Mohon tunggu...
Faryanti
Faryanti Mohon Tunggu... Guru - Guru

Pendidik di sebuah sekolah menengah atas yang memiliki ketertarikan dengan permasalahan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Model Flipped Classroom, Salah Satu Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik

6 Juli 2023   14:00 Diperbarui: 6 Juli 2023   14:01 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
  https://www.usd.ac.id/pusat/ppip/2020/05/04/konsep-dasar-metode-flipped-classroom

Critical thinking atau yang dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan berpikir kritis adalah salah satu dari 4 kompetensi abad 21 yang harus dimiliki oleh peserta didik di era digital yang semakin kompleks ini. Berpikir kritis dapat diartikan sebagai suatu proses berpikir reflektif yang berfokus pada memutuskan apa yang diyakini atau dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa critical thingking skill adalah kemampuan untuk berpikir secara logis, reflektif, sistematis dan produktif yang diaplikasikan dalam membuat pertimbangan dan mengambil keputusan yang baik (Linda & Lestari, 2019).

Sementara pendapat lain menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan proses mencari, menganalisis, mensintesis dan konseptualisasi informasi untuk mengembangkan pemikiran seseorang, menambah kreativitas dan mengambil resiko (Arif et al., 2019). Berpikir kritis mencakup keterampilan komponen menganalisis argumen, membuat kesimpulan menggunakan penalaran induktif atau deduktif, menilai atau mengevaluasi, dan membuat keputusan atau memecahkan masalah (Nurhayati et al., 2017). Dengan demikian berpikir kritis merupakan suatu proses kognitif  yang membantu pengaturan diri dan juga terkait dengan faktor motivasi seperti self-efficacy, hasil harapan, nilai tugas, dan orientasi tujuan.

Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan sesesorang untuk berpikir efektif yang mendukung seseorang untuk menilai, serta mengambil kesimpulan untuk memutuskan tentang apa yang ia pahami dan ia lakukan (Atris Yuliarti Mulyani, 2022).  Secara rinci kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan kognitif yang meliputi: (1) Kemampuan untuk mengidentifikasi, merumuskan dan menyelesaikan permasalahan; Kemampuan untuk mengenali kekeliruan dan menggunakan penalaran induktif; (2) Kemampuan untuk menarik kesimpulan yang logis dari keterangan yang diperoleh berdasarkan sumber tertulis, lisan, diagram, atau grafik dan mempertanggungjawabkan kesimpulan yang telah diambil; (3) Kemampuan untuk menginterpretasi, mengembangkan, dan menggunakan ide; dan (4) Kemampuan untuk membedakan antara fakta dengan pendapat (Benyamin et al., 2021). Kemampuan berpikir kritis biasanya diawali dengan kemampuan seseorang untuk menganalisis berbagai fenomena yang ada disekitarnya dan mencari solusi dari permasalahan yang ada serta tidak mudah terpengaruh terhadap pendapat orang lain tanpa mengetahui kebenaran yang sebenarnya.

Aspek kemampuan berpikir kritis meliputi interpretasi, analisis, evaluasi, inferensi dan eksplanasi. Berdasarkan lima aspek tersebut,  Cahyono mengemukakan bahwa indikator dari kemampuan berpikir kritis adalah sebagai berikut: (1) Mengidentifikasikan fakta-fakta yang diberikan dengan jelas dan logis; (2) Merumuskan pokok-pokok permasalahan dengan cermat; (3) Menerapkan metode yang pernah dipelajari dengan akurat; (4) Mengungkapkan data atau teorema atau definisi dalam menyelesaikan suatu masalah dengan tepat; (5) Memutuskan dan melaksanakan keputusan dengan baik dan benar; (6) Mengevaluasi argumen yang relevan dalam penyelesaian suatu masalah dengan teliti, dan  (7) Membedakan antara kesimpulan yang didasarkan pada logika yang valid dan tidak valid (Roudlo, 2020).

Rendahnya kemampuan berpiir kritis peserta didik merupakan salah satu permasalahan pendidikan yang terjadi di Indonesia dalam bidang pendidikan. Hasil PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2018 menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis anak Indonesia tergolong sangat rendah. Indonesia menduduki peringkat ke-74 dari 79 negara peserta. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dirilis pada tanggal 4 Desember 2019 menyebutkan bahwa hasil studi PISA 2018 yang dirilis oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) selaku penyelenggara PISA menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, meraih skor rata-rata yakni 371, dengan rata-rata skor OECD yakni 487. Kemudian untuk skor rata-rata matematika mencapai 379 dengan skor rata-rata OECD 487. Selanjutnya untuk sains, skor rata-rata siswa Indonesia mencapai 389 dengan skor rata-rata OECD yakni 489 (OECD, 2019). Soal Pisa dapat dijadikan acuan dalam menentukan kemampuan berpikir kritis peserta didik karena soal-soal yang diujikan membutuhkan kemampuan berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking skills (hots) yang meliputi kemampuan menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi suatu permasalahan serta mengkreasi. Melalui kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik mampu berpikir kreatif, berpikir kritis, berargumen, memecahkan masalah dan mengambil keputusan.

Banyak faktor yang menyebabkan masih rendahnya kemampuan peserta didik di Indonesia, antara lain: (1) Peserta didik cenderung menghafal materi dan rumus daripada memahami konsep (Arif et al., 2019); (2) Peserta didik belum terlatih untuk menganalisis suatu permasalahan serta fakta yang ditemukan sehingga akibatnya produktivitas yang diperoleh peserta didik di sekolah tersebut sangat sedikit (Suriati et al., 2021) dan (3) Kuatnya pandangan (yang salah) bahwa kemampuan berpikir siswa secara otomatis akan berkembang setelah siswa menguasai semua materi pelajaran, dan pendidikan berpikir kritis baru dapat diajarkan pada pendidikan tingkat lanjut (Susilowati et al., 2017).  

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat diidentifikasikan bahwa beberapa penyebab rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta didik adalah :

1.  Pembelajaran yang terlalu berfokus pada menguasaan fakta, konsep dan informasi tertentu yang dapat menghambat peserta didik dalam mengembangkan pemikiran kritis dan mendalam.

2.  Dominasi metode pembelajaran tradisional berupa pemberian informasi satu arah yang mnyebabkan peserta didik hanya menjadi pendengar pasif sehingga tidak memiliki kesempatan untuk berpikir secara kritis, analitis dan mengajukan pertanyaan secara mendalam.

3.  Kurangnya pemahaman pendidik dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Hal ini salah satunya karena kurangnya pelatihan tentang strategi dan teknik mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.

4.  Budaya yang terlalu menghargai ketaatan dan keseragaman pendapat sehingga menghambat perkembangan keampuan berpikir kritis peserta didik. Jika peserta didik tidak didorong untuk mempertanyakan, menganalisis dan mengemukakan pendapat maka mereka cenderung pasif dan tidak kritis dalam pemikirannya.

5.  Kurangnya akses ke sumber daya pendidikan yang memadai. Tidak semua sekolah di Indonesia memiliki akses yang memadai terhadap teknologi, bahan bacaan dan sumber daya pendidikan lainnya yang dapat memfasilitasi pengembangan kemampuan berpikir kritis. Kurangnya akses ini dapat membatasi kesempatan peserta didik dalam mengembangkan pemikiran kritis melalui sumber daya yang beragam dan interaktif.

Kemampuan berpikir kritis yang rendah pada peserta didik  Indonesia menjadi  salah satu permasalahan harus segera diatasi. Hal ini karena kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat penting dimiliki peserta didik dalam menghadapi pesatnya perubahan  di era global, baik saat ini maupun kelak saat mereka dewasa. Kemampuan berpikir kritis dapat membantu peserta didik untuk beradaptasi pada perkembangan jaman di era digital yang sangat pesat ini. Dengan banyaknya inovasi dan informasi baru, peserta didik dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir kritis yang tinggi. Kemampuan berpikir kritis juga akan berdampak pada perkembangan kognitif dan kemampuan adaptasi peserta didik dalam menyelesaikan suatu masalah.

Selain itu, alasan lain pentingnya kemampuan berpikir kritis bagi peserta didik adalah terkait dengan tuntunan dunia kerja saat ini yang sangat menghargai individu yang memiliki kemampuan berpikir kritis. Banyak pekerjaan membutuhkan kemempuan berpikir kritis untuk memecahkan masalah-masalah kompleks, beradaptasi dengan perubahan yang sangat cepat dan mengambil keputusan yang cepat. Dalam konteks ini peserta didik yang mampu berpikir kritis memiliki keunggulan kompetitif dalam menghadapi tantangan yang dihadapi di tempat kerja.

Mengingat pentingnya kemampuan berpikir kritis bagi peserta didik,dalam era digital abad 21 maka pemerintah, lembaga pendidikan, pendidik dan orang tua harus bahu membahu dalam upaya peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Salah satunya upaya yang bisa dilakukan oleh pendidik adalah melalui penerapan strategi, pendekatan, model, metode dan media pembelajaran yang tepat. Pendidik dapat mengembangkan model  pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik (student centered learning). Menurut Arif Mu'amar Wahid dalam artikel LP3M UAP pada tanggal 5 Januari 2022 disebutkan bahwa student centered learning yang dapat dignakan pendidik untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik antara lain  Small Group Discussion ,   Simulation and Demontration,   Case Study,   Discovery learning (DL),   Self Directed Learning (SDL),   Cooperative Learning (CL),   Collaborative Learning (CbL),   Contextual Instruction (CI),   Project Based Learning (PjBL),   Problem Based Learning dan  Inquiry.

Selain model-model pembelajaran diatas pendidik juga dapat mengembangkan model Flipped Classroom, Blanded Learning, Games Based Learning dan SOLE (Self Organized Learning Environments). Model pembelajaran ini menggabungkan pembelajaran langsung (syncronus) dengan pembelajaran tidak langsung (asyncronus). Tiga model ini semakin banyak dikenal dan  digunakan oleh pendidik pada masa pandemi covid-19 sejak awal tahun 2020 yang lalu.

Dari beberapa model pembelajaran diatas salah satu model yang efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik adalah model flipped classroom. Flipped classroom merupakan bentuk pebelajaran campuran yang menggabungkan pembelajaran sinkron (syncronus) dengan pembelajaran asinkron (asyncronus). Pembelajaran sinkron terjadi secara real time di kelas baik tatap muka maupun tatap daring. Peserta didik berinteraksi dengan seorang pengajar dan teman sekelasnya serta menerima umpan balik pada saat yang sama. Sedangkan pembelajaran asinkron adalah pembelajaran sifatnya lebih mandiri, yaitu peserta didik belajar sendiri di rumah. Konten pembelajaran diakses melalui beberapa bentuk media atau platform digital. Pembelajaran asinkron bersifat lebih fleksibel karena peserta didik dapat memilih kapan mereka belajar dan juga mereka dapat mengajukan pertanyaan yang akan disampaikan saat pembelajaran sinkron.

Model Flipped classroom adalah pendekatan pedagogis inovatif yang berfokus pada pengajaran yang berpusat pada peserta didik, dengan membalik sistem pembelajaran kelas tradisional yang selama ini dilakukan oleh pengajar (Tresnawati et al., 2022). Model Flipped Classroom bisa juga diartikan bahwa peserta didik mempelajari materi terlebih dahulu (beberapa hari sebelum pembelajaran tatap muka di kelas), melalui beragam media yang disediakan oleh pendidik. aktivitas pembelajaran yang biasanya diselesaikan di kelas sekarang dapat diselesaikan di rumah dan aktivitas pembelajaran yang biasanya dikerjakan di rumah sekarang dapat diselesaikan di kelas (Chabibie, 2020). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Flipped Classroom adalah model pembelajaran terbalik dimana peserta didik mempelajari materi terlebih dahulu sebelum melakukan aktivitas pembelajaran tatap muka di kelas sesuai petunjuk pendidik. Saat pembelajaran tatap muka di kelas berlangsung peserta didik melakukan aktivitas belajar berupa diskusi atau mendapatkan umpan balik dari pendidik.

          Secara garis besar konsep pelaksanaan model pembelajaran flipped classroom dibagi menjadi tiga tahap kegiatan yaitu: (1) Sebelum pembelajaran atau sebelum kelas dimulai (pre-class); (2) Saat pembelajaran atau saat kelas dimulai (in-class) dan (3) Setelah pembelajaran atau setelah kelas berakhir (out of class). Ketiga kegiatan tersebut dapat diamati pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Tahap Pelaksanaan Flipped Classroom

          Model flipped classroom menjadi salah satu upaya pendidik untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik di era pendidikan abad 21. Hal ini karena di rumah peserta didik mengerjakan apa yang dilakukan di kelas yaitu belajar dengan memahami materi yang telah diberikan oleh guru dan di kelas peserta didik mengerjakan apa yang biasanya dikerjakan siswa di rumah yaitu mengerjakan soal dan menyelesaikan masalah. Flipped classroom juga mengurangi kapasitas kegiatanpembelajaran di dalam kelas dengan memaksimalkan interaksi satu sama lain yaitu guru, siswa dan lingkungannya. Model pembelajaran flipped classroom ini memanfaatkan media pembelajaran yang dapat diakses secara online oleh siswa yang mampu mendukung materi pembelajarannya (Maolidah et al., 2017). Dengan model flipped classroom peserta didik terlatih untuk memiliki opini positif, terbuka pada pengetahuan baru, lebih aktif, lebih mandiri dan kreatif serta lebih kritis menyikapi permasalahan kasus tertentu (Tresnawati et al., 2022). Selain itu, model flipped classroom memperkuat keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran dan meningkatkan pemahaman serta keterampilan mereka dalam menerapkan kosnep yang dipelajari.

          Berdasarkan uraian diatas maka beberapa alasan model flipped classroom meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik adalah :

1.  Fokus pada pemahahaman konsep.

Dalam modell flipped classroom peserta didik terlebih dahulu ke materi pembelajaran sebelum pertemuan de kelas. Dengan mempelajari materi secara mandiri, peserta didik dapat membangun pemahaman dasar tentang konsep tersebut sebelum berinteraksi dengan pendidik dan teman sekelas. Hal ini memungkinkan peserta didik untuk lebih fokus pada pemahaman konsep dan mempersiapkan pertanyaan atau masalah yang relevan untuk bahan diskusi di kelas. Dengan pemahaman yang lebih kuat maka peserta didik akan terlibat secara aktif dalam diskusi saat pembelajaran di kelas.

2.  Diskusi dan kolaborasi.

Dalam pertemuan kelas dengan model flipped classroom waktu yang biasanya dihabiskan untuk memberikan materi pembelajaran dialihkan untuk diskusi, kolaborasi dan penerapan konsep yang dipelajari. Peserta didik dapat berpartisipasi aktif dalam diskusi kelompok atau diskusi kelas yang mendorong pemikiran kritis, analisis dan evaluasi. Dengan berkolaborasi dengan teman sekelas, peserta didik dapat melibatkan perspektif yang berbeda dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis dalam merespon pendapat atau argument peserta didik lainnya.

3.  Penerapan konsep dalam konteks nyata.

Dalam model flipped classroom, setelah peserta didik memperoleh pemahaman konsep melalui materi yang dipelajari secara mandiri, mereka dapat diberikan tugas atau aktivitas yang melibatkan penerapan konsep tersebut dalam konteks nyata. Misalnya diberi pertanyaan atau masalah yang menguji pemahaman mereka dan mendorong mereka untuk berpikir kritis dalam mencari solusi. Dengan menerapkan konsep dalam konteks yang relevan peserta didik dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam menganalisis, mengevaluasi dan memecahkan masalah.

4.  Umpan balik yang terarah.

Dalam model flipped classroom pendidik dapat memberikan umpan balik yang tebih terarah dan mendalam kepada peserta didik. Dalam pertemuan di kelas peserta didik dapat secara langsung memberikan umpan balik terhadap pemahaman peserta didik, kesalahan yang dibuat, hal-hal baik yang sudah dilakukan serta proses berpikir mereka. Hal ini memungkinkan peserta didik untuk memperbaiki pemahaman, memperdalam keterampilan berpikir kritis mereka serta membangun kesadaran metakognitif terhadap cara berpikir mereka.

Referensi:

Arif, D. S. F., Zaenuri, & Cahyono, A. N. (2019). Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Pada Model Problem Based Learning ( PBL ) Berbantu Media Pembelajaran Interaktif dan Google Classroom. Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana UNNES, 2018, 323--328.

Atris Yuliarti Mulyani. (2022). Pengembangan Critical Thinking Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia. DIAJAR: Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran, 1(1), 100--105. https://doi.org/10.54259/diajar.v1i1.226

Benyamin, B., Qohar, A., & Sulandra, I. M. (2021). Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA Kelas X Dalam Memecahkan Masalah SPLTV. Jurnal Cendekia: Jurnal Pendidikan Matematika, 5(2), 909--922. https://doi.org/10.31004/cendekia.v5i2.574

Chabibie, M. H. (2020). Panduan penerapan model pembelajaran inovatif dalam bdr yang memanfaatkan rumah belajar. Rumah Belajar Kemendibud, 1--63.

Linda, Z., & Lestari, I. (2019). Berpikir Kritis Dalam Konteks Pembelajaran. In Erzatama Karya Abadi (Issue August).

Maolidah, I. S., Ruhimat, T., & Dewi, L. (2017). Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran Flipped Classroom Pada peningkatan Kemampuan Berfikir Krit. Edutcehnologia, 3(2), 160--170.

Nurhayati, R., Waluya, S. B., & Asih, T. S. N. (2017). Model Pembelajaran Inkuiri Blended Learning Strategi Flipped Classroom dengan Media Interaktif untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis. Seminar Nasionar Pascasarjana UNNES, 4.

OECD. (2019). Pendidikan di Indonesia belajar dari hasil PISA 2018. Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang KEMENDIKBUD, 021, 1--206. http://repositori.kemdikbud.go.id/id/eprint/16742

Roudlo, M. (2020). Kemampuan Berpikir Kritis dan Kemdirian Belajar Melalui Model Pembelajaran Flipped Classroom dengan Pendekatan STEM. Seminar Nasional Pascasarjana UNNES, 20, 292--297.

Suriati, A., Sundaygara, C., & Kurniawati, M. (2021). Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Pada Siswa Kelas X Sma Islam Kepanjen. Rainstek Jurnal Terapan Sains Dan Teknologi, 3(3), 176--185. https://doi.org/10.21067/jtst.v3i3.6053

Susilowati, Sajidan, & Ramli, M. (2017). Analisis Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Madrasah Aliyah Negeri di Kabupaten Magetan. Prosiding SNPS (Seminar Nasional Pendidikan Sains), 21(2000), 223--231.

Tresnawati, C., Aryanti, F., & Suhaerah, L. (2022). Flipped Learning Dalam Meningkatkan Berikir Kritis Mahasiswa Pada Materi Fotosintesis Dimasa Pandemik Covid-19. BIOSFER: Jurnal Biologi Dan Pendidikan Biologi, 7(7 No 1). https://doi.org/10.23969/biosfer.v7i1.5752

Wahid, Arif Mua'amar. 2022. Macam-macam Metode Pembelajaran SCL. LP3M UAP (https://lpm.amikompurwokerto.ac.id/macam-macam-metode-pembelajaran-scl). Diunduh tanggal 4 Juni 2023.

Wulandari, Mega. (2020). Konsep Dasar Metode Flipped Classroom. Universitas Sanata Dharma.(https://www.usd.ac.id/pusat/ppip/2020/05/04/konsep-dasar-metode-flipped-classroom/. Diunduh tanggal 1 Juli 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun