Mohon tunggu...
Unggul Sagena
Unggul Sagena Mohon Tunggu... Konsultan - blogger | educator | traveler | reviewer |

Asia Pacific Region Internet Governance Forum Fellow 2021. Pengulas Produk Berdasarkan Pengalaman. Pegiat Literasi Digital dan Penyuka Jalan-Jalan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Merenung Tambang, Memahami Harga Kehidupan dan Nilai Penghidupan

11 Februari 2015   08:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:27 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prolog Ketika terpilih mengikuti Newmont Bootcamp, banyak hal yang terpikirkan, mulai dari catatan perjalanan hingga makna di balik peristiwa yang akan saya hadapi. Juga berbagai hal skeptis yang menurut saya sebagai awam membuat kontra terhadap usaha pertambangan asing di negeri ini. Tenang saja, saya jamin tulisan ini tidak dipenuhi istilah-istilah teknis yang mungkin tidak nyambung dengan masyarakat umum, hanya ring a bell untuk mahasiswa terkait sumber daya alam, metalurgi, dan sejenisnya.  Bagus sebenarnya. Tapi tergantung audiensnya. Kayaknya pembaca blog saya kurang paham, dan saya juga malas menjelaskan (karena takut salah hehe). Dari sekian catatan Day 1Day 1, Day 1, Day 1, Day 2, Day 3, Day 4, Day 5, Day 6, Day 7 dan Day 8 (updateable yach, more to write!) di lokasi tambang tembaga Batu Hijau dan Perkampungan masyarakat sekitar tambang, mungkin tulisan ini semacam summary yang saya dapatkan. Juga perenungan. Tentang apa yang saya pikir sebelum melihat sendiri tambang dan apa yang saya simpulkan setelah melihat tambang dan bergaul dengan karyawan PT Newmont Nusa Tenggara (selanjutnya disebut NNT) maupun masyararakat sekitar tambang. Ya, saya menginap di rumah warga di Maluk dan Sekongkang. Tulisan ini juga merupakan bagian yang saya dan teman-teman Group 2 masukkan ke dalam presentasi kami di hari terakhir di hadapan beberapa stakeholders tambang, dan juga berisi berbagai renungan dan rekomendasi untuk ke depan bagi kesejahteraan masyarakat Sumbawa pada khususnya maupun Provinsi NTB pada umumnya. Buat Aku Menjadi Berharga! Ya, kata kunci diatas merupakan satu kalimat yang saya dan teman-teman rumuskan sebagai representasi kehidupan tambang dan bagaimana tambang dapat menjadi sumber kesejahteraan masyarakat lokal, bukan hanya kerukan dan perusakan. Memang, tambang tembaga NNT Batu Hijau yang diresmikan pada tahun 2000 lalu oleh Gubernur NTB, Harun Al Rasyid seakan menjadi momok, namun sebuah koin mata-uang yang berpasangan. Di satu sisi, aktivitas ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi, namun disisi lain menjadi sumber perusakan alam serta terbangnya “duit” ke negeri orang. Seperti itu umumnya kita duga.

NTB adalah provinsi yang miskin di Indonesia. Bersandingan dengan dua provinsi ekstrim lainnya. Bali yang maju dengan pariwisatanya dan Nusa Tenggara Timur yang Nasibnya Tidak Tentu, Negara-pun Tidak Tahu (NTT). Setali tiga uang dengan NTT, Provinsi NTB juga kategori terbelakang. Keberadaan NNT di lokasi Batu Hijau sebenarnya diharapkan menambah amunisi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dampak tambang ini secara ekonomis harus dapat meningkatkan kesejahteraan lokal. Sepakat? Eksplorasi di NTB sebenarnya sudah lama, sejak 1984 namun skala produksi yang kemudian membesar mulai ditunjukkan pada medio 2000-an dimana lokasi ini kemudian seperti sekarang ini. Membaikkah perekonomian? Kita Lihat. Peran Siapa memangnya itu? Kita bahas ya. Kontur wilayah geografis di NTB, khususnya Sumbawa yang panas dan terik, dengan curah hujan yang rendah serta jauh dari pusat pemerintahan yang sentralistik membuat NTB memiliki keseksian tersendiri terutama bagi bule-bule yang merindukan kehangatan matahari. Juga ternyata menyimpan kekayaan alam yang luar biasa, baik yang terpendam di dalam tanah maupun yang bisa langsung disaksikan dengan mata telanjang.

NNT membuat bebatuan terjal menjadi serbuk berharga. Tembaga. Eksploitasi Sumberdaya alam Indonesia ini membuat skeptis masyarakat umum. Hal ini karena Newmont yang “amerika”. Itu saja. Nasionalisme sejumput ini kemudian berkembang menjadi sentimen yang menunjukkan kemarahan terhadap kerusakan alam. Rusak. Seakan-akan tidak bisa dipakai lagi. Jika produk elektronik rusak, dia akan terbuang kalau tidak dapat diperbaiki. Padahal, konsep keberlanjutan (Sustainability) ada. Dan ternyata, semua itu bisa berjalan paralel. Saya sudah pernah melihat reklamasi (reklamasi adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya) berjalan di Tambang emas kecil Cibaliung di Banten. Namun aktor daerah mempersempit sudut pandang menjadi pola scam terhadap perusahaan tambang. By default, bukan berarti perusahaan tambang “baik”. Tapi ada standard yang harus ditepati. Jika kesejahteraan masyarakat Banten buruk, sebagaimana kita ketahui, masalahnya kompleks. Melibatkan praktik KKN yang merajalela dan itu sangat erat dengan para aktor pemerintah dan –mohon maaf—partai penguasa. Hal yang sama –mungkin– terjadi di Batu Hijau. Di area tambang yang disebut batu hijau karena banyaknya batuan hijau akibat pengendapan unsur-unsur alam pada batu ini; permasalahan begitu kompleks. CSR (Corporate Social Responsibility alias tanggung jawab sosial perusahaan) berjalan walau sempat terhenti ketika aktivitas pertambangan berhenti. Ada pengelolaan bank sampah, koperasi masyarakat, perkebunan buah naga (dragon fruit), beasiswa pendidikan dan banyak hal dilakukan. Mungkin belum maksimal, silakan kita berikan masukan. Reklamasi juga berjalan. Celakanya, ketika kita memfoto pit tambang yang bolong karena dikeruk, kita tidak sadar disekitar itu terjadi pula proses reklamasi. Banyak pepohonan sudah tertanam kembali dan fungsi tanah sudah kembali. Inilah media. Keterbatasan menyebabkan Penilaian yang cenderung menghakimi. Saya rasa isu nya adalah mengawal, agar tetap berjalan dan itu tak ditunjukkan dengan sikap cibiran tapi seharusnya sikap yang benar itu kita malah ingin terlibat langsung dalam prosesnya. Untuk tahu.

Pit tambang, Kamera biasa. Tidak kelihatan reklamasi kanan kiri

Pit tambang versi wide dari heli. Kelihatan penghijauan yg sudah dilakukan

Sejauh yang saya ketahui, NNT terbuka untuk itu. Departemen Environment juga menjalin hubungan intens dengan lab-lab dan pusat kajian universitas di Mataram dan sekitar. Selain itu, pada satu kesempatan, saya sempat bertemu dengan rombongan “See What You Pay” yang merupakan masyarakat yang peduli “transparansi anggaran” serta datang ke lokasi-lokasi CSR NNT maupun ke kegiatan Pemerintah daerah untuk melihat apa sebenarnya yang dilakukan.dari pajak mereka. Jangan NATO intinya (No Action Talk Only) apalagi di Sosial Media. Sejauh mata memandang, unsur “barat” di NNT menurut saya hanya satu. Disiplin. Mulai dari seat-belt di semua tempat duduk, berjalan di pedestrian hingga klakson kode untuk kendaraan jika bergerak dan berhenti. Bukan seliweran bule di area tambang. Selama beberapa hari pun, saya melihat hanya satu bule di mess hall, tempat makan. Itupun berpakaian PBU. PBU adalah rekanan Newmont yang mengurusi perihal logistik, utamanya makanan para staff tambang. Perekonomian pekerja tambang juga baik. Bahkan sangat baik sehingga menjadi masalah sosial baru. Tujuh ribu (7000) karyawan yang mencari nafkah di tambang, 99,8 persen lokal. Spesialis memang kadang membutuhkan orang ekspat. Namun itu karena memang tidak ada SDM lokal yang mumpuni di area tertentu. Bahkan, untuk memenuhi tenaga lokal, dilatih kemampuan masyarakat agar dapat bekerja di NNT. Secara bertahap, peningkatan perekonomian terjadi. Problemnya, ada kesenjangan ekonomi antara karyawan NNT dengan non-karyawan NNT. Ini berbuah ketergantungan dan harapan yang tinggi untuk semua orang yang sukses di Sumbawa itu adalah karyawan Newmont. Padahal, banyak kegiatan dan pekerjaan termasuk wirausaha yang lebih baik. Seringkali peluang itu malah ditangkap para pendatang. Masyrakat lokal merasa sukses kalau sudah jadi karyawan Newmont. Pola berpikir ini jelas salah. Jika kita ingin Newmont hengkang dari Indonesia, mengapa masyarakat malah bercita-cita kerja disana? Ada yang salah tentu. Bagi Newmont, ini Serba salah bukan? Jika Batu bisa ngomong, menyalin istilah penyanyi Doel Sumbang --yang "bulan bisa ngomong", dia akan bicara, buat aku menjadi berharga. Menjadi batuan berharga yang bisa diekspor, ditukar uang untuk kesejahteraan. Jika memang lebih banyak untuk “Amerika” maka pemerintah perlu dan seharusnya sudah, membuat pola bagi hasil yang saling menguntungkan. Perusahaan bisnis tetaplah bisnis. Dan siapa sangka, saham Newmont juga di miliki oleh lokal yaitu grup Bakrie. Wallahu’lam. Inilah bisnis-politik. Suara-suara “Sumbang” bukan milik Doel Sumbang tapi milik orang-orang yang tersisihkan. Saya ingat bahwa menurut Manajer CSR, Pak Djarot yang asli Sumbawa, sudah biasa terjadi demo dan penutupan jalan oleh beberapa pihak yang ternyata “barisan sakit hati” yang menuntut/berhasrat untuk bekerja di NNT setelah lulus kuliah. Sedangkan tetangga mereka bekerja di NNT hanya berbekal ijazah SD, SMP, SMA namun dibekali keterampilan karena SDM lokal memang lack of skill pada saat itu. Saat ini, tak mudah untuk bekerja di NNT karena memang terkait dengan kebutuhan. Selain itu, kontrak NNT juga masih belum jelas jadi bukan kebijakan yang baik untuk menambah karyawan. Yang ada saja dapat sewaktu-waktu dirumahkan. Hmm.. menarik info ini. Dan masyarakat yang memang sudah bisa ngomong, juga berulang kali berbicara, buat aku menjadi berharga. Buat kami sejahtera. Sebuah permintaan yang kadang terlihat absurd. Sebab tidak pula tepat sasaran. Kesejahteraan akan ada jika ada kerjasama yang baik dari setiap pemangku kepentingan. Quadruple Helix kalau diistilahkan. Kerjasama antara kalangan Akademik, Bisnis, Pemerintah dan Masyarakat Sipil. NNT, dengan segala kemampuannya, tetaplah perusahaan swasta. Kewajibannya, sudah standard dunia, bahkan standard-ny World Bank karena dana ada dari sana. Bahkan, standard pengelolaan tambang NNT adalah yang terbaik diantara tambang Newmont lain di dunia. Lalu seperti apa. Kewajiban pembangunan smelter untuk mengolah konsentrat sebelum diekspor menurut saya hal yang baik. Saya tidak punya akses ke hitung-hitungan akuntansi NNT tapi dengan membuat smelter (saya tidak peduli dari mana dan bagaimana) berarti NNT sudah mengikuti aturan pemerintah Indonesia.  Saya rasa aturan itu bukan hanya sekedarnya tapi sudah melalui kajian yang mendalam. Ikutin aja-lah flow nya. Sementara itu, kegiatan harus tetap berjalan, karena ini terkait perekonomian. Tak hanya bagi 7000 karyawan, tapi trickle-down effect dan spread effect nya bagi perekonomian masyarakat sekitar tambang maupun provinsi. Dengan beberapa hari menginap di rumah masyarakat, saya juga mendapat gambaran bagaimana Newmont berkontribusi untuk kesejahteraan. Loh, ini perusahaan swasta, bukan Pemda yang seharusnya lebih punya kewajiban. Saya  mencoba membayangkan, bagi masyarakat Sumbawa Barat, berhenti beroperasinya NNT pada waktu lalu, sama halnya dengan berhentinya PLN menerangi listrik di rumah. Anda bisa bayangkan bukan? Dana pengembangan masyarakat (community development) seperti pengelolaan Bank Sampah, Coco-Net (Jaring untuk reklamasi yang dibuat dari sabut kelapa sehingga ramah lingkungan), kebun buah naga (dragon fruit) serta beasiswa merupakan hal yang patut di apresiasi. Saya juga sependapat, Newmont ada karena ada yang tidak ada. Kita sendiri yang salah, tidak punya roadmap BUMN yang bisa mengelola. Jika kita pernah melihat lingkar tambang di Indonesia dikuasai perusahaan asing mulai dari AS hingga Malaysia, harusnya kita berkaca, bisakah kita membuat perusahaan multinasional seperti ini?

Bank Sampah Lakmus yang difasilitasi NNT

Hasil kerajinan dari kantong plastik menjadi dompet cantik di display

Pengolahan jaring/tali dari sabut kelapa yang ramah lingkungan difasilitasi NNT

Coconet yg sudah tergulung dan tertumpuk rapi

Yummy! Buah naga merah

Saya rasa, ini bukan karena Newmont-nya. Picik kalau hanya sekedar nama. Tapi bagaimana keuntungan untuk bangsa ini terjaga. Kesejahteraan meningkat. Karyawan Newmont yang ada toh tidak abadi. Mereka akan berhenti ketika sumberdaya ini habis. Karena tidak dapat diperbaharui. Apabila ada perusahaan lokal yang diset oleh pemerintah, tentu mereka (karyawan) juga senang. Ganti “bos” saja. Bahkan lebih baik karena jadinya BUMN dan punya jaminan pensiun. Bekerja untuk bangsa. Senang kok. No Problemo. Pertanyaannya, siapkah? Dan adakah ke arah sana? Itu Pe-er untuk negara besar ini. Selama ini pendekatan hanya pengetatan aturan semata. Tidak cukup. Ini tidak solutif dan tidak pula berdampak baik. Sedangkan NNT, di lain pihak, ternyata malah mendapatkan anugerah investasi dari Pemda Kab Sumbawa Barat. Jadi, ini nilai keberadaan NNT itu. Desa Maluk yang dulu hanya dusun kecil dengan kurang drari 100 KK sekarang sudah menjadi 5 desa dengan jumlah penduduk 12.000 jiwa.  Betapa pesat populasinya. Apa yang terjadi? Cukup aneh sih menurut saya. Yang kita ketahui selama ini.. hanya kata "Asing", sama dengan mengeruk kekayaan ke lur negeri dan menimbulkan kerusakan.  Itu sudut pandang orang luar Sumbawa (barat) toh?   Nah, kembali ke pertanyaan yang mungkin merasuk sejak awal tulisan ini dibuat,  apa kontribusi NNT? Mengapa Ia malah dianggap "hero" di masyarakat lokal?  Then, we need DATA.  Alhamdulillah, saya mendapatkan data itu. Semacam fact sheet,  Sejak diresmikan tahun 2000 hingga 2013, kontribusi perekonomian selama tiga belas tahun tercatat. Silakan baca dulu disini.  Lalu browse dulu dan baca sekilas tentang NNT di web resminya disini. Setelah baca, baru kita lanjutkan ya agar "sesi ini bisa kita akhiri". Jadi, Mari kita lihat terus tulisan ini ke bawah. Vitalitas, Vital! Ketika akan memasuki area tambang, terlihat jelas prasasti yang menunjukkan bahwa area tambang batu hijau ini adalah “objek vital negara yang dilindungi”. Ini menunjukkan kontribusi tambang harusnya untuk kesejahteraan rakyat. Mau perusahaan apa yang menambang, garis ini jelas. Ini punya bangsa kita. Silakan Anda yang diatas mengatur bagaimana baiknya, saya hanya peduli masyarakat bisa sejahtera di level mikro, rumah tangga. Kalau negara tidak hadir, itu masalah tapi tidak bisa menyalahkan masyarakat. Jangan bicara nasionalisme kalau perut lapar. Pada satu ketika, saya juga berkesempatan mengunjungi Powerplant NNT. Letaknya di dekat pelabuhan Benete. Disini terdapat dua pembangkit, yaitu PLTU (Uap) dan PLTD (Diesel). Uap yang berjalan, Diesel merupakan cadangan. Ditempat ini pula lah konsentrat diangkut ke Kapal alias terjadi “penjualan”. Pembangkit ini adalah vital. Tak hanya untuk aktivitas di NNT, bahkan sempat membantu Pemerintah untuk memberikan akses listrik loh ke warga sekitar. Batubara yang dipakai untuk pembangkit ini adalah enviro coal yang ramah lingkungan. Dari cerobong yang terdiri dari 4 emisi di PLTU, diawasi ketat dengan sistem canggih yang terkomputerisasi di Control Room. Penilaian dampak lingkungan selalu dilakukan pihak ketiga yang berwenang dan kompeten, serta NNT selalu melapor ke Kementerian Lingkungan Hidup.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap

Bersama para punggawa fasilitas vital di command center terkomputerisasi canggih.

Di ruang command center yang nyaman ini semua terkomputerisasi. Kandungan emisi yang dapat dijaga dengan rapi dan dilihat melalui monitor. Menjaga kebutuhan vital dan menjaga kadar buangan yang sesuai dengan standard dan tak merusak lingkungan, menurut bapak-bapak ini, "adalah kebanggaan kami dan ini yang bikin kami pede". Kami juga bangga pak! Konsen, Konsentrasi, Konsentrat! Setelah smelter dibangun nanti, tentu konsentrat tembaga akan diangkut ke smelter dan diolah, tidak langsung diekspor. Silakan saja, bagaiman membuatnya. Bukan itu konsen saya. Konsen saya bukan hal kebijakan maupun untung-rugi NNT, tapi keberlanjutan perekonomian masyarakat yang sangat terbantu dengan keberadaan tambang. Pun siapa pengelolanya urusan kedua. Kalau Indonesia siap, lebih baik toh? Yang pasti NNT saat ini beroperasi sebagai bagian dari “Newmont” yang “amerika” itu katanya. That’s it. Nasionalisme sampai disitu aja ya. Kita ngga ngomongin itu. Tapi ngomongin aktivitas praktiknya pertambangan apakah comply dengan konsep keberlanjutan atau tidak. Sama halnya saya tak ambil pusing negara ini mau kesatuan atau federal asalkan rakyat sejahtera; desa sejahtera sudah cukup. Kata Pemimpin Tiongkok yang legendaris, Deng Xiaoping, “Saya tak peduli kucingnya hitam atau putih, yang penting bisa menangkap Tikus”.

Konsentrator pengolahan ore / batuan yang sangat besar. Perhatikan btuan yg ada dikiri masuk ke konsentrator

Penggiling batu. Jumlahnya banyak dan besar

ore/batu tambang masuk ke penggiling/grinding via belt berjalan

Dalam prosesnya, Pengolahan batuan yang diangkut dari pit tambang menuju ke sebuah area pengolahan yang besar. Dilengkapi grinding (penggilingan) terus menerus hingga berkali-kali dan menghasilkan konsentrat. Hasil pemecahan dan penggilingan membuat konsentrat tembaga yang berupa butiran halus. Sisanya (tailing) dikontrol ditempatkan (bukan dibuang ya) dengan sangat hati-hati dibuang melalui jalur pipa steril menuju laut lepas. Semuanya butuh perencanaan, konsentrasi dan peraturan yang sangat ketat.

Tailing yang dikontrol terus menerus utk diperiksa kadarnya

Tailing nya tidak berbahaya. Kami coba merasakan dengan tangan telanjang

Pipa penempatan tailing

Disini biasanya arah “hujatan” muncul. Untuk itu, dengan melihat sendiri kondisi proses ini, saya yakin memang tidak sembarangan. Standard internasional dan pengawasan ketat sudah dilakukan. Dan selama ini tak ada keluhan. Asumsi “liar” di luar sana memang “sadis”, tapi kalau berani datang dan buktikan, hmm.. anda akan tercengang. Silakan buktikan, kata NNT di satu sesi presentasi. “Kami terbuka”. Konsentrat yang ada disimpan di gudang sebelum diangkut menuju bawah ke powerplant dan ke pelabuhan Benete untuk diekspor (nanti kedepannya setelah diolah di smelter baru diekspor).

Gudang konsentrat

Bagian dalam gudang

Timbunan konsentrat di gudang. Yang kemudian dibawa ke proses selanjutnya di Benete.

Kehidupan dan Penghidupan! Serupa tapi tak sama. Pengalaman bergaul dengan masyarakat memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai ini semua. Setelah kita obrol agak filosofis diatas, sekarang saya mengajak kita melihat lebih dekat kehidupan masyarakat sekitar tambang. Memang, kelihatan betul perekonomian warga yang bekerja di tambang, maupun ada anaknya yang kerja di NNT berbeda dengan masyarakat umum. Dari sisi visual, rumah. Beda sekali. Mungkin yang menyamai adalah pejabat Pemda atau pengusaha/wirausaha/dagang yang biasanya pendatang. Namun kita tak terjebak dengan glamor ini. Saya rasa NNT juga serba salah. Perusahaan apalagi tambang memang punya standar gaji dan kompensasi yang dirasa “pas”. Untuk itu, perlu “revolusi mental” bahwa cita-cita tak harus ke NNT. Cita-cita setinggi langit, jadi gubernur, keliling Indonesia, jadi pebisnis besar. Bukan kerja di tambang. Dan pada akhirnya membenci tambang ketika tujuan itu tak tercapai. Inilah yang kami sampaikan ke sebuah sekolah yaitu SMKN 1 Maluk di sesi kunjungan. Sebuah sekolah di kaki bukit, kami menyampaikan berbagai potensi pariwisata dan kekayaan alam Sumbawa yang kami kagumi. Sedikit mengancam, bahwa suatu saat jika mereka tidak memahami dan mengabarkan kekayaan alam nan indah di Sumbawa sebagai Surga pariwisata dan Surga kekayaan sumberdaya alam, selamanya akan ada orang-orang “asing” yang melakukan itu. Dan mereka akan menjadi tenaga-tenaga buruh yang tersisa dengan hidup seadanya.

SMKN 1 Maluk

SMKN 1 Maluk dikaki bukit

Suasana di dalam

Main catur, asah otak disela istirahat di kantin

Pendidikan karakter, sangat penting dalam hal ini. Mereka anak-anak yang berani kok. Mau diajak maju. Hanya perlu pintu untuk dibuka dan Jendela untuk melihat lebih luas. Mudah-mudahan, seperti informasi yang kami dapatkan, NNT memfasilitasi motivator ke sekolah dalam range bulan tertentu, belajar bahasa inggris dan seterusnya serta beasiswa Newmont yang pantas. Subhan, salah satu teman bootcamp, adalah putra Sumbawa penerima beasiswa tersebut. Penghidupan masyarakat sebelum ada tambang dan sesudah ada tambang mungkin berbeda. Namun akhirnya akan kembali sama, sebuah siklus. Yang membedakannya adalah bagaimana keberlanjutan perekonomian. Untuk itu, tepat jika NNT memfasilitasi berbagai kegiatan masyarakat yang meningkatkan perekonomian. Walaupun, seharusnya Pemda loh yang lebih berperan. Bank Sampah misalnya. Masyarakat mengumpulkan sampah plastik untuk ditukar pulsa serta “bank” tersebut mengolahnya menjadi berbagai hasta karya yang dapat dijual seperti dompet, gantungan dan sejenisnnya. Potensinya dapat dijual ke luar daerah. Pemintalan tali dari sabut kelapa CocoNet menghasilkan temali yang kuat untuk reklamasi lahan. NNT memfasilitasi gaji para pemintal. Keuntungan berputar. Suatu saat ini bisa menjadi produk andalan ke depan, ketika di tinggal NNT. Kebun buah naga yang saya saksikan pun, bisa menjadi komoditi yang berdaya saing tinggi di masa depan. Ini beberapa pandangan mata yang saya lihat tentang NNT dan kontribusi CSR nya. Kurang banyak? Silakan idenya ke NNT dan ke Pemda ya? Tentu kita berharap Newmont cabut kan? Karena “nasionalisme” itu tadi. Tapi bagi NNT, silakan saja. Saat ini, mereka melakukan kewajiban CSR dengan sungguh-sungguh saja. Dengan alokasi bujet yang ada. Agar masyarakat mandiri. Sudah, itu saja cukup. Mikir nya gak usah panjang-panjang.

Meninggalkan ketergantungan, mencapai harapan kemandirian.

Mungkin itu kata kunci di sesi ulasan masyarakat ini. Apalagi, di era baru ini, sudah ada UU Desa. Amanat untuk dana desa sudah mulai ada, Badan usaha milik desa (Bumdes) pun diinisasi, desentralisasi mulai terasa aura positifnya, dan guru mulai sejahtera. Itu semua tak perlu iba NNT. Jadi ini modal bagi Sumbawa dan NTB pada umumnya untuk maju. Tambang ya tambang. Dia tak dapat diperbaharui.  Investasi di bidang Pendidikan, penguatan kelembagaan, dan kepemimpinan adalah hal yang akan membawa kesuksesan provinsi ini. Inilah Social Capital yang kekal. Oya, salah satu contoh lagi yang menarik adalah Batu Akik. Bacan, Batu Cantik kalau bahasa gaulnya. Batu Sumbawa, Mutiara, merupakan produk menarik yang berdaya saing menurut saya. Ada cerita menarik dari pak Kades yang berbisnis batu akik. Beliau mendapat info dari internet mengenai harga-harga batu, kemudian beliau mengumpulkan batu sumbawa mengajak masyarakat. Lambat laun, penghasilan dari batu ini sangat sangat cukup untuk sehari-hari.

Ngobrol di rumah warga, mendapat cerita Bacan dari Kades

Wah, saya kagum, karena Pak Kades melek IT, melihat Internet, tapi tak hanya itu, memanfaatkannya untuk produktivitas. Beliau juga bisa jualan di dunia maya dan sudah mengirim Batu akik sumbawa ke banyak tempat. Ini contoh penghidupan yang tak tergantung NNT. Wirausaha yang bakal berbuntut kesuksesan. Ini harus didukung oleh Relawan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) agar dapat menjembatani masyarakat berwirausaha memanfaatkan teknologi internet. Ayoo, mana Relawan NTB? Epilog Saya, dan teman-teman, bukan menyanjung, tapi menyampaikan fakta. Untuk itu, beberapa langkah yang menurut kami diperlukan antara lain dan paling penting adalah pendidikan karakter masyarakat. Pelatihan-pelatihan kerja menembus dunia yang lebih luas, bukan pelatihan teknis untuk mengisi tenaga tambang saja. Pelatihan wirausaha, pemanfaatan teknologi misalnya handphone dan internet untuk produktivitas juga perlu. Selain itu, kegiatan pemberdayaan masyarakat perlu dipertahankan dan diperluas. Ini akan menjadi modal dasar untuk perekonomian baik sekarng maupun “pasca-NNT”. Peran pemerintah, akademik, bisnis dan masyarakat sipil (Civil Society) sangat penting untuk keberlanjutan pembangunan di provinsi NTB dan Pulau Sumbawa pada khususnya.

Bukan hanya masalah Nasionalisme. Ini masalah Kesejahteraan. Kita kadang berbicara Nasionalisme tapi tidak melihat fakta di masyarakat apakah negara = nation itu hadir di tengah-tengah mereka. Siapa yang hadir, itulah messiah-nya.. jangan salahkan mereka, salahkan pemerintah yang dengan "kontrak sosial" dari kita, tidak mampu memenuhi harapan kita.. Nasionalisme kita memang cuma sejumput. Tapi itu cukup bagi siapapun yang mencoba menyeimbangkan "kehidupan dengan penghidupan"...  Mari lihat tambang lebih dekat, niscaya ada nilai-nilai tersembunyi di dalamnya. Itulah hal yang paling berharga. Buat kami berharga kata batuan itu, kata masyarakat, anak-anak kecil bermain gundu dan gasing itu. Jadi, hadirkan dulu NEGARA disana, baru bicara Nasionalisme. Nasionalisme ada di dada mereka, di tiap tiang bendera di sekolah di Sumbawa. Di SMKN 1 Maluk yang kami datangi. Di setiap putera daerah yang bekerja di tambang berpeluh dan lelah.  Mari cari solusi!
Reklamasi tambang (perhatikan jaring yang menahan bibit agar tidak longsor)

Pelabuhan Benete, titik tolak eskspor tembaga Batu Hijau

Tambang? Yes, sekali lagi, memang seksi, menawarkan sejuta impian. Tapi dia tak kekal. Dia juga harus mengembalikan keadaan alam seperti semula. Semua dilakukan, dengan meninggalkan jejak yang akan diingat generasi mendatang.  Penambangan adalah kegiatan untuk mencari "harga", dan sekaligus juga "harga" yang harus dibayar untuk peningkatan kesejahteraan lokal di mana negara sepertinya absen selama ini.  Masyarakat lokal sekitar tambang? Yes, memiliki harga untuk kehidupan mereka. Mencari juga penghidupan yang layak. Jika memang harga yang harus diterima adalah dengan mengubah alam sedemikian rupa dan mengembalikannya, itu-lah trade off yang mereka dapatkan. Benang merahnya, NNT lakukan apa yang harus dilakukan. Negara ini, lakukan apa yang harus dilakukan. Kita? lakukan apa yang BISA kita lakukan. Akhirnya, Apa warisan NNT Batu Hijau, apa yang dipikirkan cucu kita ketika mendengar NNT? Juga, apa yang kita lakukan agar anak-cucu kita sejahtera. Alam ini adalah pinjaman dari anak cucu kita dan wajib dijaga. Sebagai negeri yang dijuluki “sejuta masjid” yang megah, dengan penduduk mayoritas Islam, tentu kita percaya, bahwa perdagangan, alias wirausaha adalah pintu rejeki. Hanya satu pintu rejeki yang didapat dengan menjadi karyawan Newmont. Hehe.. Sebab, Nabi Muhammad pernah berkata ““Berniagalah, karena sembilan dari sepuluh pintu rezeki itu ada dalam perniagaan.” (Riwayat Ahmad)

Mari, kita bersama ubah karakter masyarakat, kehidupan dan penghidupan yang layak tanpa ketergantungan..  dan mari pula kawal NNT dalam mengelola tambang !

[caption id="attachment_350464" align="aligncenter" width="576" caption="Newmont Bootcamp Batch IV Perjuangan"]

14235930222116293369
14235930222116293369
[/caption]

photo credit : www.unggulcenter.org  (url gambar masih me-link pada sumber)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun