Pendidikan dasar tentang reproduksi yang diperkenalkan kepada remaja, orangtua, dan pendidik menjadi program besar pemerintah. Jajaran pemerintah berupaya untuk selalu melindungi anak-anak remaja dari pengaruh perilaku negatif dan penyimpangan seks. Jika remaja kita tidak memiliki pengetahuan atau pengetahuannya tentang seks dan reproduksi kurang memadai, maka tingkat kekhawatiran para orangtua dan pendidik menjadi naik pada level yang lebih tinggi. Sudah menjadi kewajiban bagi para orang tua dan pendidik untuk mengenalkan pendidikan reproduksi dan seks kepada anak remaja.
Pembekalan suatu ilmu pengetahuan tidak lengkap tanpa didampingi dengan pendidikan mental serta akhlak. Anak-anak yang memiliki mental serta akhlak yang baik diyakini mampu menyikapi segala bentuk pengaruh, mereka dihadapkan pada situasi yang mengharuskan mereka untuk mengambil keputusan serta memilih antara yang baik dan buruk, atau yang positif dan negatif. Hasilnya akan memberikan dampak setelah itu, mereka memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, mereka juga mampu memberikan energi positif bagi teman-teman dan lingkungannya, karena akhlak dan mental yang terpuji yang telah ditanamkan dari orangtua dan keluarga, serta sekolah.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Anies Baswedan Ph.D yang hadir pada suatu acara berita di stasiun TV swasta beberapa hari lalu, mengatakan bahwa “pendidikan adalah sebuah kolaborasi antara orangtua dan guru di sekolah, kolaborasi tersebut tidak akan tercipta jika tidak ada komunikasi.” Saya menanggapi bahwa dari pernyataan tersebut para orangtua dan guru diharapkan mampu menjalin kerjasama yang harmonis dan dinamis untuk mewujudkan impian bangsa ini dengan melahirkan generasi-generasi tangguh yang kuat dan teguh pendiriannya, mengamalkan ajaran agamanya, serta tidak lupa untuk menyebarkan kebaikan dimanapun mereka berada.
Pepatah Arab juga menjelaskan bahwa “al-‘aqlu al-salim fi al-jismi al-salim” artinya akal yang sehat terdapat pada tubuh yang kuat, mensana in corpore sano. Bagaimana generasi muda kita akan kuat akal dan pikirannya serta tegas pendiriannya jika kebutuhan tubuhnya akan kesehatan tidak terpenuhi? – jadi, sudah saatnya semua pihak mengambil bagian untuk berperan aktif mendidik dan mengajar anak-anak remaja kita tentang pentingnya memiliki gaya hidup sehat yang diimbangi dengan pengetahuan yang selalu diperbaharui dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Semua manusia adalah makhluk yang memiliki martabat tinggi yang terlahir dari fitrahnya tanpa terkecuali, maka dari itu sebagai makhluk yang bermartabat para remaja Indonesia harus mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak sehingga menjadi insan yang bermartabat baik secara lahir maupun batin. Atas dasar martabat itulah, maka semua manusia mendapatkan haknya untuk menjadi sebaik-baiknya manusia diantara manusia dan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain.
Untuk membedakan manusia dari makhluk-makhluk yang lain, maka peran martabat adalah mengedepankan akal sehat, dan bukan dengan hawa nafsu yang menjadi alat bagi binatang untuk mencapai keinginannya. Di masyarakat modern yang plural ini, dimana terdapat banyak agama, sistem nilai, kriteria moral, budaya, dan sebagainya, martabat manusia semakin bisa dapat diterima, karena digunakan sebagai dasar bersama bagi pembangunan etika dan hukum, sebab martabat manusia telah ada sebelum kemunculan konsep etis, hukum, ataupun politik. Jika unsur-unsur untuk menjaga dan merawat akal sehat tidak terpenuhi, lantas bagaimana bisa manusia dapat menjadi sebaik-baiknya makhluk dihadapan Tuhan Yang maha Esa?
Negara, pemerintah, orang tua dan barisan pendidik adalah penyelenggara bagi kegiatan pendidikan. Remaja merupakan bagian dari fase kehidupan manusia sejak usia dini, karena bagi seorang manusia, hidup adalah nilai fundamental untuk dapat merealisasikan nilai-nilai lainnya. Hidup adalah syarat untuk menciptakan, mewujudkan, serta mengembangkan seluruh potensi, aspirasi dan cita-cita manusia. Manusia yang memiliki kehidupan adalah manusia yang harapan untuk terus bergerak maju menuju manusia yang paripurna dan bermanfaat bagi orang lain serta lingkungannya.
Remaja yang mengenal dirinya dengan baik, akan mudah menemukan apa yang ia butuhkan untuk memenuhi dan mendukung kehidupannya. Untuk mengenal dirinya, maka seorang remaja juga harus memiliki jiwa yang senang untuk belajar dan mencari pengetahuan baru. Setelah itu, ia akan mampu menyeleksi apa yang baik dan buruk untuk dirinya, pun untuk lingkungannya juga. Pengetahuan tentang agama bagi seorang remaja adalah hal yang mutlak, agama sebagai pedoman hidup dapat menjadi keyakinan yang utuh, sehingga agama menjadi salah satu faktor yang mendukung kehidupan remaja, meskipun orang tua dan guru tidak selalu mendamping namun keyakinan tentang nilai baik dan buruk akan menjadi pengingat.
Masa remaja adalah sebuah fase transisi dari masa anak-anak menuju tahap tumbuh-kembang selanjutnya. Meskipun telah mengalami transisi, masa remaja juga memiliki kerentanan baik secara psikis dan mental, raga dan jiwa, lahir dan batin. Menjadi perhatian dan peduli adalah cara bagi para orang tua dan guru untuk menjadi sahabat dan pendengar yang baik bagi mereka. Pengawasan terhadap remaja dapat diubah menjadi suatu kegiatan yang lebih manusiawi, seperti melibatkan remaja dalam diskusi dan kegiatan yang menyenangkan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar remaja memiliki waktu yang cukup untuk mengembangkan seluruh potensi dan mewujudkan cita-citanya.
Para orang tua dan pendidik harus mampu menjawab keingintahuan remaja dan segala hal yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan dunianya. Jika keingintahuan tersebut tidak dapat dipenuhi, maka dikhawatirkan para remaja akan mencari celah atau bahkan menemukan sesuatu yang dapat mengalihkan perhatiaannya dari sikap fokus untuk pengembangan diri menjadi terlena dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Kekosongan tersebut menjadikan remaja sebagai anak muda yang haus akan perhatian dan kasih sayang, ditambah lagi tentang ilmu pengetahuan yang tidak sempat diketahui, dipelajari, dan diamalkan. Selanjutnya, kita akan menyaksikan bom waktu akan meledak manakala kekosongan interaksi antara remaja dengan dunia sekitarnya, serta dengan orang-orang dari lingkungannya tidak memiliki kesadaran dan kepedulian untuk memperbaiki diri dan keadaan.