Mohon tunggu...
Nurhasanah Munir
Nurhasanah Munir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna

I'm a dreamer and wisdom seeker// Ailurophile// write to contemplate

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

#AksiBelaUlama112, Kenali Siapa yang Kau Bela!

11 Februari 2017   15:14 Diperbarui: 11 Februari 2017   16:01 4129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo: tribunnews.com

Secara pribadi, saya mendukung aksi umat Muslim yang menamakan gerakannya sebagai Aksi Bela Ulama. Namun, yang saya dukung tentu sebuah aksi damai, khidmat, dan tidak ada unsur mencampuradukkan dengan tindakan lain apalagi dengan politik, kriminal, hingga mengakibatkan korban jiwa.

Ajaran agama dan para warotsatul anbiya’ (pewaris nabi, baca: ulama) manapun sejatinya tidak mengajarkan tindakan tersebut. Sebagaimana yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW melalui tingkah laku dan tutur kata yang lemah lembut. Beliau dikatakan sebagai Al-Qur’an yang berjalan karena kemuliaannya sebagai manusia.

Iya, beliau memang seorang kekasih Allah dan juga nabi, dan kita adalah manusia biasa, awam pula! Maka seyogyanya, kita tidak bertindak melampaui batas, bahkan untuk sekedar bersuara melebihi suara Rasulullah. Suara yang seperti itu dikatakan seperti suara himar (keledai).

Sebagai warga negara Indonesia asli, saya kira wajar jika diri ini juga memiliki harapan-harapan untuk bangsa dan juga generasi yang akan datang. Setidaknya, tidak ikut-ikutan berbuat sesuatu yang bisa memicu kerusuhan dan merusak kedamaian bangsa.

Lebih baik berdoa yang baik-baik daripada menyebarkan kebencian. Lebih baik belajar daripada hanya sekedar ikut menggelar aksi tapi tidak tahu esensi. Lebih baik menulis daripada tak tahu harus berbuat apa. Ya begitulah, masih ada banyak kebaikan yang jika dicari pasti kita akan bisa melakukannya daripada hanya sekedar ikut-ikutan.

Berdoa bisa dimana saja, akan tetapi jika niat berdoa ternoda oleh unsur-unsur yang BUKAN karena Allah ta’ala, maka sudah jelas kita melakukannya bukan karena-Nya, tapi karena si X atau Si Z. Jika ada sesuatu yang memang layak diperjuangkan, maka sebaik-baiknya senjata kaum mukmin adalah doa, bukan begitu?

Doa yang bagaimana? – doa yang tulus dari hati untuk mengharap keridhoan-Nya. Bukan doa yang ada iming-imingnya. Akan lebih baik dilakukan secara berjama’ah! – memang betul itu – Yadullahi fil-jama’ah– Tangan Allah ada bersama mereka yang berkumpul dalam kebaikan.

Yang perlu diingat disini adalah jika yang dilakukan selain berdoa merupakan kegiatan yang dapat mengganggu ketertiban umum atau merusak suasana damai yang sedang dirawat, maka tentu hal ini tidak dibenarkan.

Berdoalah sebanyak-banyaknya dan sekhusyu-khusyunya, tidak ada yang melarang! – namun jika melakukannya disertai oleh kepentingan-kepentingan lain maka Allah bersama para malaikat-Nya, hingga aparat yang berwenang pun tak segan untuk menertibkan.

Setiap muslim dan mukmin berkewajiban untuk membela ulama dan guru-gurunya. Seperti yang pernah kita dengar atau kita saksikan di televisi saat seorang guru dilaporkan ke polisi lantaran memberikan sanksi kepada siswanya yang melakukan kesalahn di kelas, padahal yang dilakukan guru itu diperbolehkan.

Begitu pula ulama yang menjadi guru bagi banyak orang yang belajar ilmu-ilmu agama kepadanya, baik langsung ataupun tidak langsung. Namun jika sang ulama sudah memaafkan orang yang meminta maaf kepadanya atas segala kesalahan yang diperbuat, apakah si murid-murid tetap melaksanakan unjuk rasa? – tentu sebaiknya tidak, karena itu berlebihan!

Saya merasa beberapa tahun belakangan ini malas mendengarkan ceramah dari muballigh-muballigah yang berceramah dibalik mimbar atau melalui siaran TV. Alasannya; kebanyakan dari mereka menggunakan kata-kata yang keras, kasar, cenderung menjelek-jelekkan, dan berlebihan dalam penampilan.

Saya pikir sudah tidak cocok pikiran dan hati ini untuk menerima kata-kata yang terlontar dari mereka, entah mengapa!? – saya cenderung lebih memilih mereka yang menyejukkan hati, tidak perlu berteriak dengan suara lantang untuk memikat audiens, tapi sesuatu yang dapat mengena hati, sehingga otak bekerja untuk merenung.

Keheranan saya juga bertambah saat menyaksikan muballigah (penceramah perempuan) yang berpenampilan berlebihan, seperti pakaian yang bercorak “ramai” dan wajah menor, aduh.. apa tuntutan program TV harus sedemikian rupa? Belum lagi ditambah dengan canda-tawa yang menurut saya berlebihan. Ah, sudahlah!

Sebagai seorang murid yang muslim dan mukmin tentu saja kita akan merasa sakit hati bila guru kita diperlakukan secara zalim oleh sesorang atau kelompok lain. Kadang kita beranggapan bahwa ucapan maaf saja tidak cukup, mereka “harus diberi pelajaran” juga! Wah, bukankah itu termasuk balas dendam? sedangkan guru kita sudah memaafkan, dan Rasulullah tidak membenarkan balasa dendam.

Jadilah manusia yang pemaaf, gemar memaklumi mereka yang memiliki kekurangan dalam pengetahuan agama karena tidak mendapatkan pengetahuan yang sama dengan kita. Yang saya yakini pun demikian, saya cenderung untuk memahami mereka yang tidak paham dengan apa yang saya sampaikan, dengan begitu kita terbebas dari persinggunggan dan kesalahpahaman.

Indonesia akan damai dengan rakyat yang ingin berusaha banyak mendengar daripada banyak bicara. Banyak mendengar lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan banyak bicara. Pepatah Arab mengatakan bahwa jatuhnya seorang manusia terletak pada lisan yang “terpeleset”. Itu artinya, jatuhnya manusia terletak pada lisan yang tidak terjaga dangan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun