sejak mengenalkan Nissan dan Datsun sebagai dua merk yang berasal dari pabrikan tersebut, diputuskan bahwa pada tahun 1986 Datsun dihilangkan dan semua merk memakai nama Nissan saja. Logonya persis sama.
Anak-anak dat kemudian kembali muncul di tahun 2013, dengan launching di India dan menyasar segmen di negara berkembang yang potensi untuk maju yaitu BRIICS Countries. Ada India, Indonesia, Rusia dan South Africa (Afsel) sebagai negara ekonomi pesat. Mungkin nanti menyusul sepertri Brazil dan China (B dan C berikutnya).
Lintasan memori itulah ternyata, yang mana Ayah saya di awal tahun 1980an masih familiar dengan Datsun, dan tetangga juga punya Datsun 1970an yang keren waktu itu. Hmm... Anak-anak Matahari.
Risers: Menyinari Pengalaman Berkendara
Itu memori yang kembali terlintas. Bukan hal yang mudah, untuk kembali menyeruak pasar yang sudah mapan. Apalagi, tak banyak yang tahu Datsun dan sejarah gemilangnya.
Kali ini, Datsun dengan Datsun GO Panca nya merupakan varian yang asyik, kalau kata saya, Indonesia banget. Mulai dari “Panca”, hingga label “Nusantara” maupun harga yang sangat masuk akal, dengan memberikan 7 seat untuk sebuah hatchback kecil!
Ini, adalah hasil optimal riset pasar yang terbaik untuk masyarakat Indonesia.
Bagaimana dengan performanya?
Nah inilah yang menjadi pertanyaan. Saya, punya pengalaman dengan (mengenal) Datsun waktu kecil, namun tentu ingin pula sensasi mengendara di datsun saat ini. Saya tidak tahu, akan mengeluarkan tipe apa lagi, namun Datsun Go pantas untuk diujicoba.
Dan peluang itu terbuka.
Melalui Kompasiana yang bekerjasama dengan Datsun Indonesia, saya mendengar kabar mengenai Datsun Risers Expedition di Kalimantan. Bersama saudara tua yang lebih tua dari saya, yaitu Kang Benny Ramdani, editor di penerbit Mizan dan Kang Dudi Iskandar, fotografer lepas, kami membentuk tim. Saya daftarkan dengan kelengkapan yang ada di website Datsun dan menunggu, harap-harap cemas.
Alhamdulillah, rejeki menghampiri. Sejak awal, target kami memang Kalbar dengan pontianak dan perbatasan Melayu-Indonesia nya sehingga kami mendapatkan pengalaman yang benar-benar berbeda, dan anak-anak yang akan kami temui di perkampungan dayak dan di perbatasan.
Resmi-lah kami menjadi “risers” Datsun.
Wow, Risers.
Setiap kali mendengar kata Datsun, saya selalu teringat kata Risers. Apakah ini bahasa inggris, yang artinya kalau “rise” itu bersinar, terbit, benderang, dari keadaan bangkit menyeruak. Ya, makna Risers sangat keren. Bahkan Batman pun mengunakan kata itu dalam filmnya yang sukses. Dark Night Rises!
Dari sejarah yang saya kutip diatas pula, saya paham akan kata “Risers”. Juga diperkuat misalnya, pernyataan Indriani Hadiwidjaya, Head of Datsun Indonesia, dikutip oleh Kompasianers senior Gapey Sandy.
“Sebetulnya risers itu kita tujukan kepada konsumen kita. They are rising, rising to the top. They are rising up dari current condition into the future condition yang lebih baik. Jadi, kebanyakan konsumen kita adalah mereka yang beralih dari menggunakan sepeda motor ke mobil. Terutama dengan adanya produk Datsun maka kita dapat memberikan akses buat mereka untuk mencapai hari esok yang lebih cerah,”
Terpaut dengan pengalaman bagaimana datsun sebagai “anak-anak” DAT, serta “SUN” sebagai matahari, Risers memang cocok untuk menjadi sebutan abadi untuk pengguna/konsumen Datsun.
Tak hanya masalah waktu, kesempatan dan keinginan untuk “pindah level” Risers juga menurut saya pribadi adalah mereka yang mengajak orang lain untuk ikut “bangkit”. Rising. Sesuai filosofi Datsun yang lekat hingga detik ini.
Dan ini dia, pengalaman kami berkelana, berjuang terbit menjadi yang terbaik dengan kendaraan terbaik, menyusur katulistiwa, mencari matahari terbit dan anak-anak yang menjemput sinar!
Anak-Anak Khatulistiwa: Dimana Sinar Itu Berada
Lebih lengkap tentang pengalaman berkendara di DRE dengan berbagai macam tantangan, hambatan, dan keseruan ada di tiga tulisan sebelumnya. Namun demikian, sesi ini memberikan gambaran utuh dan filosofi di balik itu.
Empat hari tiga malam berada di tapal batas nusantara. Antara Pontianak, Entikong, kembali lagi dengan segudang pengalaman pengetahuan baru. Baik tentang performa mobil, tetek bengek per-konvoian, persahabatan para risers, hingga sejarah Indonesia yang keren.
Kalimantan Barat, merupakan perpaduan budaya Melayu, Dayak, Tionghoa yang unik dimana provinsi ini berbatasan dengan Malaysia dan memiliki irisan sejarah yang mirip, terkecuali dipisahkan oleh penjajah antara Inggris dan Belanda.
dan jembatan-jembatan dan sungai sebagai wujud kebudayaan bahari Kalbar
Selain itu, budaya suku asli kalimantan yaitu Dayak merupakan warisan yang sangat memperkaya kebudayaan Kalimantan. Suku dayak merupakan “indigenous” masyarakat asli seperti halnya Indian di Amerika dan Aborigin di Australia ataupun suku asli di Taiwan yang mirip dengan kita semua.
Jelajah etape tiga ini layak disebut jelajah khatulistiwa. Selain itu, tema sentral dari perjalanan saya dan tim risers 1 yang terdiri dari Kang Dudi dan Kang Benny adalah membawa buku untuk anak-anak disana.
Saya juga punya buku andalan, ini negeriku, buku berisi foto-foto nusantara. Menjadikan kami semakin antusias!
Bukan hal yang kebetulan, karena sudah kami persiapkan sejak awal. Kami juga sebagai orang tua yang mempunyai anak, merasa terenyuh dan kangen dengan anak dan sangat terobati dengan melihat aktivitas anak-anak di sana.
Jadi, anak-anak katulistiwa ini merupakan mimpi kami untuk kami temui, selain sekaligus menjajal ketangguhan Datsun GO yang kami kendarai, sebuah sensasi yang kami hanya dapatkan ketika masih kecil!
Ini dia catatan lengkap perjalanan para risers!
Hari pertama: Bandara Soepadio -- Tugu Khatulistiwa – Nissan Datsun Pontianak – Istana Kadriah – Chinatown Pontianak – Hotel Gardenia
Tugu Khatulistiwa adalah destinasi yang wajib, jelas, kalau ke Pontianak. Sebab, persis garis katulistiwa melewati kota ini, membelah utara dan selatan bumi. Nah, yang membedakannya, Pontianak adalah satu-satunya kota yang dilewati garis katulistiwa, garis lintang 0 derajat, dari 12 negara di dunia yang dilintasi garis pemisah ini. Negara lain,tidak ada yang di tengah kota, biasanya di laut, danau, hutan dsj.
Tugu Khatulistiwa pada tahun 1940. Saat ini tugu kecil di dalam bangunan merupakan yg asli
Tugu yang asli, ada di dalam bangunan tugu khatulistiwa yang besar. Pada tahun 1928, Belanda menetapkan titik khatulistiwa dari sebuah ekspedisi dan pada tahun 1930 disempurnakan untuk kemudian digunakan kayu belian (kayu besi khas Kalimantan Barat) setinggi 4,4 meter.
Selain mendengar penjelasan guide, kami juga mencoba sebuah “sulap” dimana telur ayam dapat berdiri sempurna di satu titik. Wow. Ini-lah mahakarya khatulistiwa.
Rencananya, Tugu ini akan diperluas menjadi taman rekreasi Khatulistiwa Park
(foto : kang dudi)
Berikutnya, rombongan Risers langsung menuju Nissan Datsun Pontianak Ayani (di Jalan Ahmad Yani) yang disambut dengan makan siang dan penjelasan mengenai perjalanan ekspedisi DRE Etape III ini. Di bawah, press conference diselenggarakan dengan media-media nasional dan lokal.
Selesai Sholat dan Makan Siang, kami dilepas secara resmi sebagai rombongan konvoi Datsun Risers Expedition Etape III Pontianak-Entikong, oleh Mba Hana Maharani, Head of Communication Nissan Indonesia.
Bismillah, ini-lah ekspedisi resmi kami di Bumi Khatulistiwa yang selain membatasi utara dan selatan bumi, juga membatasai dua negara Malaysia dan Indonesia.
Dari Kantor Nissan, kami menuju Keraton Kadriah, Kesultanan Pontianak. Di daerah ini, kami menemukan aura kemegahan masa lampau dan kesederhanaan sekaligus. Ditambah nilai religiusitas yang tinggi.
Semuanya kami dapatkan melalui pandangan visual keraton berwarna kuning yang terbuat dari kayu Kalimantan, bukan beton seperti pada umumnya. Juga tak ada benteng, namun sebatas gerbang dan meriam-meriam kecil di depannya.
Nah, di Chinatown, ternyata gamesnya menghabiskan uang dengan pas. Rp 55.500 untungnya, kami terpukau dengan gelaran buku-buku mewarnai yang ada di China town. Segera kami tawar dan kemudian kami tambahkan juga beberapa box pensil warna untuk menambah kemeriahan.
Hari kedua: Perkampungan Dayak di Rumah Betang – Hotel Hong Long, Ngabang.
Di hari pertama, kami beristirahat di Hotel Gardenia. Hotel yang menakjubkan, asri alami dengan pemandangan taman-taman yang Indah. Suasana hotel ini bikin males-malesan. Namun demikian, ini justru dimanfaatkan untuk beristirahat, sebab esok kami akan ke perkampungan dayak suku Kenayan, di Desa Saham. Perjalanan jauh akan ditempuh, jadi fisik harus diistirahatkan dulu malam ini.
Perjalanan ke Ngabang, demikian daerahnya, merupakan perjalanan yang panjang. Sekitar 4 jam. Namun di sepanjang jalan, keindahan alam terbentang katulistiwa sungguh menawan.
Perpaduan langit biru bersih, putihnya awan dan hijaunya bentang alam vegetasi membuat kami tak henti memotret keindahan.
Bagian belakang, kebagian melakukan apdet sosial media utamanya twitter dan juga menyuplai makan dan minuman yang disediakan oleh panitia di tiap mobil. Aneka snack dan minuman serta kotak P3K Komplit sudah ada di jok.
Sedangkan, seat ketiga, ingat loh Datsun GO Panca Ada tiga baris, kami isi dengan tas ransel masing-masing, karena rencana hari ini pulangnya akan menginap di Ngabang, agar mudah ke Entikong, jadi tidak kembali ke Pontianak.
Tiba di Desa Saham, kami melihat sebuah rumah kayu panggung yang maha panjang. Rumah panjang atau rumah betang ini merupakan hunian khas suku dayak. Dalam rumah ini, menurut informasi pak Panus, Sekdes Saham, terdapat 130 KK yang mereka sebenarnya bertalian kekerabatan.
Dipandu oleh Teh Dayu mojang geulis yang menjadi MC di berbagai acara selama empat hari ini, kemudian kami membuat aktivitas yang menyenangkan. Selain memfoto sana sini, juga membuat berbagai games. Sulap dari Om Yugo sangat menghibur loh! Kemudian anak-anak dipecah menjadi beberapa kelompok, Kelompok Risers 1 sudah siap dong dengan buku-bukunya.
Semua tim, dari Risers 1, 2, 3, 4 dan 5 mengajak berbagai kegiatan yang berbeda dan semuanya seru! Bahkan ada satu tim yang mengajak anak-anak itu mengenal mobil Datsun GO. Mobil pertama yang mereka lihat tak begitu besar, dan datang kemari secara konvoi! Sebuah memori yang tak akan terlupakan.
Hari ketiga: Perbatasan di Entikong – Belanja Oleh-oleh -- Jembatan Kapuas Tayan – Pontianak Hotel Gardenia
Para Risers DRE III pada sore hari kemudian menuju Ngabang, ke Hotel Honglong untuk beristirahat. Kali ini, giliran saya menyetir setelah hari pertama Kang Benny dan hari kedua pagi hingga petang Kang Dudi. Mereka istirahat, sebab, hari ketiga akan menempuh perjalanan yang lebih jauh, sekitar 3 Jam ke Entikong dan mengeksplorasi perbatasan Malindo (Malaysia Indonesia). Kemudian kembali ke Pontianak dengan mampir ke Jembatan Tayan dengan perjalanan kurang lebih 6 Jam.
Di Entikong, jalan lumayan bagus. Pekerjaan restorasi dan perbaikan sedang banyak dilakukan. Entah, sepertinya efek kunjungan presiden beberapa waktu lalu berdampak pada perbaikan sana-sini. Harap maklum.
Aduh, bagaimana ya.
Akhirnya, ada ide bahwa kami rekam saja permintaannya, dan mungkin, akan ada donasi untuk pengiriman buku-buku untuk anak-anak di Entikong! Amin!
Setelah selesai semua, tiba-lah untuk kembali pulang. Kang Dudi ambil setir dan kita bergegas menuju Pontianak dengan terlebih dahulu mampir ke Tayan.
Kami sempatkan dulu menuju ke warung-warung kecil dan membeli beberapa produk made in malaysia untuk oleh-oleh. Bisa bayar pakai dolar, ringgit maupun rupiah!
Jalan yang berbeda kami ambil. Berbeda dari jalan pergi. Nah, ternyata, jalanan rusak parah. Namun demikian, karena rute ini menuju jembatan Tayan, dan juga rute yang relatif lebih singkat ke Pontianak, maka kami hajar saja.
Apalagi, disini ternyata ketangguhan Datsun GO teruji!
Ya, kondisi jalan buruk, kadang bolong, tanah, beraspal keriting dan seterusnya. Juga banyaknya truk-truk besar membuat keandalan mesin dan peralatan mobil yang terkategori hatchback ini diuji.
Alhamdulillah, semua aman, karena suspensi yang oke banget.
Dalam melaju, ban pun seakan melekat ke jalanan, ngga “terbang”. Manuver-manuver dengan menyalip beberapa truk dijalani dengan sempurna, asal tahu bagaimana triknya, dengan gigi rendah dan kombinasi percepatan gigi.
Jadi, sore kami tiba di Jembatan Tayan. Sekitar pukul 17.30 WIB. Tak banyak waktu, kami puaskan dengan berfoto di ikon tulisan jembatan Kapuas Tayan, untuk selanjutnya berlanjut ke Pontianak.
Hari keempat: Museum Kalbar – Masjid Jami Mujahiddin -- Bandara Soepadio.
Pagi yang cerah di Pontianak. Seperti biasa, siangnya suhu sangat terik. Negeri yang tepat di garis katulistiwa ini memang eksentrik dengan panasnya. Hot. Walau demikian, Datsun GO dengan sistem pendingin yang optimal dapat mengusir panas gerah seketika. Sepertinya adem dalam hitungan detik saja ketika kita masuk.
ini nih ternyata dispenser pun sudah dibuat belanda jaman dulu!
Panas memang terasa ketika kami berkunjung ke Museum Kalbar. Keluar dari mobil langsung deh menyengat. Apalagi jam menunjukkan 10.30 WIB.
Museum yang berdiri sejak 1970an ini telah direvitalisasi dan menyimpan koleksi yang unik dan keren. Mulai jaman prasejarah hingga modern antara perpaduan budaya Melayu, Dayak, dan Tionghoa. Tiga etnik besar populasi penduduk Kalbar.
Selepas berpuas mengetahui berbagai peninggalan sejarah dan budaya Kalbar di museum, kami menuju Masjid untuk menunaikan Sholat Jumat. Masjid terdekat adalah Masjid Jami Mujahiddin yang juga masjid besar di Kota Pontianak.
Panas terik siang itu tak menghalangi langkah kami menuju Masjid.
Kuat Kita Bersinar, Bersama DATSUN dan Filosofinya
Catatan perjalanan ini bukan-lah penutup, justru pembuka. Pembuka bersinarnya dan terbitnya kepribadian yang unik, dari setiap pengendara. Juga interaksi risers dengan lingkungan, membuka jalan terbitnya cahaya motivasi dan mimpi bagi setiap orang.
Membawa Datsun GO hingga ke pelosok kalimantan, sampai mentok di perbatasan, bukan tanpa alasan. Tak hanya masalah durabilitas yang tinggi dari mobil, namun juga energi untuk membuka jalan, menerbitkan keinginan untuk bersinar bagi setiap orang, semua orang Indonesia sebagai saudara-saudara kita.
Saya sangat mengapresiasi kegiatan DRE ini. Karena Datsun tak hanya bicara produk baru yang diluncurkan tapi bicar bagaimana tiga hal. Yaitu Dream (mimpi), Access (Akses) dan Trust (Percaya).
Secara pribadi, Risers memiliki Mimpi untuk kesempatan baik yang tiba yang akan mendorong karir dan masa depannya. Untuk para risers muda ini, mobilitas adalah sebuah Akses baik fisik maupun sosial menuju banyak peluang yang mereka bisa Percayai.
Secara sosial, Mimpi untuk hidup lebih baik pasti akan terungkit dengan adanya akses. Akses pembangunan ke pedalaman, ke mereka yang membutuhkan. Setelah adanya Akses, maka Modal Sosial meningkat dan kepercayaan menjadi hal yang sangat diperlukan untuk membentuk komunitas yang bangkit, terbit, sebagai “risers” dengan atau tanpa Datsun itu sendiri.
Datsun dengan DRE dan berbagai event-event lainnya mestinya dan memang sudah pakem-nya melakukan kegiatan untuk rising them to the top!
Saya ingin pula mengambil lirik dari SID (Superman Is Dead) band punk rock asal Bali yang fenomenal dan melegenda, terutama dengan aksi sosial politik kerakyatannya. Bahwa “kuat kita bersinar”. Artinya, bersama, kita kuat, bersama-sama kita bersinar. Risers mengajak orang lain untuk juga rising.
Dalam etape III ini, kami, para risers, telah memberikan Impian, Akses dan Kepercayaan kepada mereka di pedalaman, di perbatasan, di kota yang tertinggal dari pembangunan Jawasentrisme. Kalimantan, sebagai Pulau terbesar ketiga di DUNIA ini sudah kami jelajahi, kami sambungkan dengan filosofi ke-bhineka tunggal ika-an dan bersama kita bersinar, together we are rising, together we are risers.
Selain itu, kami, Risers 1 membawa buku-buku untuk anak-anak. Sebuah memento dan perjuangan agar mereka juga memiliki DAT!
Kami ada untuk menyambungkan itu semua, karena kami (Datsun) Risers!
----
Berikut ini Empat Catatan Perjalanan Setiap Hari DRE III (4 Hari)
Menjemput Anak-anak Katulistiwa : Catatan Pertama
Sepanjang Rumah Betang : Catatan Kedua
Antara Dua Batas : Catatan Ketiga
Kuntilanak dan Budaya Kaya KalbaR : Catatan Keempat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H