Ya, kota Ponorogo berbatasan dengan Pacitan dan Trenggalek. Untuk berkunjung ke dua kota tersebut kita perlu melewati pegunungan terlbih dahulu.
Ponorogo, Aku Kembali
Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, bahwa Ponorogo menjadi rumah kedua. 8 tahun bukan waktu yang singkat untuk dapat menggali kenangan-kenangan manis nan indah yang pernah saya alami di kota ini.
Hal pertama yang saya lakukan adalah mengunjungi Kyai dan Bu Nyai. Setelah membayar ongkos, saya masuk melalui pintu samping rumah pak Kyai. Salah seorang sohib tercengang melihat kedatangan saya yang tiba-tiba.
“Ibu... lihat siapa yang datang, ada tamu dari jauh..”, begitu kalimat yang pertama saya dengar. Ibu (panggilan saya kepada Bu Nyai) takjub melihat saya bersimpuh mencium tangannya serta memeluk erat sebagai simbol rasa rindu yang lama terpendam.
Hidung saya ditarik, sambil berkata ‘kok dateng ndak bilang-bilang to Na”, saya cengar cengir bahagia. Bersimpuh didepan beliau yang sedang memangku cucunya bernama Zafran.
Kami bertukar kisah sambil bermain dengan kedua cucu lelakinya (Ghizra dan Zafran) kami tertawa dan mengulang cerita lama. Bahagia rasanya melihat beliau sehat-sehat saja, begitupun dengan pak Kyai yang masih sakit dan dalam tahap penyembuhan (semoga Allah mengangkat penyakitnya).
Menjelang sore, ibu meminjamkan motor agar saya bisa sampai ke desa Joresan, rumah mbah (ibunda Bu Nyai). Di rumah inilah saya dan dua kawan lainnya tinggal untuk mengabdi pada tahun 2007 – 2008 silam.
Keadaan desa tersebut tak jauh berubah sejak beberapa tahun lalu, namun yang paling mencolok adalah bidang usaha yang dimiliki beberapa warganya tampak berkembang maju.
Rumah Kedua
Mengucap salam sambil memasuki rumah, say melihat dua orangtua tengah bercengkrama di ruang makan. Mbah menoleh dan belum menyadari sosok saya yang lama “menghilang”.