Mohon tunggu...
Umu Fatimiah
Umu Fatimiah Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis freelance

Aktif dalam dunia literasi sejak tahun 2010 dengan diterbitkannya ebook kumpulan cerpen yang berjudul Cerita Senja. Beberapa karyanya telah diterbitkan di beberapa surat kabar, diantaranya Radar Tegal, Koran Pantura, Lampung Post dan Solo Post. Beberapa karya tersebut antara lain seperti cerpen Sularsih (2015), artikel Membangun Karakter Anak melalui Kebiasaan Membaca (2017), cernak berjudul Usaha Ardi (2018), Kibaran Merah Putih (2018), Sekolah Baru (2018), Pertunjukan Wayang (2018) serta beberapa karya yang lain. Pernah menjadi juara 2 lomba Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Tingkat Provinsi tahun 2019. Tergabung dengan facebook atas nama Umu Fatimiah. Alamat email yang bisa dihubungi mualim.kenshin@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gelak Tawa Suharto

2 November 2020   22:43 Diperbarui: 2 November 2020   22:45 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Suharto berhasil melewati gubuk di seberang rel, mendadak langkahnya melambat. Ia melihat hal yang tak biasanya di lingkungan rumahnya. Semuanya nampak berantakan dan rata dengan puing. Ia tak menemui bangunan rumahnya, meski ia tahu dengan pasti bahwa di depan sana adalah letak rumah yang biasa ia tinggali bersama dengan anak-istrinya. Ia melihat sekitar dan memang lingkungan tempat tinggalnya itu telah berubah menjadi puing-puing bangunan yang berserakan.

Di depan sana diantara reruntuhan rumahnya, Suharto melihat anak dan istrinya tengah menangis sambil memunguti dan merapikan barang-barang yang masih tersisa. Ia berjalan perlahan menghampiri keluarganya dengan wajah lesu. Harapannya untuk menikmati hidup walau sesaat telah sirna. Istrinya berkata padanya dengan suara sendu, "Rumah kita dihancurkan pak. Mereka bilang rumah ini mengganggu tata ruang kota dan penyebab banjir ibu kota."

Suharto mematung dan tak dapat berkata atau berbuat apapun lagi. Perlahan ia tersenyum, kemudian tertawa lirih dan semakin lama semakin keras. Istri dan anaknya memandangnya dengan pandangan sayu. Gelak tawa Suharto serta tangisan istri dan anaknya  pecah di tengah-tengah kebisuan malam.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun