Mohon tunggu...
Nurhasanah Munir
Nurhasanah Munir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna

I'm a dreamer and wisdom seeker// Ailurophile// write to contemplate

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

#AksiBelaUlama112, Kenali Siapa yang Kau Bela!

11 Februari 2017   15:14 Diperbarui: 11 Februari 2017   16:01 4129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya merasa beberapa tahun belakangan ini malas mendengarkan ceramah dari muballigh-muballigah yang berceramah dibalik mimbar atau melalui siaran TV. Alasannya; kebanyakan dari mereka menggunakan kata-kata yang keras, kasar, cenderung menjelek-jelekkan, dan berlebihan dalam penampilan.

Saya pikir sudah tidak cocok pikiran dan hati ini untuk menerima kata-kata yang terlontar dari mereka, entah mengapa!? – saya cenderung lebih memilih mereka yang menyejukkan hati, tidak perlu berteriak dengan suara lantang untuk memikat audiens, tapi sesuatu yang dapat mengena hati, sehingga otak bekerja untuk merenung.

Keheranan saya juga bertambah saat menyaksikan muballigah (penceramah perempuan) yang berpenampilan berlebihan, seperti pakaian yang bercorak “ramai” dan wajah menor, aduh.. apa tuntutan program TV harus sedemikian rupa? Belum lagi ditambah dengan canda-tawa yang menurut saya berlebihan. Ah, sudahlah!

Sebagai seorang murid yang muslim dan mukmin tentu saja kita akan merasa sakit hati bila guru kita diperlakukan secara zalim oleh sesorang atau kelompok lain. Kadang kita beranggapan bahwa ucapan maaf saja tidak cukup, mereka “harus diberi pelajaran” juga! Wah, bukankah itu termasuk balas dendam? sedangkan guru kita sudah memaafkan, dan Rasulullah tidak membenarkan balasa dendam.

Jadilah manusia yang pemaaf, gemar memaklumi mereka yang memiliki kekurangan dalam pengetahuan agama karena tidak mendapatkan pengetahuan yang sama dengan kita. Yang saya yakini pun demikian, saya cenderung untuk memahami mereka yang tidak paham dengan apa yang saya sampaikan, dengan begitu kita terbebas dari persinggunggan dan kesalahpahaman.

Indonesia akan damai dengan rakyat yang ingin berusaha banyak mendengar daripada banyak bicara. Banyak mendengar lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan banyak bicara. Pepatah Arab mengatakan bahwa jatuhnya seorang manusia terletak pada lisan yang “terpeleset”. Itu artinya, jatuhnya manusia terletak pada lisan yang tidak terjaga dangan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun