Menyimpulkan dari pengalaman saya menonton film "LIMA" (Djakarta Theater, 1/5/2018) yang dibuat oleh kolaborasi 5 orang sutradara berbakat tanah air, seperti: Shalahudin Siregar, Tika Pramesti, Lola Amaria, Harvan Agustriansyah, dan Adriyanto Dewo. Film yang telah menambah wawasan saya tentang arti menjalin dan menyebarkan cinta kasih di dalam keluarga, kerabat, tetangga, teman, dan bahkan diri sendiri. Film ini pula yang memberi ruang pikiran menjadi segar kembali di tengah kondisi yang terjadi di masyarakat.
Alkisah tentang Ibu Maryam yang memiliki tiga orang anak yang berbeda keyakinan, ada yang muslim dan kristiani. Ibu Maryam sendiri yang pernah menjadi pemeluk Kristen, kemudian sepeninggal sang suami yang beragama Kristen, kembali lagi menjadi pemeluk Islam hingga akhir hayatnya.
Keluarga ini telah memberikan kesan harmonis, humanis, dan mengedepankan toleransi meskipun di dalam lingkungan keluarga sendiri.
Diketahui Ibu Maryam pernah memeluk Kristen, namun sudah memeluk Islam kembali, ia tetap mempersilakan bapak Pendeta untuk mendoakannya saat ia dirawat di rumah sakit.
Apa mau dikata, Ibu Maryam wafat tak lama setelah pulang dari rumah sakit. Sebuah pergulatan terjadi dalam diri anak-anak dan kerabatnya saat Ibu Maryam menjemput ajal.
Anak tertua, Fara, beragama muslim, meyakinkan adik-adiknya Aryo dan Adi bahwa ibunda mereka akan dimakamkan sesuai dengan ajaran Islam, berbeda dengan mendiang ayah mereka yang menggunakan tata cara kristiani.
Fara mencoba memberi pemahaman kepada mereka dengan cara yang bijak, bertanggung jawab, serta sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Ibu Maryam yang saat wafat masih memakai cat kuku dan gigi palsu, harus dibersihkan dan dilepaskan karena seorang jenazah muslim harus bersih dari apapun.
Jenazah harus suci dengan cara dimandikan dan diwudhukan sebagaimana umat muslim akan melakukan shalat, sama saat mereka terlahir ke dunia. Aryo dan Adi paham dengan baik apa yang dijelaskan oleh Fara, dengan alasan tersebut menjadi logis, daripada harus dijelaskan dengan emosi dan kaku.
Dalam situasi tersebut, menjunjung toleransi dan musyawarah adalah jalan terbaik dalam memecahkan masalah, tidak peduli meskipun mereka saudara kandung tapi berbeda keyakinan, namun cara orangtua mereka mendidik terlihat dari sikap mereka dalam menyelesaikan masalah yang krusial.
Yang lebih muda mendengarkan baik-baik alasan dan penjelasan dari yang lebih tua, hingga perdebatan kecil saat jenazah Ibu Maryam dimasukkan ke dalam liang lahat, apakah sang anak yang berbeda keyakinan tidak dapat turun ke liang lahat untuk ikut menguburkan?
Di saat seperti ini, sang kakak memutuskan untuk membolehkan Aryo masuk ke dalam liang dengan alasan bahwa Bi Ijah (pengasuh dan asisten rumah tangga mereka) mengatakan dengan yakin bahwa tidak pernah mendengar tentang larangan bagi seorang anak yang berbeda keyakinan untuk ikut menurunkan jenazah orangtua mereka ke liang lahat.
Di akhir prosesi pemakaman setelah doa, tibalah bagi Fara mempersilakan keluarga mendiang ayahnya untuk ikut memberi penghiburan sebagai wujud penghormatan kepada almarhumah ibundanya, diyakini bahwa Fara tidak melihat adanya tali silaturahmi yang terputus antara dia dan saudara-saudaranya dengan keluarga mendiang ayahnya. Cinta, kasih, dan sayang selalu menyelimuti kehangatan keluarga mereka dengan sangat lembut.
Pelajaran lainnya, yaitu ketika Fara yang sebagai pelatih olahraga renang dihadapkan pada keputusan yang sulit oleh atasannya yang juga merupakan pemilik sebuah Club olahraga bergengsi.
Fara diminta untuk memilih satu anak didiknya yang "pribumi" untuk diikutsertakan dalam Asian Games, dimana jika merunut pada hasil kualifikasi keunggulan Kevin yang bermata sipit lebih unggul dari Andre yang berkulit sawo matang, secara tehnik, skor, disiplin, dan lain sebagainya.
Oleh karena Fara tidak ingin mengorbankan idealismenya terjual dengan murah, ia lebih memilih mengundurkan diri daripada bekerja dibawah tekanan seorang yang oportunis, korup, dan rasis.
Fara menanggapi atasannya bahwa di Indonesia tidak ada pribumi asli, semua orang adalah keturunan. Lantas, apakah entitas orang Indonesia hanya berdasarkan pribumi atau non-pribumi? Atau ada hal lain yang lebih absolut untuk mengatakan bahwa kamu lebih nasionalis, lebih Indonesia, lebih pribumi, dan seterusnya?
Fara ingin menegaskan bahwa Indonesia adalah satu, tidak peduli apa warna kulitnya, bahasa, suku, agama, atau bahkan pandangan politiknya. Prestasi adalah prestasi, bukan uang ataupun kekuasaan.
Kebanggaan menjadi seorang Indonesia bukan diukur dari seberapa banyak proyek masuk ke dalam kantong, namun seberapa gigih kita hidup dengan memegang tegung nilai-nilai Pancasila dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap orang Indonesia diharapkan mampu untuk merendahkan hatinya dihadapan Tuhan, agar ia bisa berkaca bahwa setiap perbedaan merupakan keniscayaan yang mustahil dihindari. Penayangan film "LIMA" merupakan hanya gambaran kecil dari berbagai macam fenomena yang terjadi di Indonesia.
Seyogyanya para sineas juga lebih peduli pada masa depan Indonesia dan generasi-generasi selanjutnya dengan memberikan tayangan-tayangan dengan cerita yang mencerdaskan, mencerahkan, dan menceritakan kenyataan-kenyataan lain tentang keberagaman yang bisa mempersatukan rakyat dari Sabang hingga Merauke.
Usaha-usaha untuk menjadi yang terdepan dalam merawat kebhinekaan, menanamkan kelima nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dimulai dari keluarga, lingkungan, sekolah, perguruan tinggi, komunitas, dan seterusnya, sehingga nilai-nilai ini terus tersebar dan terjaga dalam aktualisasi nyata yang indah dan harmonis.
Film "LIMA" menjadi penghilang dahaga bagi para pecinta kedamaian abadi dan penjunjung toleransi, khususnya di tanah air Indonesia. Film ini layak diikuti oleh para sineas dan pemangku kebijakan untuk dapat menghadirkan lebih banyak lagi pelajaran, pengalaman, serta hikmah yang dikemas dengan sangat apik, penuh dedikasi dan tanggung jawab, dan tidak memikirkan materi semata.
Film ini jelas akan mencerahkan pikiran orang lain dan lebih berharga daripada apapun yang ditawarkan oleh kenikmatan film-film yang hanya kamuflase, kosong, kering, dan terasa hampa karena pulang tidak serta membawa pikiran yang jernih dan hati yang lapang.
Saya akan sangat menantikan film-film yang serupa namun tetap memiliki ajaran serta nilai yang luar biasa dampaknya bagi kehidupan seorang individu, kelompok, maupun golongan. Saya berdoa semoga banyak sineas-sineas berbakat yang begitu peduli pada kerukunan serta persatuan bangsa Indonesia, baik dalam skala kecil maupun besar.
Pancasila merupakan representasi dari jiwa rakyat Indonesia secara menyeluruh, memiliki Pancasila seakan kita memiliki separuh dunia. Pancasila tidak akan pernah goyah, ia akan semakin kuat tertanam di dalam jiwa-jiwa nasionalis dan ksatria demi menjaga keutuhan NKRI.
Semoga perfilman Indonesia terus maju dan berjaya, menjadi pendidikan alternatif dan layak diperhitungkan.
Sukses selalu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H