Mohon tunggu...
UMU NISARISTIANA
UMU NISARISTIANA Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

umunisaristiana26@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Apakah Broken Home Hanya Disebabkan oleh Perceraian?

13 Februari 2021   07:45 Diperbarui: 13 Februari 2021   07:59 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

Ini kisah dari salah satu temanku.

Dia cukup populer di sekolah, hampir seluruh guru mengenalnya. Selain karena dia supel dan mudah bergaul, ternyata dia berasal dari keluarga cukup terpandang. 

Kedua orang tuanya seorang PNS, ibunya bekerja sebagai guru sekolah bergengsi dan ayahnya bekerja sebagai anggota dewan. Kebanyakan keluarga besar dari ayahnya seorang politikus dan keluarga besar dari ibunya seorang pegawai negeri sipil. 

Ah, senangnya jadi dia. Setidaknya, modal silsilah keluarga akan membantu karirnya di masa depan. Apalagi dia ikut ekskul paskibraka, sebab postur tubuhnya cukup semampai. Dulu aku hanya sebatas mengenal dia meskipun kita berada di satu kelas yang sama.

Selepas lulus, entah mengapa kami menjadi akrab. Dia sering bercerita tentang kisah asmaranya dan sampai kepada kisah sensitif mengenai keluarganya. 

Mungkin saat itu dia sedang emosi, sehingga tidak sadar menceritakan hal sensitif kepadaku -- orang yang baru pernah hangout sekali -- tidak disangka latar belakang keluarganya yang begitu mewah menyimpan cerita kelam. 

Ayahnya tidak pernah memberikan nafkah kepada keluarganya, tetapi beberapa kali debtcollector datang ke rumah. Ternyata, ayahnya kecanduan judi online. 

Ibunya seorang sosialita, hal ini wajar saja karena ia seorang guru di sekolah bergengsi. Kebanyakan siswa yang bersekolah disana merupakan anak dari seorang hakim, anggota dewan, pebisnis, pengacara, PNS dan profesi bergengsi lainnya. 

Ya seperti halnya sosialita kebanyakan, ia sangat up to date dengan kuliner, wisata, fashion, kosmetik, kendaraan yang sedang populer. Ia sangat mempedulikan perkataan dan anggapan teman-teman sosialitanya. 

Realitanya, gaji PNS tidak cukup untuk memenuhi gaya hidupnya terlebih ia harus menghidupi keluarganya sebab suaminya tidak memberikan nafkah. Dari sinilah semua kisah kelam terjadi.

Orang tuanya sering bertengkar perihal finansial, ibunya sering mengejek ayahnya yang bergaji kecil. Ibunya yang selalu marah-marah, mengeluh, menyumpahi anak-anaknya dan berkata buruk kepada anak-anaknya. Ayahnya yang jarang berada di rumah. Adik laki-lakinya terkena kasus penggelapan mobil rental dan juga menghamili pacarnya di saat ia baru masuk kuliah. Adik perempuannya yang masih duduk di sekolah dasar dibully oleh teman-temannya sampai ia mengalami ketakutan untuk bersekolah. 

Dan teman saya mengalami kekerasan dalam pacaran; paha dan punggungnya dipukul menggunakan balok kayu, diplintir tangan kanannya, dipukul kepalanya menggunakan helm, diselingkuhi, dikatai dengan kata-kata kasar. Kekerasan itu sudah berlangsung selama tiga tahun, tetapi dia tidak mampu melepaskan diri dari hubungan racun tersebut. Kacau.

Bisa jadi kisah ini adalah salah satu dari ribuan kisah keluarga kacau di luar sana yang belum diungkap. Bisa dibayangkan betapa kacaunya anak-anak dari keluarga tersebut. Fisik, mental, psikologis. Keluarga yang semestinya menjadi tempat berteduh justru menjadi sumber kelelahan dalam hidup. 

Bahkan, adik perempuan temanku yang masih duduk di sekolah dasar pernah berucap "Kalau boleh, aku tidak mau ada dikeluarga ini. Ibu ayah tidak sayang aku. Aku mau mati aja.". Miris.

Jika pengertian broken home adalah keluarga tidak utuh yang anggota keluarganya gagal melakukan peran dan kewajibannya di dalam keluarga. Mungkin kondisi seperti ini juga bisa dikategorikan sebagai keluarga broken home. 

Broken home tidak melulu hanya disebabkan oleh perceraian, orang tua yang tidak mampu melakukan peran dan kewajibannya terhadap anak-anaknya juga bisa menyebabkan terjadinya broken home. 

Jika memang benar seperti itu, maka ada banyak kasus broken home di Indonesia. Sebab, saat ini pasien yang mengalami ketidakstabilan emosi dan mental semakin meningkat kian waktu dan faktor terbesar pemicu hal tersebut adalah dari dalam keluarga.

Membangun keluarga memang tidak semudah yang dibayangkan. Menyatukan dua kepala, terlebih jika sudah memiliki anak. Semakin banyak kepala yang harus dimengerti dan dipahami. 

Memahami dan mengerti orang lain bukan hal yang mudah dilakukan, apalagi jika sudah menyangkut persoalan ego dan prinsip orang. Paling tidak ada tiga penyebab keluarga menjadi broken home versi tanpa perceraian:

1. Banyak yang menikah dalam kondisi belum selesai dengan dirinya

Keputusan untuk menikah adalah salah satu keputusan besar. Sudah semestinya keputusan besar ini harus dipikir dan dipersiapkan dengan matang. Ada banyak pertimbangan yang harus diolah dan ditimang. 

Di samping pertimbangan dari sisi pasangan, ada hal yang justru lebih penting dan sering dilupakan yaitu pertimbangan tentang diri sendiri. Banyak orang yang memutuskan untuk menikah tetapi dia belum selesai dengan dirinya sendiri. Contoh:

a. Belum memahami diri sendiri; Apa yang membuat diri sedih/kecewa/marah/bahagia? Bagaimana diri ini mengontrol emosi tersebut? Apa yang diinginkan diri sendiri? Bagaimana cara diri ini mencapai keinginan tersebut? Seperti apa gambaran ideal diri sendiri? bagaimana cara diri ini mencapai gambaran ideal tersebut?

b. Belum memiliki prinsip, visi dan misi dalam menikah.

c. Menikah karena ingin menikah, bukan karena butuh menikah.

d. Belum merasa puas meniti karir dan studi. Dan lain sebagainya

Hal-hal seperti ini sangat penting untuk diperhatikan bagi seseorang yang akan memutuskan untuk menikah. Jika tidak, masa transisi dari single ke menikah menjadi berat untuk dijalani, karena proses adaptasi yang dilakukan tanpa menggunakan ilmu. 

Sehingga wajar saja jika banyak pasangan muda yang baru 1-5 tahun menikah memutuskan untuk bercerai. Besar kemungkinan karena mereka belum selesai dengan dirinya sendiri, jadi banyak perang ego di dalam hubungan.

2. Banyak orang materialistis

Tanpa disadari modernisasi meciptakan peradaban materialistis. Sosial media mempermudah seseorang untuk melihat kehidupan orang lain. Dan kebanyakan apa yang ditampilkan di sosial media semua berbau materi (uang -  jabatan -- kepemilikan -- penampilan). 

Tidak dipungkiri bahwa sifat dasar manusia adalah membanding-bandingkan, melihat gambaran kehidupan orang lain yang sempurna membuat seseorang otomatis akan membanding-bandingkan dirinya dengan pencapaian orang lain. Kemampuan yang tidak sejalan dengan keinginan akan membuat seseorang memutuskan berperilaku diluar nalar. 

Saat ini banyak dijumpai orang yang ingin menaikkan gaya hidup dengan merendahkan harga diri, seperti menjadi sugar baby (simpanan om-om beristri), perempuan Open Booking (PSK online), melakukan tindakan korupsi, menipu, merampok dan lain sebagainya.

Ada ungkapan, tidak ada yang namanya wanita matre. Adanya wanita realistis. Saya tidak sependapat dengan ungkapan tersebut, ya memang realistis perlu. Kita hidup (sandang-papan-pakaian-sekolah-bersosialisasi) membutuhkan uang tetapi ada satu hal penting yang dilupakan yaitu rasa cukup. 

Rasa cukup yang membuat seseorang memiliki hidup tenang dan bersahaja. Jika memang realistis dikaitkan dengan memenuhi kebutuhan dan keinginan yang diluar kemampuan, apa bedanya dengan manusia serakah yang tidak tahu diri?

3. Kurangnya ilmu agama

Realitanya, laki-laki/perempuan yang bagus ilmu agamanya dan memiliki budi pekerti luhur akan kalah dengan laki-laki/perempuan yang kaya dan memiliki latar belakang keluarga yang mewah. 

Saat ini, pertimbangan ilmu agama bagi pasangan sudah mulai bergeser, seperti kata Jane Austin seorang novelis terkenal "Pernikahan hanya persoalan ekonomi dan politik". 

Banyak perempuan yang dinikahkan hanya untuk mengurangi beban ekonomi orang tua atau banyak perempuan mencari laki-laki kaya dan dari keluarga terpandang hanya untuk menaikkan status sosial. Inilah realita yang ada dilapangan, Disinilah pentingnya ilmu agama memberikan batasan yang jelas dan pedoman yang lugas bagi seseorang dalam melakukan sesuatu. Kebebasan memang menyenangkan, tetapi memiliki batasan jauh lebih menenangkan.

Jadi, itulah tiga hal yang harus diperhatikan bagi seseorang yang akan memutuskan menikah atau sudah menikah agar rumah tangga tidak harus mengalami broken home. Karena akan ada banyak kehidupan yang menjadi korban saat keluarga sudah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun