Mohon tunggu...
Nurhasanah Munir
Nurhasanah Munir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna

I'm a dreamer and wisdom seeker// Ailurophile// write to contemplate

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perempuan di Antara Komoditas dan Komodifikasi

13 Mei 2017   20:23 Diperbarui: 15 Juni 2017   11:55 1560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disadari ataupun tidak, kaum perempuan menjadi sasaran empuk bagi proses komodifikasi. Jika dengan tega kita dapat menyebutnya bahwa kaum perempuan dianggap sebagai barang atau sesautu yang dapat menghasilkan nilai jual tinggi setelah melalui komodifikasi. Jika saya perhatikan, hal ini tidak hanya berlaku pada dunia materialistis, namun sudah merembet pada dunia yang bernilai syariah juga.

Perhatikan saja syarat-syarat untuk menjadi Putri Muslimah, sebuah ajang pencarian bakat melalui keahlian dalam berbagai macam bidang dan kecerdasan, itu katanya. Namun diantara syarat-syarat tersebut tinggi dan berat badan juga ditentukan, rupa wajah, bentuk gigi dan senyuman juga menjadi penilaian, bukankah ini termasuk sebagai bentuk pelanggaran HAM juga? Bagaimana dengan para perempuan muda yang hanya memiliki bakat namun tidak memiliki kriteria apa yang sudah ditetapkan panitia dan penilaian juri? – bagi saya pribadi sebagai muslimah, ajang tersebut tidak ada bedanya dengan ajang puteri-puterian yang lain atau ratu sejagat sekalipun. Saya tidak temukan wujud keadilan didalamnya.

Pastilah pemilik modal berselimut momen sangat mengetahui apa saja yang bisa laku di pasaran, dengan membidik para perempuan muda dari barat hingga timur Indonesia, dan dengan embel-embel syariah, muslimah, dan masih banyak lagi. Menurut hemat saya, mengapa kita selalu berpikir untuk menyalin apa yang sudah dibuat orang lain, sedangkan kita masih dapat melakukan hal yang lebih bernilai tentunya dengan meberikan warna berbeda, misalnya saja dengan sebuah kompetisi yang melibatkan aspek intelektualitas dan bakat, tentunya diukur pula denga nilai-nilai yang bersifat akademis.

Ketika sebuah aktivitas dibuat sedemikian rupa dan kemudian menjadi konsumsi industri media, atau industri kreatif istilah sekarang, tidak menjamin dapat memberikan nuansa yang lebih bernilai spiritual dan agamis, malah terlihat sekali bukan pada tataran “fastabiqul khayrat” atau berlomba-lomba dalam kebaikan, tapi berlomba-lomba dalam menciptakan pasar, kesannya seperti “ini dia yang lebih islami”- tapi tidak demikian bagi saya.

Dalam sistem kapitalisme, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Gerakkan sedikit saja potensi kreatifitas yang Tuhan berikan kepada kita, niscaya akan ada jalan untuk kita terlepas dari pembodohan massala yang dilakukan oleh para kapitalis. Untuk para perempuan diluar sana, ciptakan sendiri impian dan cita-citamu dengan cara yang lebih memuliakanmu sebagai manusia, bukan sebagai budaknya manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun