Mohon tunggu...
Tri Ratnawati dr
Tri Ratnawati dr Mohon Tunggu... Dokter - Dokter umum

Menulis, memasak

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jebakan Hustle Culture Berdampak Timbulnya Boiling Frog Syndrome

10 Agustus 2023   21:27 Diperbarui: 11 Agustus 2023   21:30 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hustle culture | shutterstcok

Dunia Kerja yang Positif Vibes Vs Negatif Vibes

Perkembangan zaman yang ditandai dengan kemajuan teknologi di era industri 4.0 memuculkan sejumlah profesi atau pekerjaan baru. 

Beberapa pekerjaan yang baru muncul seperti konten kreator, web developer, data scientist, sosial media specialist, dan app developer. 

Pekerjaan-pekerjaan tersebut banyak digandrungi oleh generasi Z, namun ada juga generasi milineal yang memiliki side job pada profesi baru tersebut. Bekerja tidak hanya mencurahkan tenaga tetapi pikiran dan emosional.

Profesi-profesi baru yang erat kaitannya dengan digital informatika memiliki waktu lebih fleksible dengan income yang cukup menjanjikan. 

Beberapa artis yang ternama dari konten kreator seperti ria ricis, atta halilintar, raffi ahmad, fadil jaidi, baim wong dan lain-lain memiliki pendapatan yang fantastis dengan jam kerja yang lebih fleksibel. 

Sistem pekerjaan tradisional seperti pekerja kantor, pabrik, tenaga kesehatan rumah skait sangat terikat dengan jam kerja, tim work dan manajerial sehingga banyak sekali tampak mental illness yang terjadi. 

canva Tri Ratnawati
canva Tri Ratnawati

Dampak yang ditimbulkan secara mental illnes dari sistem pekerjaan lama meliputi burn out, boiling frog syndrome, anxietas atau kecemasan, depresi, gangguan psikotik dan beberapa juga yang melakukan tindakan suicide (bunuh diri).

Pandemi corona virus yang berlangsung tiga tahun ini, banyak menimbulkan perubahan dari pemahaman sistem bekerja, dimana awalnya seseorang secara fulltime mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran demi kenaikan karier sehingga berimbas ke peningkatan pendapatan yang biasa dikenal sebagai workaholisme. 

Paradigma yang baru menggantikan workaholisme atau hustle culture adalah quiet quitting. Sistem quiet quitting timbul akibat kekecewaan karyawan akan minimnya reward yang diberikan oleh perusahaan. 

Dalam dunia kerja yang begitu kompetitif, budaya gila kerja dan produktivitas yang tinggi sangatlah disanjung namun hustle culture menimbulkan beberapa dampak bagi kesehatan seperti berkurangnya waktu beristirahat, kurang tidur, dan seringkali memotivasi diri sendiri untuk terus mengabaikan rasa sakit dengan tetap bekerja. 

Mengutip hasil penelitian Curent Cardiology Report melaporkan bahwa masyarakat yang menanamkan pola hustle culture rentan mengalami penyakit kardiovaskuler meliputi penyakit jantung koroner, gangguan irama jantung dan hiperkoagulasi. Beberapa penyebab timbulnya hustle culture meliputi:

1. Perkembangan teknologi

Kemudahan sarana teknologi untuk mengirimkan tugas kantor yang dimiliki smartphone menyumbang dampak terhadap timbulnya pola hustle culture. Secara tidak sengaja kita menjadi melalukan pekerjaan ekstra diluar jam kerja.

2. Konstruksi sosial

Jabatan dan income tinggi terkadang menjadi tolak ukur kesuksesan, padahal kondisi hustle culture sangatlah riskan terhadap timbulnya masalah kesehatan secara fisik maupun mental

3. People pleaser

People pleaser merupakan orang yang merasa tidak enak dengan orang lain dan selalu harus memenuhi ekspektasi pendapat orang lain. Dalam dunia kerja orang dengan people pleaser sangat riskan dimanfaatkan oleh temen maupun lingkungan yang toksik untuk mendapatkan pelimpahan tugas.

4. Toxic posivity

Toxic Posivity merupakan Dorongan untuk berasumsi positif meskipun berada dalam lingkungan tertekan. Kondisi ini akan menimbulkan keraguan kita apakah untuk tetap bertahan atau memutuskan keluar. Hal ini, akan menimbulkan pemikiran seperti " Haruskah aku terus menerus menyesuaikan diri atau memilih pergi?". Ada yang pernah membaca tentang boling frog syndrome?

Boiling Frog Syndrome sebagai Dampak Sistem Hustle Culture

Istilah boiling frog syndrome mucul karena adanya eksperimen pada katak yang dimasukan kedalam panci dengan air yang mendidih. Katak akan mempertahankan diri dengan menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu air yang meningkat. 

Ketika air hampir mendidih, katak ingin melompat namun sudah tidak bisa karena telah menghabiskan seluruh tenaganya untuk menyesuaikan suhu. 

Layaknya katak, manusia terkadang memaksakan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang tidak nyaman namun membahayakan mentalnya tanpa memikirkan dampak destruktif lingkungan tersebut untuk jangka waktu panjang.

Apakah kamu?

  • Sering merasionalkan sikap seseorang sehingga kamu menjadi people pleaser
  • Terlalu sibuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja sehingga lupa akan kebutuhan diri sendiri
  • Memaksakan diri untuk beradaptasi dan bertahan dalam lingkungan kerja yang tidak sehat

www. tirto.id
www. tirto.id

Jika kamu merasakan itu semua, mungkin ini saatnya kamu harus menentukan pilihan kedepannya. Apakah"ingin bertahan ditempat kerja saat ini" atau memilih untuk resign?

Apakah jika aku resign tanda aku seorang pengecut yang tidak tahan banting dalam lingkungan kerja?

Saat kesehatan fisik dan kesehatan mental menjadi taruhan bahkan terganggu akibat sistem maupun lingkungan kerja, terkadang melarikan diri, melompat dari kapal atau resign merupakan salah satu solusi. 

Untuk memutuskan resign, alangkah bijaknya kita siapkan jauh-jauh hari baik planning pekerjaaan kedepan yang akan kita tekuni dan kita siapkan dana darurat selama proses kita mencari atau membangun karir yang baru.

Bagaimana Cara Mencegah Boiling Frog Syndrome?

Kunci utama untuk menghindari boiling frog syndrome adalah kesadaran, namun beberapa hal yang dapat kita lakukan meliputi:

1. Membuat planning karir yang jelas. Evaluasi setiap planning karir yang telah kita buat sehingga saat berada dalam lingkungan maupun sistem kerja yang negatif vibes kita akan lebih cepat untuk mengambil keputusan untuk bertahan atau resign.

2. Temukan teman atau pasangan yang dapat berbagi segala problem baik masalah pekerjaan maupun pribadi lainnya sehingga akan mengurangi dampak mental illness yang ditimbulkan akibat pekerjaan.

3. Buat check list target pencapaian yang telah tercapai dan rutin lakukan evaluasi.

4. Menerapkan sistem quiet quitting atau bekerja sesuai tugas pokok yang diamanahkan ke kita sehingga terjaga work life balance.

5. Ambil cuti dan berlibur sejenak untuk merefresh pikiran dan tenaga sehingga tidak burnout berkelanjutan sehingga berdampak ke mental illness.

Memilih untuk bertahan atau melepaskan diri dari pekerjaan walaupun tidak nyaman bukanlah pilihan mudah. Penting bagi kita untuk dapat menyadari mana hal yang memberikan dampak positif maupun kurang positif dalam kehidupan kita sehingga bisa menentukan langkah dalam membentuk kehidupan yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun