Mohon tunggu...
Unggul Sagena
Unggul Sagena Mohon Tunggu... Konsultan - blogger | educator | traveler | reviewer |

Asia Pacific Region Internet Governance Forum Fellow 2021. Pengulas Produk Berdasarkan Pengalaman. Pegiat Literasi Digital dan Penyuka Jalan-Jalan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bersinar di Khatulistiwa: Merangkai Makna Perjalanan Datsun Risers Expedition

2 Februari 2016   10:11 Diperbarui: 4 Februari 2016   11:21 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini adalah tulisan terakhir dari serangkaian tulisan setiap harinya dari saya, salah seorang driver yang dipilih oleh tim Datsun Indonesia dan Kompasiana untuk menjadi “risers” dalam empat hari di etape tiga Datsun GO Jelajah Kalimantan dengan tajuk “Datsun Risers Expedition”.

Anak-Anak DAT: Awal Bersinar

Tak banyak anak muda yang mengenal Datsun. Jika NISSAN, iya, jelas sudah terkenal. Namun bagi saya yang masih anak-anak di masa 80an masih mendengar sedikit tentang Datsun dari kakak-kakak dan Ayah. Paling tidak, hingga saya lulus SD, nama Datsun lambat laun hilang.

Tentu, saya tak tahu banyak perihal hilangnya datsun, namun saya tahu mengenai tangguhnya Datsun ketika ayah saya memilikinya, setelah merelakan motor Vespanya dilego demi sebuah mobil agar istri dan anak-anaknya tidak kepanasan di jalan. Paling tidak, itulah memori terakhir saya tentang Datsun.

Datsun, merupakan merk awal dari Nissan loh ternyata. Alkisah, sejak tahun 1914 Kwaishinsa Motorcar Works (快進自動車工場 Kaishin Jidōsha Kōjō?), membuat perusaaan DAT. Sebuah akronim dari pendirinya yaitu,

Kenjirō Den (田 健次郎 Den Kenjirō)

Rokurō Aoyama (青山 禄朗 Aoyama Rokurō)

Meitarō Takeuchi (竹内 明太郎 Takeuchi Meitarō)
 

Sejak berproduksi resmi tahun 1931, Dat Motorcar menggunakan nama “Datson” untuk mobil kecil produksinya. Bukan tanpa alasan, bahwa Dat Sons adalah “anak-anak”nya DAT. Sekaligus, mengenalkan logo Datsun yang persis seperti bendera Jepang, matahari terbit (Sun Rise).

Nah, kemudian Datson diganti menjadi Datsun dengan alasan bahwa SON sendiri punya arti jelek menurut bahasa Jepang, yaitu means "loss" (損 Son) alih-alih bahasa inggris yang artinya “Anak lelaki”. Sekaligus, SUN menjadikan lekatnya kebanggaan akan bendera jepang, sang matahari terbit.

 

Evolusi Logo Datsun dan Nissan

Namun demikian, sejak mengenalkan Nissan dan Datsun sebagai dua merk yang berasal dari pabrikan tersebut, diputuskan bahwa pada tahun 1986 Datsun dihilangkan dan semua merk memakai nama Nissan saja. Logonya persis sama.

Anak-anak dat kemudian kembali muncul di tahun 2013, dengan launching di India dan menyasar segmen di negara berkembang yang potensi untuk maju yaitu BRIICS Countries. Ada India, Indonesia, Rusia dan South Africa (Afsel) sebagai negara ekonomi pesat. Mungkin nanti menyusul sepertri Brazil dan China (B dan C berikutnya).

 

Lintasan memori itulah ternyata, yang mana Ayah saya di awal tahun 1980an masih familiar dengan Datsun, dan tetangga juga punya Datsun 1970an yang keren waktu itu. Hmm... Anak-anak Matahari.

 

Risers: Menyinari Pengalaman Berkendara

Itu memori yang kembali terlintas. Bukan hal yang mudah, untuk kembali menyeruak pasar yang sudah mapan. Apalagi, tak banyak yang tahu Datsun dan sejarah gemilangnya.

Kali ini, Datsun dengan Datsun GO Panca nya merupakan varian yang asyik, kalau kata saya, Indonesia banget. Mulai dari “Panca”, hingga label “Nusantara” maupun harga yang sangat masuk akal, dengan memberikan 7 seat untuk sebuah hatchback kecil!

Ini, adalah hasil optimal riset pasar yang terbaik untuk masyarakat Indonesia.

Bagaimana dengan performanya?

Nah inilah yang menjadi pertanyaan. Saya, punya pengalaman dengan (mengenal) Datsun waktu kecil, namun tentu ingin pula sensasi mengendara di datsun saat ini. Saya tidak tahu, akan mengeluarkan tipe apa lagi, namun Datsun Go pantas untuk diujicoba.

Dan peluang itu terbuka.

Melalui Kompasiana yang bekerjasama dengan Datsun Indonesia, saya mendengar kabar mengenai Datsun Risers Expedition di Kalimantan. Bersama saudara tua yang lebih tua dari saya, yaitu Kang Benny Ramdani, editor di penerbit Mizan dan Kang Dudi Iskandar, fotografer lepas, kami membentuk tim. Saya daftarkan dengan kelengkapan yang ada di website Datsun dan menunggu, harap-harap cemas.

Alhamdulillah, rejeki menghampiri. Sejak awal, target kami memang Kalbar dengan pontianak dan perbatasan Melayu-Indonesia nya sehingga kami mendapatkan pengalaman yang benar-benar berbeda, dan anak-anak yang akan kami temui di perkampungan dayak dan di perbatasan.

Resmi-lah kami menjadi “risers” Datsun.

Wow, Risers.

Setiap kali mendengar kata Datsun, saya selalu teringat kata Risers. Apakah ini bahasa inggris, yang artinya kalau “rise” itu bersinar, terbit, benderang, dari keadaan bangkit menyeruak. Ya, makna Risers sangat keren. Bahkan Batman pun mengunakan kata itu dalam filmnya yang sukses. Dark Night Rises!

Dari sejarah yang saya kutip diatas pula, saya paham akan kata “Risers”. Juga diperkuat misalnya, pernyataan Indriani Hadiwidjaya, Head of Datsun Indonesia, dikutip oleh Kompasianers senior Gapey Sandy.

“Sebetulnya risers itu kita tujukan kepada konsumen kita. They are rising, rising to the top. They are rising up dari current condition into the future condition yang lebih baik. Jadi, kebanyakan konsumen kita adalah mereka yang beralih dari menggunakan sepeda motor ke mobil. Terutama dengan adanya produk Datsun maka kita dapat memberikan akses buat mereka untuk mencapai hari esok yang lebih cerah,”

Terpaut dengan pengalaman bagaimana datsun sebagai “anak-anak” DAT, serta “SUN” sebagai matahari, Risers memang cocok untuk menjadi sebutan abadi untuk pengguna/konsumen Datsun.  

Tak hanya masalah waktu, kesempatan dan keinginan untuk “pindah level” Risers juga menurut saya pribadi adalah mereka yang mengajak orang lain untuk ikut “bangkit”. Rising. Sesuai filosofi Datsun yang lekat hingga detik ini.

Dan ini dia, pengalaman kami berkelana, berjuang terbit menjadi yang terbaik dengan kendaraan terbaik, menyusur katulistiwa, mencari matahari terbit dan anak-anak yang menjemput sinar!

 

Anak-Anak Khatulistiwa: Dimana Sinar Itu Berada

Lebih lengkap tentang pengalaman berkendara di DRE dengan berbagai macam tantangan, hambatan, dan keseruan ada di tiga tulisan sebelumnya. Namun demikian, sesi ini memberikan gambaran utuh dan filosofi di balik itu.

Empat hari tiga malam berada di tapal batas nusantara. Antara Pontianak, Entikong, kembali lagi dengan segudang pengalaman pengetahuan baru. Baik tentang performa mobil, tetek bengek per-konvoian, persahabatan para risers, hingga sejarah Indonesia yang keren.

Kalimantan Barat, merupakan perpaduan budaya Melayu, Dayak, Tionghoa yang unik dimana provinsi ini berbatasan dengan Malaysia dan memiliki irisan sejarah yang mirip, terkecuali dipisahkan oleh penjajah antara Inggris dan Belanda.

Kelenteng seperti ini banyak ditemukan di Pontianak, budaya dan religi tionghoa, warga Indonesia juga!

dan jembatan-jembatan dan sungai sebagai wujud kebudayaan bahari Kalbar

Selain itu, budaya suku asli kalimantan yaitu Dayak merupakan warisan yang sangat memperkaya kebudayaan Kalimantan. Suku dayak merupakan “indigenous” masyarakat asli seperti halnya Indian di Amerika dan Aborigin di Australia ataupun suku asli di Taiwan  yang mirip dengan kita semua.

Jelajah etape tiga ini layak disebut jelajah khatulistiwa. Selain itu, tema sentral dari perjalanan saya dan tim risers 1 yang terdiri dari Kang Dudi dan Kang Benny adalah membawa buku untuk anak-anak disana.

 Buku-buku cerita bergambar lebih dari satu kardus suda siap masuk bagasi, kami bawa untuk mereka

Saya juga punya buku andalan, ini negeriku, buku berisi foto-foto nusantara. Menjadikan kami semakin antusias!

Bukan hal yang kebetulan, karena sudah kami persiapkan sejak awal. Kami juga sebagai orang tua yang mempunyai anak, merasa terenyuh dan kangen dengan anak dan sangat terobati dengan melihat aktivitas anak-anak di sana.

Jadi, anak-anak katulistiwa ini merupakan mimpi kami untuk kami temui, selain sekaligus menjajal ketangguhan Datsun GO yang kami kendarai, sebuah sensasi yang kami hanya dapatkan ketika masih kecil!

Ini dia catatan lengkap perjalanan para risers!

 

Hari pertama: Bandara Soepadio -- Tugu Khatulistiwa – Nissan Datsun Pontianak – Istana Kadriah – Chinatown Pontianak – Hotel Gardenia

Tugu Khatulistiwa adalah destinasi yang wajib, jelas, kalau ke Pontianak. Sebab, persis garis katulistiwa melewati kota ini, membelah utara dan selatan bumi. Nah, yang membedakannya, Pontianak adalah satu-satunya kota yang dilewati garis katulistiwa, garis lintang 0 derajat, dari 12 negara di dunia yang dilintasi garis pemisah ini. Negara lain,tidak ada yang di tengah kota, biasanya di laut, danau, hutan dsj.

Tugu Khatulistiwa

Tugu Khatulistiwa pada tahun 1940. Saat ini tugu kecil di dalam bangunan merupakan yg asli

Tugu yang asli, ada di dalam bangunan tugu khatulistiwa yang besar.  Pada tahun 1928, Belanda menetapkan titik khatulistiwa dari sebuah ekspedisi dan pada tahun 1930 disempurnakan untuk kemudian digunakan kayu belian (kayu besi khas Kalimantan Barat) setinggi 4,4 meter.

Para Risers antusias di kunjungan pertama di Pontianak ini

Selain mendengar penjelasan guide, kami juga mencoba sebuah “sulap” dimana telur ayam dapat berdiri sempurna di satu titik. Wow. Ini-lah mahakarya khatulistiwa.

Wow, telur ayam ini berdiri dan tidak jatuh dititik khatulistiwa

Rencananya, Tugu ini akan diperluas menjadi taman rekreasi Khatulistiwa Park

(foto : kang dudi)

Berikutnya, rombongan Risers langsung menuju Nissan Datsun Pontianak Ayani (di Jalan Ahmad Yani) yang disambut dengan makan siang dan penjelasan mengenai perjalanan ekspedisi DRE Etape III ini. Di bawah, press conference diselenggarakan dengan media-media nasional dan lokal.

Asyik, sebagai Riser 1 kami diurutan depan persis di bendera START

Selesai Sholat dan Makan Siang, kami dilepas secara resmi sebagai rombongan konvoi Datsun Risers Expedition Etape III Pontianak-Entikong, oleh Mba Hana Maharani, Head of Communication Nissan Indonesia.

 

Bismillah, ini-lah ekspedisi resmi kami di Bumi Khatulistiwa yang selain membatasi utara dan selatan bumi, juga membatasai dua negara Malaysia dan Indonesia.

Dari Kantor Nissan, kami menuju Keraton Kadriah, Kesultanan Pontianak. Di daerah ini, kami menemukan aura kemegahan masa lampau dan kesederhanaan sekaligus. Ditambah nilai religiusitas yang tinggi.

Semuanya kami dapatkan melalui pandangan visual keraton berwarna kuning yang terbuat dari kayu Kalimantan, bukan beton seperti pada umumnya. Juga tak ada benteng, namun sebatas gerbang dan meriam-meriam kecil di depannya.

Persis di depan keraton adalah Masjid Jamik Sultan Syarif Abdurrahman yang juga berumur setua keraton istana kesultanan pontianak. Masjid ini konon kabarnya didirikan diatas gua dan pohon Kuntilanak, yang pada akhirnya menjadi nama Pontianak kemudian. Tentang ini, ada cerita tersendiri ya.

Sungai Kapuas memanjang tanpa putus, dengan serangkaian anak-anak kecil bermain bola, mandi dan berenang. Duhai pemandangan yang menawan. Ini-lah salah satu nya kekangenan kami akan rumah dan anak, terobati dengan melihat canda-ria mereka.

Sayang, buku-buku yang kami bawa tak sempat dikeluarkan dari mobil, dan waktu terbatas. Karena sore kami akan ke Chinatown untuk games.

Nah, di Chinatown, ternyata gamesnya menghabiskan uang dengan pas. Rp 55.500 untungnya, kami terpukau dengan gelaran buku-buku mewarnai yang ada di China town. Segera kami tawar dan kemudian kami tambahkan juga beberapa box pensil warna untuk menambah kemeriahan.

Jadi, esok hari rencananya buku mewarnai dan pensil warna ini akan kami berikan pula ke anak-anak Dayak. Ya, karena banyak pula, pastinya, anak-anak yang masih kecil yang belum masuk sekolah. Tepat jika diberikan buku mewarnai dan pensil warnanya. Oke sip!

 

Hari kedua: Perkampungan Dayak di Rumah Betang – Hotel Hong Long, Ngabang.

Di hari pertama, kami beristirahat di Hotel Gardenia. Hotel yang menakjubkan, asri alami dengan pemandangan taman-taman yang Indah. Suasana hotel ini bikin males-malesan. Namun demikian, ini justru dimanfaatkan untuk beristirahat, sebab esok kami akan ke perkampungan dayak suku Kenayan, di Desa Saham. Perjalanan jauh akan ditempuh, jadi fisik harus diistirahatkan dulu malam ini.

Beberapa kota yang kami lewati

Perjalanan ke Ngabang, demikian daerahnya, merupakan perjalanan yang panjang. Sekitar 4 jam. Namun di sepanjang jalan, keindahan alam terbentang katulistiwa sungguh menawan.

Perpaduan langit biru bersih, putihnya awan dan hijaunya bentang alam vegetasi membuat kami tak henti memotret keindahan.

Tentu, driver harus konsentrasi di Jalan, tak memotret kecuali pada saat istirahat. Navigator dan Komunikator disamping sopir pun siap sedia mendengar dan menjawab berbagai panduan dari Road Captain (RC) yaitu mobil Nissan Navara yang berada persis di depan mobil kami, Riser Nomor 1.

Pemakaman yang kami lewati

Bagian belakang, kebagian melakukan apdet sosial media utamanya twitter dan juga menyuplai makan dan minuman yang disediakan oleh panitia di tiap mobil. Aneka snack dan minuman serta kotak P3K Komplit sudah ada di jok.

Snack, Minum dan P3K

Sedangkan, seat ketiga, ingat loh Datsun GO Panca Ada tiga baris, kami isi dengan tas ransel masing-masing, karena rencana hari ini pulangnya akan menginap di Ngabang, agar mudah ke Entikong, jadi tidak kembali ke Pontianak.

Tiba di Desa Saham, kami melihat sebuah rumah kayu panggung yang maha panjang. Rumah panjang atau rumah betang ini merupakan hunian khas suku dayak. Dalam rumah ini, menurut informasi pak Panus, Sekdes Saham, terdapat 130 KK yang mereka sebenarnya bertalian kekerabatan.

foto : DRE/Dudi

Tanpa buang waktu lagi, kami segera masuk. Setelah kata sambutan dari tuan rumah dan juga dari Mas Jagat, PR Datsun Indonesia, menyerahkan bantuan CSR (Corporate Social Responsibility) kepada masarakat dayak di rumah betang.

Mas Jagat memberikan bantuan CSR kepada pak Panus, Sekdes Desa Saham.

Dipandu oleh Teh Dayu mojang geulis yang menjadi MC di berbagai acara selama empat hari ini, kemudian kami membuat aktivitas yang menyenangkan. Selain memfoto sana sini, juga membuat berbagai games. Sulap dari Om Yugo sangat menghibur loh!  Kemudian anak-anak dipecah menjadi beberapa kelompok, Kelompok Risers 1 sudah siap dong dengan buku-bukunya.

Sebelum membagikan buku, kami bercerita dongeng dan mengajak anak-anak mengambil hikmah dari kegiatan hari itu. Dongeng kami, tentang amanah serta berbagi. Alhamdulillah, mereka, anak-anak yang kami kira masih pemalu ternyata sudah berani untuk maju, berbicara dan juga mengikuti petunjuk.

Senangnya, bisa berbagi bersama anak-anak dayak yang sudah berpendidikan ini. Untuk itu, adanya buku-buku ini semakin menambah pengetahuan mereka selain dari sekolah, dan cita-cita mereka yang makin terbuka.

foto : DRE

Semua tim, dari Risers 1, 2, 3, 4 dan 5 mengajak berbagai kegiatan yang berbeda dan semuanya seru! Bahkan ada satu tim yang mengajak anak-anak itu mengenal mobil Datsun GO. Mobil pertama yang mereka lihat tak begitu besar, dan datang kemari secara konvoi! Sebuah memori yang tak akan terlupakan.

 

Hari ketiga: Perbatasan di Entikong – Belanja Oleh-oleh -- Jembatan Kapuas Tayan – Pontianak Hotel Gardenia

Para Risers DRE III pada sore hari kemudian menuju Ngabang, ke Hotel Honglong untuk beristirahat. Kali ini, giliran saya menyetir setelah hari pertama Kang Benny dan hari kedua pagi hingga petang Kang Dudi. Mereka istirahat, sebab, hari ketiga akan menempuh perjalanan yang lebih jauh, sekitar 3 Jam ke Entikong dan mengeksplorasi perbatasan Malindo (Malaysia Indonesia). Kemudian kembali ke Pontianak dengan mampir ke Jembatan Tayan dengan perjalanan kurang lebih 6 Jam.

Perjalanan ke Entikong, kembali saya jadi driver. Sedangkan siang ke sore Kang Dudi, dan sore ke malam kang Benny. Pembagian kerja antara update status, memotret dan menyetir masih sesuai rencana.

Risers menginap satu malam di Hotel Hong Long. Sebelum istirahat, ada games seru mengganti ban mobil

Di Entikong, jalan lumayan bagus. Pekerjaan restorasi dan perbaikan sedang banyak dilakukan. Entah, sepertinya efek kunjungan presiden beberapa waktu lalu berdampak pada perbaikan sana-sini. Harap maklum.

 

DI sisi Indonesia, agak kumuh ternyata saudara-saudara. Sedangkan disisi Malaysia, yaitu Tebedu, lebih bersih dan rapi. Walau demikian, kita tetaplah cinta Indonesia kok. Untuk itu, kritik harus disampaikan. Bahwa sudah saatnya perbatasan kita, sebagai etalase negeri tercinta, dibenahi. Diperbagus biar cantik.

 

Setelah berfoto-foto, serta ngobrol-ngobrol dengan berbagai pihak otoritas yang ada, kami makan siang di perbatasan. Hmm, masih rada kumuh tak terawat. Apalagi, WC UMUM nya, syerem, kotor dan jorok. Itulah Indonesia. Perlu perbaikan dan Insya Allah, melihat berbagai alat ekskavasi dan sejenisnya, semoga aspek kebersihan pun diperhatikan.

foto : riser 1

Aha, ada misi lain bagi tim Risers 1. Ya, buku. Alhamdulillah, kami menemukan beberapa anak untuk dibagi buku. Makin lama makin ramai. Akhirnya, semua kebagian. Dan yang tak kebagian, meminta memelas kepada kami.

Aduh, bagaimana ya.

Akhirnya, ada ide bahwa kami rekam saja permintaannya, dan mungkin, akan ada donasi untuk pengiriman buku-buku untuk anak-anak di Entikong! Amin!

 

Setelah selesai semua, tiba-lah untuk kembali pulang. Kang Dudi ambil setir dan kita bergegas menuju Pontianak dengan terlebih dahulu mampir ke Tayan.

Kami sempatkan dulu menuju ke warung-warung kecil dan membeli beberapa produk made in malaysia untuk oleh-oleh. Bisa bayar pakai dolar, ringgit maupun rupiah!

 

Jalan yang berbeda kami ambil. Berbeda dari jalan pergi. Nah, ternyata, jalanan rusak parah. Namun demikian, karena rute ini menuju jembatan Tayan, dan juga rute yang relatif lebih singkat ke Pontianak, maka kami hajar saja.

Apalagi, disini ternyata ketangguhan Datsun GO teruji!

Ya, kondisi jalan buruk, kadang bolong, tanah, beraspal keriting dan seterusnya. Juga banyaknya truk-truk besar membuat keandalan mesin dan peralatan mobil yang terkategori hatchback ini diuji.

dari jalanan yang relatif bagus..

hingga yang jelek!

Alhamdulillah, semua aman, karena suspensi yang oke banget.

Dalam melaju, ban pun seakan melekat ke jalanan, ngga “terbang”. Manuver-manuver dengan menyalip beberapa truk dijalani dengan sempurna, asal tahu bagaimana triknya, dengan gigi rendah dan kombinasi percepatan gigi.

Jadi, sore kami tiba di Jembatan Tayan. Sekitar pukul 17.30 WIB. Tak banyak waktu, kami puaskan dengan berfoto di ikon tulisan jembatan Kapuas Tayan, untuk selanjutnya berlanjut ke Pontianak.

Jalanan ke Pontianak sudah mulai manusiawi, namun ada tantangan lain. Yaitu malam yang gelap gulita. Maklum, dalam kota pontianak saja minim penerangan, apalagi di luar kota. Alhamdulillah, selain kondisi driver yang fokus dan konsentrasi, dipandu RC, juga mobil yang mantab ini membuat segalanya mudah. Kecepatan 70-80 KM/Jam di hujan deras yang mengguyur, Datsun GO ini tetap performanya prima.

Pukul 21.30 kami tiba kembali di Gardenia. Aktivitas malam tak ada, hanya mengumpulkan 15 foto terbaik untuk dinilai oleh tim juri esok paginya.

 

Hari keempat: Museum Kalbar – Masjid Jami Mujahiddin -- Bandara Soepadio.

Pagi yang cerah di Pontianak.  Seperti biasa, siangnya suhu sangat terik. Negeri yang tepat di garis katulistiwa ini memang eksentrik dengan panasnya. Hot. Walau demikian, Datsun GO dengan sistem pendingin yang optimal dapat mengusir panas gerah seketika. Sepertinya adem dalam hitungan detik saja ketika kita masuk.

Senjata tombak sultan dan senapan di museum Kalbar

ini nih ternyata dispenser pun sudah dibuat belanda jaman dulu!

Panas memang terasa ketika kami berkunjung ke Museum Kalbar. Keluar dari mobil langsung deh menyengat. Apalagi jam menunjukkan 10.30 WIB.

Museum yang berdiri sejak 1970an ini telah direvitalisasi dan menyimpan koleksi yang unik dan keren. Mulai jaman prasejarah hingga modern antara perpaduan budaya Melayu, Dayak, dan Tionghoa. Tiga etnik besar populasi penduduk Kalbar.

Foto bareng didepan museum, Risers mengajak pula mahasiswa-mahasiswi dari Universitas Tanjungpura yang kebetulan sedang berkumpul disana (foto : DRE)

Selepas berpuas mengetahui berbagai peninggalan sejarah dan budaya Kalbar di museum, kami menuju Masjid untuk menunaikan Sholat Jumat. Masjid terdekat adalah Masjid Jami Mujahiddin yang juga masjid besar di Kota Pontianak.

Panas terik siang itu tak menghalangi langkah kami menuju Masjid.

masjid yang indah megah di tengah kota pontianak

Selesai sholat, segera kami menuju bandara dengan tentunya, makan siang dahulu, kali ini di Pondok Nelayan yang menyajikan masakan-masakan enak Kalbar. Satu jam ke depan, kami sudah berada di ruang tunggu Bandara Soepadio Pontianak lagi. Berakhir petualangan kami, para Risers di bumi Kalimantan. Untuk Etape IV, kabarnya akan dilaksanakan di Sumatra. Hmm.. semoga juga seru, dan semoga bisa ikut kembali!

Selamat Jalan Risers!

 

Kuat Kita Bersinar, Bersama DATSUN dan Filosofinya

Catatan perjalanan ini bukan-lah penutup, justru pembuka. Pembuka bersinarnya dan terbitnya kepribadian yang unik, dari setiap pengendara. Juga interaksi risers dengan lingkungan, membuka jalan terbitnya cahaya motivasi dan mimpi bagi setiap orang.

Membawa Datsun GO hingga ke pelosok kalimantan, sampai mentok di perbatasan, bukan tanpa alasan. Tak hanya masalah durabilitas yang tinggi dari mobil, namun juga energi untuk membuka jalan, menerbitkan keinginan untuk bersinar bagi setiap orang, semua orang Indonesia sebagai saudara-saudara kita.

foto : DRE

Saya sangat mengapresiasi kegiatan DRE ini. Karena Datsun tak hanya bicara produk baru yang diluncurkan tapi bicar bagaimana tiga hal. Yaitu Dream (mimpi), Access (Akses) dan Trust (Percaya).

Secara pribadi, Risers memiliki Mimpi untuk kesempatan baik yang tiba yang akan mendorong karir dan masa depannya. Untuk para risers muda ini, mobilitas adalah sebuah Akses baik fisik maupun sosial menuju banyak peluang yang mereka bisa Percayai.

Secara sosial, Mimpi untuk hidup lebih baik pasti akan terungkit dengan adanya akses. Akses pembangunan ke pedalaman, ke mereka yang membutuhkan. Setelah adanya Akses, maka Modal Sosial meningkat dan kepercayaan menjadi hal yang sangat diperlukan untuk membentuk komunitas yang bangkit, terbit, sebagai “risers” dengan atau tanpa Datsun itu sendiri.

foto : DRE

Datsun dengan DRE dan berbagai event-event lainnya mestinya dan memang sudah pakem-nya melakukan kegiatan untuk rising them to the top!

Saya ingin pula mengambil lirik dari SID (Superman Is Dead) band punk rock asal Bali yang fenomenal dan melegenda, terutama dengan aksi sosial politik kerakyatannya. Bahwa “kuat kita bersinar”. Artinya, bersama, kita kuat, bersama-sama kita bersinar. Risers mengajak orang lain untuk juga rising.

foto dan model : kang dudi

Dalam etape III ini, kami, para risers, telah memberikan Impian, Akses dan Kepercayaan kepada mereka di pedalaman, di perbatasan, di kota yang tertinggal dari pembangunan Jawasentrisme. Kalimantan, sebagai Pulau terbesar ketiga di DUNIA ini sudah kami jelajahi, kami sambungkan dengan filosofi ke-bhineka tunggal ika-an dan bersama kita bersinar, together we are rising, together we are risers.

Selain itu, kami, Risers 1 membawa buku-buku untuk anak-anak. Sebuah memento dan perjuangan agar mereka juga memiliki DAT!

Kami ada untuk menyambungkan itu semua, karena kami (Datsun) Risers!

 

----

Berikut ini Empat Catatan Perjalanan Setiap Hari DRE III (4 Hari)

Menjemput Anak-anak Katulistiwa : Catatan Pertama

Sepanjang Rumah Betang : Catatan Kedua

Antara Dua Batas : Catatan Ketiga

Kuntilanak dan Budaya Kaya KalbaR : Catatan Keempat

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun