Ada yang menarik, yaitu Batu Hitam besar disisi jalan tol. Penduduk menamakannya "Batu Bleneng". Batu seperti menhir ini menjulang, tidak diapa-apakan. Padahal, secara teknologi, mudah saja tentu, dihancurkan dengan dinamit. Namun karena menghormati Kearifan Lokal (Local Wisdom), Kemen PUPR maupun LMS tak mengganggunya. Justru, jalan tol Cipali yang kompromi, agak berbelok dari semestinya.
Juga dengan membelah bukit lebih dalam dan agak berputar. Ini contoh bagaimana budaya dihargai dan harus dijaga. Selain itu, ritual-ritual lokal juga diperhatikan. Ukuran dampak sosial adanya Jalan Tol, yaitu akses dan kontak dengan dunia "pop" dan "jakarta" membuat perlu pula waspadai anak mudanya. Agar tak terjerumus, program-program pemberdayaan yang positif tentu bukan hal yang tabu dilakukan pengelola, Kemen PUPR maupun LMS langsung, sebagai "CSR".
Mengukir Prestasi
Jadi, mengukur Cipali, bukan mengenai panjang jalan dan mulusnya saja. Tapi juga perkembangan atau dampak ekonomi yang ada, juga berbagai alternatif solusi “fitur” dari Cipali seperti exit tol alternatif, rest area, personel yang siap sedia, mobil pemadam dan kepolisian, pusat monitor (monitoring room) di LMS dan sebagainya. Itu ukuran tol Cipali yang saya pahami, dan untuk dioptimalkan.
Itulah prestasi pembangunan kita yang saya ketahui. Paling tidak, menjadi pemicu semangat pembangunan infrastruktur lainnya. Tentu kita harus apresiasi semua kegiatan ini. (Pembangunan) ini dari pajak kita semua, untuk bangsa ini. Dengan "Berprestasi", baru kita berani buka potensi ekonomi di banyak daerah. Penghematan 40 KM dalam berkendara, sama dengan jarak antara Depok dan Bogor. Lumayan menghemat sekitar 2 jam dari biasanya. Jadi, karena ada akses tol untuk transportasi dengan efisien, efektif dan ekonomis, maka pembangunan untuk negeri dapat berjalan dengan lebih baik lagi.