Mohon tunggu...
Nurhasanah Munir
Nurhasanah Munir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna

I'm a dreamer and wisdom seeker// Ailurophile// write to contemplate

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Era Medsos, Saatnya Warga Menjadi Juru Tulis Paling Depan!

15 November 2016   11:14 Diperbarui: 16 November 2016   01:07 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut data UNESCO, dari 61 negara, Indonesia berada peringkat ke-60 sebagai bangsa yang memiliki tingkat baca yang sangat rendah, yaitu hanya sekitar 0,001 %. Hal ini menandakan bahwa “wajar” jika bangsa kita ini masih jauh dari kata maju.

Membaca dan menulis merupakan dua elemen penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang-orang sukses. Apa yang mereka baca, sepatutnya menjadi bahan kontemplasi kemudian diaktualisasikan dalam segala hal yang ingin dicapai.

Ibaratnya membaca adalah anak tangga pertama untuk meraih tujuan yang ada diatas sana. Bisa dikatakan itu adalah cita-cita, impian, harapan, atau apapun sebutannya, yang pasti semuanya menjadi tujuan dari sebuah usaha yang diperjuangkan.

Pramoedya Ananta Toer berkata:

“Jika ingin mengenal dunia, bacalah. Jika ingin dikenal dunia, menulislah.”

Akhir Pekan Paling Seru

Saat Kompasiana mengumumkan akan ada acara nangkring pada hari Minggu, 6 November 2016 di ICE BSD dengan tema “Saatnya Warga Menulis” yang terbesit dalam hati saya hanya satu, yaitu wajib hadir. Betul sekali, saya berusaha untuk menjadi seorang warga yang dapat menulis dengan baik dan benar, bonusnya adalah bermanfaat bagi sesama.

Sebagai pemula dalam dunia penulisan, saya menganggap bahwa acara tersebut akan memberikan motivasi tersendiri bagi diri saya. Awalnya hanya memang impian dan angan-angan saja, namun ternyata diwujudkan oleh Tuhan dan Tim Kompasiana.

Betapa saya tidak bisa tidak merasa bahagia, jika keinginan dalam hati diaktualisasikan dengan konkret. Sampai disini, saya ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada Tim Kompasiana.

Berangkat dari rumah di kawasan Rawabelong Jakarta Barat, saya menuju stasiun Kebayoran Lama untuk menumpang Commuter Line (CL). Yang membuat saya takjub adalah stasiun yang berwajah lama kini tampil 100% beda dan modern.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Sekarang stasiun yang juga masih berada pada satu area dengan pasar tradisional ini, telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk para penumpang diluar dan didalam stasiun. Wow, batin saya tak berhenti berdecak kagum menyaksikan bangunan yang paripurna.

Meskipun sempat antri untuk mendapatkan tiket CL, saya berusaha untuk menikmati, dan tidak lupa mengamati setiap calon penumpang dan juga para petugas yang bertugas di pos-pos yang telah dtentukan.

Untuk bisa sampai ke peron, saya harus menaiki anak tangga. Stasiun Kebayoran Lama begitu megah dan sumringah sekarang. Di leher saya masih tergantung kamera prosumer yang siap membidik objek yang saya anggap menarik untuk koleksi.

Tak lama kemudian, Commuter Line jurusan Tanah Abang – Parung Panjang pun tiba, kaki melangkah masuk dan mata saya mencari kursi kosong. Perjalananan dari stasiun Kebayoran Lama ke stasiun Rawa Buntu hanya melewati 4 stasiun.

Singkat cerita, sampailah saya di stasiun Rawa Buntu, Tangerang Selatan.  Untuk melanjutkan rute menuju ke ICE BSD tempat nangkring diadakan, saya bisa mnggunakan moda transportasi berupa mini bus. Nah, karena shuttle bus yang tersedia sudah berjalan terlebih dahulu, walhasil saya mencoba memesan ojek online untuk bisa sampai ke tempat tujuan.

Sambil menunggu ojek online datang, saya memesan kopi di pinggir jalan dekat dari stasiun. Cuaca yang terik membuat saya ingin menghirup aroma kopi. Tak lama kemudian, ojek yang saya pesan pun datang, dan kopi saya pun tandas tak bersisa.

Saya tiba sekitar 2 jam sebelum acara nangkring dimulai, sambil menunggu saya duduk menikmati live music yang disajikan di panggung Kompas Gramedia, lagu usai, dan saatnya berkeliling menikmati pameran.

Bukan Nangkring Biasa

Mas Rizky dari Tim Kompasiana memandu acara siang hari itu. Dengan semangat yang bergelora memanggil serta memperkenalkan satu persatu pembicara yang akan berbagi pengalaman seputar dunia tulis-menulis.

Mereka adalah Kang Maman Suherman, seorang penulis kawakan dan sudah malang melintang di dunia penulisan, jurnalisme, dan lain-lain. Bang Iskandar Zulkarnain alis bang Isjet juga seorang manajer di Kompasiana, serta the One and Only mba Yayat, sebagai sosok Kompasianer of The Year 2016.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Cerita Selengkapnya

Pertanyaan awal ditujukan moderator kepada mba Yayat, sejak kapan dirinya menulis di blog Kompasiana?

Mba Yayat menceritakan bahwa awal ketertarikannya untuk menulis yaitu pada tahun 2009. Merasa dunia otomotif yang dicintainya kurang lengkap dan sempurna jika tidak “diabadikan.” Salah satu bentuk yang abadi adalah menulis.

Dari ketertarikan dengan dunia otomotif khususnya MOTOGP, ia memberanikan diri untuk mengekspresikan pengalaman apa yang ia lihat rasakan melalui semua panca inderanya itu ditumpahkan melalui coretan-coretan sederhana bernama blog.

Wanita berambut pendek ala Demi Moore zaman 90-an ini merasa kegiatan menulis dalam blog adalah yang paling tepat untuk memberikan sesuatu yang segar dan baru, terlebih lagi belum ada blogger wanita yang konsen di bidang tersebut.

Akhirnya, “kegilaan” pada MOTOGP mewajibkan dirinya untuk bisa menonton acara tahunan itu. Dan di tahun ini pula, selain menyabet gelar Kompasianer of The Year mba Yayat juga diundang ke Sepang, Malaysia, sebagai blogger untuk ikut meliput jalannya pertandingan akbar dan bertemu dengan bintang idolanya, siapa lagi kalau bukan Valentino Rossi.

Beberapa poin yang saya dapat dari pengalaman mba Yayat;

- Menulis itu harus sesuai passion.

- Jangan menulis karena terpaksa.

- Cintai topik yang disukai.

- Sebagai blogger harus pandai bergaul dan tidak boleh menutup diri. Jadi bergaullah secara online dan offline.

- Fokus pada minat yang digemari.

Saya memang belum lama berkenalan dengan mba Yayat, kali pertama saat acara nangkring kelas Beauty blogger beberapa bulan lalu di salah satu pusat perbelanjaan kawasan Bintaro. Saya pun langsung terpikat oleh keramahan dan sifatnya yang rendah hati. Terlihat jelas bahwa energi dalam dirinya terpancar ke sekeliling, terutama saya yang bisa beruntung menjadi salah satunya.

Kata Bang ISJET

Ternyata bang Isjet orang Betawi ya?! (begitu batin saya yang menggelitik, seusai mas Rizky mengenalkan profil singkat bang Isjet), kalau begitu sama dong seperti saya! (jari telunjuk saya mengacung, lagi-lagi hanya dalam pikiran).

Saya kali pertama bertemu bang Isjet saat acara nangkring dengan salah satu bank swasta di kawasan Kuningan Jakarta Selatan. Meskipun sebagai pembicara juga, tapi tidak banyak yang bisa saya catat. Alih-alih tidak dapat mencatat dengan banyak rupanya kesempatan kedua pun datang.

Photo: Dok. Iskandar Zulkarnain
Photo: Dok. Iskandar Zulkarnain
Bang Isjet juga berbagi pengalaman dan motivasi yang tidak kalah seru. Sebagai sosok yang sudah lama berkecimpung di dunia jurnalistik tentu mempunyai banyak sekali pengalaman menarik yang bisa didengar dan dicatat!

Dalam beberapa kesempatan, beliau selalu menyinggung tentang zaman sekarang adalah zamannya media sosial. Hal ini merupakan satu fase dimana akses informasi sangat mudah diketahui, disimpan bahkan disebarluaskan.

Menurutnya, konteks dalam tulis menulis menjadi profesi yang “kinclong”, karena penulis media sudah dimiliki semua orang. Masyarakat kita dapat menentukan sendiri sesuai kebutuhannya. Semakin banyak orang membaca, maka akan semakin banyak pekerjaan untuk penulis.

Jika disinggung “untuk apa menulis?” Bang Isjet menjawabnya singkat “menulis itu living knowledge” (menghidupkan pengetahuan). Beliau juga menyatakan bahwa “guru yang bisa menulis lebih baik daripada yang tidak bisa menulis.”

Sekarang juga eranya blogger, banyak wadah untuk bisa dijadikan sebagai “pusat membaca” bagi mereka yang gemar membaca. Blogging adalah salah satu contoh dari wadah untuk menampung tulisan warga, konkretnya seperti Kompasiana yang sudah menjadi rumah para kompasianer.

Meskipun didunia blogging itu setiap tulisan akan tayang tanpa batas, namun kualitas juga tetap diutamakan, demi mendidik para pembaca dan penulis khususnya. Sehingga, miliu pendidikan dalam dunia blogging akan semakin hidup, serta dapat memancarkan energi positif.

Bang Isjet juga menambahkan bahwa perbdeaan yang mencolok antara wartawan dan warga (blogger) yang menulis, yaitu wartawan menulis untuk publik, sedangkan warga menulis untuk dirinya terlebih dahulu.

Uniknya jika tulisan warga tersebut dibaca dan disukai banyak orang, itu artinya tulisan yang dia tulis adalah representasi dari pikiran, ide, gagasan, harapan, atau bahkan cita-cita mereka yang belum sempat menuliskannya.

Beberapa poin yang saya dapat dari bang Isjet, sebagai berikut:

- Pada waktunya, blogger dan wartawan akan sama. Sama-sama mendapatkan tempat dalam bidang jurnalistik.

- Para blogger masih bingung dalam menentukan verifikasi tulisan-tulisannya.

- Semakin menunjukkan profesionalisme, maka kualitas akan teruji.

- #AyoNulis

Spiritualisasi Menulis ala Kang Maman

Bagi saya, kang Maman Suherman yang asli Makassar memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan penulis-penulis lainnya. Saya mengamati bagaimana beliau memiliki pondasi yang kuat dalam menulis, dan kuncinya ada pada ayat-ayat Al-Qur’an.

Beliau berpegang teguh pada ayat yang berbunyi iqra’ dan qolam, iqra’bermakna bacalah, sedangkan qolam bermakna pena. Sebagaimana yang telah saya tuliskan diawal tadi, menulis dan membaca adalah dua elemen yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan.

Kita dapat membaca banyak hal, tidak hanya buku, blog, berita, jurnal, dan lain sebagainya. Sebelum itu semua dituangkan menjadi aneka wadah. Membaca tahap pertama adalah membaca dengan mata terhadap hal-hal yang ada dan terjadi disekitar kita. Membaca dengan sudut pandang yang berbeda dengan orang lain. Maka dengan begitu, kita baru dapat menuliskannya untuk diabadikan.

Kang Maman memulai karir sejak tahun 1986 sebagai penulis lepas atau freelancer istilah sekarang, mengalami pasang surut dalam menjejakkan idealismenya sebagai seorang penulis. Kang Maman bersama kawan-kawannya harus berhadapan langusng dengan rezim yang memiliki kuasa atas semua tulisan sebelum akhirnya mendapat izin terbit dan dipublikasikan.

Baginya, menulis memang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Tanpa sungkan kang Maman juga menganggap bahwa ia hidup dari menulis, begitu paparnya. Pernah suatu kali ia mengirimkan puisi karyanya tentang seorang gadis pujaan di sekolah, puisi tersebut tayang dan kang Maman berhak mendapatkan honor sebesar Rp. 50,- (lima puluh rupiah) pada tahun 1974.

Hadiah tersebut diberikannya kepada sang gadis, hatinya cukup bahagia melihat sang gadis tersipu malu. Puluhan tahun kemudian, kang Maman diminta untuk menulis sebanyak 10 halaman oleh seorang pengusaha, honornya pun fantastis menjadi 10 juta kali lipat dari honor puisinya waktu itu.

Beliau mengingatkan bahwa dunia jurnalistik memiliki dua nilai, yakni verifikasi dan kedisplinan. Sempat lama bergabung di Kompas, kang Maman juga mendapat banyak pelajaran. Salah satunya dari seorang senior yang mengatakan “kalau menulis untuk cari uang, bukan di Kompas tempatnya.”

Ya, di dalam dunia jurnalistik pun saya yakin masih banyak nilai-nilai sakral yang mengedepankan nilai etik dan estetika untuk menampilkan visi dan misi jurnalistik yang mendidik dan mengusung fakta serta realita.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Jurnalistik hadir untuk memberikan pendidikan bagi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Tidak hanya lidah saja yang tajam, tulisan yang didasari oleh tanggung jawab, kejujuran, serta kedisiplinan akan menjadi “buku saku” yang dibawa sepanjang masa oleh mereka yang merasa tercerahkan.

Puluhan tahun dijalani kang Maman dengan suka cita, nyaris tidak ada duka karena semua yang dilakukan di dunia jurnalistik berawal dari rasa cinta yang besar sejak kecil. Oleh karena itu, kang Maman patut mensyukuri anugerahnya dengan cara berbagi pengalaman dan ilmu, diantaranya melalui buku-bukunya dan tatap-temu seperti nangkring Kompasiana.

Saya memperhatikan sosok kang Maman yang menjadi inspirasi bagi banyak orang, termasuk saya tentunya. Menurut kang Maman, laman untuk jurnalis warga seperti Kompasiana adalah salah satu contoh dan teladan yang baik untuk masyarakat.

Saya pun mengamini bahwa Kompasiana patut kita jaga, kembangkan, dan majukan demi terwujud cita-cita bersama, yaitu bangsa yang berbudaya dalam bertutur kata serta menulis. Menulis itu sexy, begitu kata kang Maman.

Melalui media menulis, kita dapat mengasah tajam kemampuan berpikir dan menganalisa terhadapa suatu fenomena. Menulis bukan hanya suatu keharusan bagi yang pemula, namun ia juga latihan agar dapat berkontribusi nyata kepada masyarakat luas.

Kang Maman menyatakan bahwa rumus 5 W (what, who, where, when, why) dan 1 H (how) dalam menulis hampir tidak berlaku lagi. Lebih lanjut beliau mengenalkan tentang 5 R; read (baca), research (meneliti), reliable (berkaitan), reflecting (refleksi/hasil dari renungan), dan right (benar).

Kesimpulan tentang 5 R, sebagai berikut:

Read: membiasakan diri untuk membaca, agar kita mendapat banyak referensi dan memperkaya wawasan. Tulisan yang dilatarbelakangi dari seseorang yang suka membaca akan memberikan warna tersendiri, segar dan selalu kekinian.

Research: mengawali tulisan dengan melakukan penelitian terlebih dahulu adalah satu hal yang paling baik. Dengan meneliti, seorang penulis merasa bertanggung jawab atas apa yang akan ditulisnya, karena ia menyadari bahwa tulisannya akan dibaca oleh orang banyak. Sehingga ia harus menyajikan tulisan yang jujur dan sesuai fakta.

Reliabel: banyak penulis masa kini yang mengesampingkan unsur reliabel, padahal unsur yang satu ini sangat penting. Mempertimbangkan apakah satu tulisan masih saling terhubung dan terkait atau tidak?

Reflecting: seorang penulis yang baik tentu akan merefleksikan tulisannya ke dalam dirinya terlebih dahulu, atau lebih jauh ke lingkungan sekitarnya. Jika hal ini menjadi syarat wajib bagi tulisannya, artinya ia dapat merasakan kepekaan yang mendalam.

Right: yang paling krusial adalah tentang unsur yang satu ini. Sebelum menulis, belajarlah jujur pada diri sendiri. Terkadang kita menulis untuk menjawab keresahan dalam hati dan pikiran kita.

Ketika kejujuran menjadi standar penulisan kita, maka tulisan-tulisan yang lahir dari dalam diri, akan memancar keluar menjadi serpihan energi yang berpengaruh baik.

Penulis yang baik akan memegang teguh kebenaran, apapun resikonya. Kang maman telah membuktikannya. Meskipun seringkali tulisannya tidak terbit akibat desakan dari rezim yang berkuasa yang mengatur terbit atau tidak suatu tulisan.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Toh, kang Maman semakin menunjukkan jati dirinya sebagai penulis yang banyak makan asam garam. Tidak hanya berkutat di bidang jurnalistik, kang Maman juga berkelana di berbagai bidang meskipun landasannya tetap dunia tulis menulis.

Sehubungan dengan pengalamannya tersebut, kang Maman memberikan para kompasianer pilihan dalam menentukan karakter: generalis atau spesialis. Pilihan di tangan para blogger!

Kang Maman yang berbicara dengan bukti telah mewujudkan keduanya. Menurut saya pun demikian. Tidak ada dikotomi untuk menjadi penulis yang generalis atau spesialis, yang ada hanya “Ayo Nulis” meminjam dari jargonnya bang Isjet.

“Jadilah penulis, minimal untuk cerita kehidupanmu sendiri. Menulislah maka namamu kian abadi.” (Nurhasanah)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun