Mohon tunggu...
una anshari
una anshari Mohon Tunggu... Freelancer - Melihat, Merasakan, Menulis dan Membagikan

Traveller yang selalu berharap dapat mengambil hikmah dalam perjalanan untuk ditulis dan disharekan. Berbagi itu indah :)

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Hai Tukang Sampah, Mulailah Berdiet Plastik!

9 Agustus 2019   00:20 Diperbarui: 9 Agustus 2019   00:34 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menyadari betapa kita adalah tukang sampah sebenarnya.

Pagi itu ketika sedang berkelana di laman media sosial Instagram, aku tertegun membaca sebuah postingan. Postingan tersebut berupa foto yang bertuliskan bahasa Arab. Di dalam foto tersebut ada empat orang. Dua orang yang terdiri dari Ayah dan anaknya yang ingin membuang sampah, dua orang lainnya adalah Ayah dan anak yang mengurus sampah. Percakapan terjadi pada pasangan Ayah-anak pertama, ketika sang anak berkata

"Ayah, lihat itu tukang sampah sudah datang."

"Bukan Nak," Jawab sang Ayah, "Kitalah tukang sampah sebenarnya, sedangkan mereka membersihkan sampah-sampah kita."

Sekali lagi, aku tertegun. Benarlah apa yang dikatakan sang Ayah. Kerap kali kita menyebut "Tukang sampah kemana sih? Sudah dua hari tidak datang, padahal sampah sudah menumpuk." Padahal siapa sebenarnya yang 'menciptakan' sampah dari rumah-rumah, tentu kita sendiri. Ketika kita mengatakan si pembuat baju dan kue adalah kang jahit dan kang kue, maka kita sendiri lah yang pantas disebut kang sampah.

Kita mungkin atau aku saja baru aware masalah sampah, lingkungan, plastik sejak ditemukan ikan paus yang terdampar di pantai dengan perut penuh berisi sampah sebanyak 40kg. Sejak itu baru kita menyadari bahwa sampah yang kita hasilkan akan membahayakan diri dan lingkungan. Sekarang saja sudah terlihat, bagaimana kondisi laut di masa mendatang, jangan-jangan, ikan laut yang harusnya jadi protein malah menjadi penyakit karena sampah kita yang berakhir di laut.

Malangnya Indonesia menjadi Negara kedua penyumbang sampah terbanyak di dunia. Lengkap sudah! Apa yang terjadi setelahnya? Seakan baru bangun dari tidur maka mulailah muncul gerakan untuk menjaga bumi, menjaga planet dan kampanye untuk melakukan zero waste.

Apa yang sudah Kulakukan?

Sebagai pelaku umkm di bidang kuliner, aku terkadang merasa bersalah. Bersalah karena usahaku masih banyak menggunakan alat berbahan plastik, dimulai dari cup, cup sealer, sendok dan juga plastik yang membungkus. Sebenarnya semua usaha kuliner yang bisa take away menggunakan bahan plastik.

Melansir dari instagram aqua lestari, tidak bisa dipungkiri penemuan plastik memungkinkan manusia memproduksi produk-produk yang menunjang kehidupan. Dalam industri makanan dan minuman, kemasan plastik dapat melindungi dan menjaga bahan, sekaligus mengurangi berat dalam transportasi yang menghemat bahan bakar dan mengurangi emisi. 

Begitupun dalam produk kesehatan modern masih sangat bergantung pada media berbasis plastik dari jarum suntik sekali pakai hingga kantong darah dan infus. Artinya kita hampir bergantung sepenuhnya dengan benda bernama plastik.

Namun, ketika mengetahui bahwa sampah plastik adalah sampah yang paling lama terurai, bisa mencapai hampir 1 abad dan penyumbang sampah yang merusak lingkungan. Mau tidak mau, kita harus menerima bahwa kita harus melakukan diet plastik. 

Hal kedua tentu saja bagaimana cara agar masyarakat biasa sebagai konsumen, pengusaha sebagai produsen dan pemerintah menemukan pola kerjasama untuk mengatasi permasalahan sampah. Misal sebagai konsumen bisa memulai zero waste, pengusaha melakukan pembatasan produksi dan pengelolaan bekas wadah yang digunakan. Terakhir pemerintah bisa menemukan cara yang tepat untuk pengelolaan sampah, entah harus di daur ulang atau mewajibkan para pengusaha tersebut menemukan solusi dari polemik plastik ini.

Maka, walau belum mampu merubah bahan yang digunakan untuk berdagang, aku berusaha melakukan hal lain. Misalkan, menanyakan apakah sendok diperlukan? kalau untuk makan di Rumah sebaiknya tidak, acapkali aku bertanya "Pake sendok kak?" dan aku berucap syukur ketika mereka mengatakan "tidak usah, mau makan di rumah" ketika ia tidak terburu, aku selalu mengatakan, "Iya kalau makan di rumah lebih baik pakai sendok sendiri ya bu, sendok ini hanya berakhir pada tong sampah" walau terkadang kebanyakan dari mereka tetap meminta sendok, bahkan kadang seperti meledek pertanyaan saya.

"Masa makan bubur pakai tangan," ujar mereka yang dengan sabar kujawab kalau makan di rumah dan ada sendok, bukankah lebih baik menggunakan sendok sendiri. Tidak masalah kalau aku harus selalu bertanya kepada setiap pelanggan, paling tidak mengurangi rasa bersalah dan ada usaha untuk mengurangi pemakaian plastik.

Kalian sudah memulai #zerowaste?

Banyak hal yang bisa dimulai. Zero waste bukan berarti sama sekali tidak nyampah, tapi bertahap. Membiasakan diri untuk tidak lagi bergantung pada plastik. Bisa dimulai dengan membawa tas kain sendiri ketika berbelanja. Membeli sedotan stainless atau berbahan bambu agar tidak sekali pakai. 

Membawa botol minuman dan wadah tempat sendiri kemanapun. Misal ketika nonton bioskop, kalian bisa membawa tupperware sendiri. Kalau masih merasa malu, mulai saja dulu. Paling tidak, kita sudah ikut mengkampanyekan, membuat mereka berpikir sehingga bisa mengubah mindset. Syukur-syukur terinspirasi dan mengikuti jejak kita.

Ohya, hampir lupa untuk para wanita penting untuk melakukan zero waste mengenai tamu bulanan kita. Pembalut sekali pakai sudah bisa diganti dengan pembalut kain atau menstrual cup. Aku pribadi masih prefer ke pembalut kain daripada menstrual cup. Entah karena belum menikah sehingga masih takut untuk memasukkan benda ke dalam area kewanitaan. Buat kalian yang belum tahu mengenai hal ini, bisa baca artikel atau tonton youtube ya, sudah banyak yang bahas kok.

Sekian cerita dari kang sampah, yuk ah mulai ubah pola pikir kita untuk lebih mencintai bumi dan langsung beraksi.

Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun