Mohon tunggu...
Undix Doang
Undix Doang Mohon Tunggu... -

Menulis tidak bisa diajarkan, tapi bisa dipelajari.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sains: dari Fiksi ke Non-Fiksi

28 Maret 2010   06:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:09 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada awal mula, sains tak lebih dari sekedar spekulasi untuk menjawab misteri kehidupan. Manusia mencoba mengerti lingkungan dengan memanfaatkan daya imajinasi tanpa punya metode penguji.

Semua imajinasi diwariskan lewat dongeng, mitos, legenda, dan tahyul lalu diteruskan dari generasi ke generasi. Memasuki abad ke-16, sains menemukan metode kuantitatif yang mampu menguji dan memilah mitos dan tahyul dari fakta.

Satu per satu mitos dan tahyul berguguran melalui pengujian empirik sehingga memberi ruang bagi teori-teori sains mutakhir untuk mengubah peradaban manusia secara mendasar. Sampai awal abad ke-21, metode pengujian kuantitatif yang menjadi tulang punggung sains seolah mati daya. Para ilmuwan mengembangkan teori-teori baru yang tidak memberi kesempatan pada ilmuwan lain untuk menguji secara empirik.

berangkat sebagai fiksi…
Archimedes sudah menemukan perbedaan berat jenis dan memerikan kisaran pi antara   3 10/71 sampai  3 1/7. Phytagoras sudah merumuskan jumlah kuadrat sisi siku setara sisi miring. Aristharchus sudah menyodorkan paradigma heliosentris sekitar 250 SM.

Satu millenium yang silam, para ilmuwan Cina sudah memperkenalkan seismograf, kompas, dan roket? Mengapa baru pada abad ke-17 sains menyumbang peran konkrit dalam kehidupan kita sehari-hari?

Salah satu penjelasan tentang penyebab keanehan itu adalah belum menyatunya matematika dan sains sehingga teori tidak terbuka untuk digugurkan. Dugaan lain adalah pemutlakan kekuasaan agama dan tekanan sosial-budaya terhadap sains.

Segala pengikut hipotesa yang menentang dua kekuasaan itu langsung ditangkap bahkan dihukum mati. Kematian Socrates dan Giordano Bruno merupakan ilustrasi betapa kuat tekanan terhadap sains.

Dalam kondisi demikian gagasan-gagasan tentang potensi sains menyublim sebagai literatur humaniora. Yohanes Kepler menulis novel Somnium, tetapi naskah baru berani diterbitkan pada 1634, 13 tahun setelah dia meninggal.

Selain itu masih ada karya fiksi serupa tentang sains seperti Gilgamesh (Babilonia), mitos Daedalus, True History buah pena Lucian (160), The New Atlantis karya Francis Bacon (1627), Gulliver's Travels dari Jonathan Swift (1726), dan Frankenstein yang ditulis oleh Marry Shelley (1818).

…menuju non-fiksi…
Perkawinan sains dengan matematika terasa benar-benar konkrit sejak Newton memperkenalkan prinsip gerak. Sejak itu matematika pun menyatu dengan sains sebagai metode sekaligus pertanda cerai antara sains dengan agama.

Sains pun mulai bergerak cepat mengubah kebudayaan sehingga muncul istilah revolusi sains. Karl Popper memerikan ciri sains dengan ketentuan suatu teori dianggap sains jika menyediakan ruang untuk diuji secara empirik.

Berawal dari mekanika Newton sampai listrik, fisika menyumbang banyak pada kemaslahatan manusia. Pendaratan di bulan, pesawat terbang, mobil, listrik, komputer, sampai energi nuklir tidak bakal muncul dari teori sains yang tidak teruji secara ketat.

Cabang biologi menyumbang teori evolusi Darwin dan DNA sehingga ilmu kedokteran berkembang pesat. Gabungan ilmu kimia dan biologi melahirkan Teori Gaia untuk membantu menjelaskan problematika lingkungan pada aras planet. Cabang genetika sel menyumbang teori asal-usul perbedaan kelamin bahkan membuka kemungkinan munculnya jenis kelamin baru.

Teori relativitas dan mekanika kuantum menghantarkan sifat bintang-bintang di langit ke haribaan manusia. Fiksi masa lampau menjadi nyata dengan terwujudnya impian Kepler dalam Somnium tahun 1969, ketika manusia pertama mendarat di Bulan.

…kembali ke fiksi?
Akan tetapi, di pada abad ke-20, sains mulai menyodorkan gagasan yang fantastik. Ada teori Superstring yang baru bisa diuji dalam akselerator partikel sepanjang 1.000 tahun cahaya. Darwinisme memroklamasikan berlakunya seleksi alam sebagai kaidah evolusi di alam semesta, padahal manusia baru memastikan satu bentuk kehidupan saja di alam semesta. Chaoplexity (chaos dan complexity) mengobral istilah efek kupu-kupu, fraktal, kehidupan buatan, dan self-organizing tetapi tidak pernah bisa menjelaskan secara tegas perilaku alam.

Pada sisi lain, manusia secara sadar membatasi penerapan teori sains dalam kehidupan sehari-hari seperti rekayasa genetika atau pengembangan teknologi nuklir dengan pertimbangan politik, ekonomi, sosial, bahkan budaya. Pendek kata, perkembangan sains modern tidak saja terbentur pada masalah metode pengujian, melainkan hambatan dari manusia itu sendiri yang terus menguat.

Gambaran sains pun kini mirip dengan kondisi pra-newton. Kaidah fisika dasar diganggu oleh kisah perjalanan waktu. Ketentuan maksimal kecepatan partikel di alam semesta ditembus oleh kecepatan warp dalam Star Trek.

Fisika pun kelabakan menguji eksistensi telekinesis, roh, dan UFO. Fisikawan Niels Bohr malah menyatakan bahwa prinsip-prinsip yang ditemukan oleh mekanika kuantum sebenarnya sudah disampaikan 2.000 tahun yang silam dalam Buddhisme.

Apakah perjalanan revolusi sains sudah selesai pada abad ke-21? Apakah peradaban manusia akan kembali dililit oleh hipotesa-hipotesa yang tidak bisa diuji secara empirik? Apakah sains sudah mencapai ne plus ultra (batas tertinggi)?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun