Tahun politik semakin dekat, begitu pula dengan pendukung calon tertentu yang sudah mulai menunjukkan dukungannya. Ditambah dengan adanya media sosial yang bisa dijangkau oleh semua kalangan, membuat netizen saling berargumen hingga memunculkan sebutan-sebutan khusus seperti #kadrun, #cebong, dan #kampret.Â
Adanya sosial media membuat masyarakat pada umumnya bisa bebas bereksplorasi dan kreativitasnya masing-masing untuk berpartisipasi dalam politik. Melalui media sosial, konten politik beresonansi lebih pasif cepat dan efisien.Â
Lihat juga:Â Mahasiswa Umsida Asal Gaza Ceritakan Kondisi Gaza Melalui Lazizmu Jatim
Namun, dibalik sisi positif tersebut, tentu ada hal negatif yang diakibatkan oleh penggunaan media sosial. Salah satunya yang terdapat pada riset dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) yang berjudul Konstruksi Identitas Politik di Instagram: Menyingkap Gerakan Tagar Kadrun dalam Pemilihan Presiden 2024 di Indonesia oleh Ferry Adhi Dharma MIKom.
Munculnya #Kadrun di beberapa akun buzzer
Tokoh yang menjadi fokus utama pada penelitian ini adalah calon presiden yang dideklarasikan oleh partai Nasdem, Anies Rasyid Baswedan. Deklarasi tersebut membuat media sosial semakin ramah, khususnya Instagram. Instagram lebih ramai diperbincangkan dengan adanya sebutan yang sempat viral pada pemilihan presiden 2019 lalu yakni #kadrun, #cebong, dan #kampret. #kadrun dalam penelitian ini, memiliki jangkauan pengikut terbanyak dibandingkan dua tagar lainnya, yakni sebanyak 2.990.870 dengan 886 konten. Sedangkan #cebong sebanyak 2.734.080 yang memiliki 303 konten, dan #kampret sebanyak 2.529.764 dengan 428 konten.
Lihat juga:Â Didampingi Umsida, Staimpro Saat ini Dapatkan 1116 Mahasiswa
Seperti yang diketahui bahwa saat Pemilu tahun 2019 muncul #cebong dan #kampret yang membawa isu politik identitas antara islam radikal dan islam tradisional. #cebong diperuntukkan untuk pendukung Jokowi dan #kampret untuk pendukung Prabowo. Lalu bertambah dengan #kadrun ketika muncul gerakan 212 untuk menyerang kelompok Islam oposisi yang melekat pada sosok Anies Baswedan.
Dengan menggunakan analisis framing Zhong Dang Pan dan Gerald M Kosicky, riset ini meneliti konten #kadrun di media sosial Instagram sejak 3 Oktober tahun lalu hingga 3 Mei 2023. Dari penelitian ini ditemukan tiga akun yang menjadi kontributor paling aktif dalam penggunaan #kadrun yakni akun Instagram @bukankadalgurun, @kadrunbahlul, dan @demokratzy merupakan satu kelompok pendengung atau buzzer yang mengkonstruksi identitas Anies Baswedan sebagai politikus Islam radikal dan memiliki cita-cita mengubah sistem negara demokrasi menjadi khilafah.Â
Strategi marketing buzzer
Pada dasarnya, penggunaan buzzer dalam strategi marketing adalah hal yang biasa, terlebih dalam usaha membangun citra dan memperluas jangkauan promosi dengan membuat gerakan tagar. Dalam hal ini, buzzer merupakan aktor-aktor terampil yang memahami wilayah promosi dan strategi penyusunan pesan sehingga kecil kemungkinan ada faktor ketidaksengajaan ketika menyusun pesan dan mengunggahnya di media sosial.Â
Aktor-aktor terampil ini dalam istilah Giddens dikenal sebagai agen dimana mereka telah memahami media sosial dan berhasil menciptakan sebuah polarisasi pemilih dan tren politik di media sosial dengan pengetahuan dan skill yang dibutuhkan dalam pemasaran di media sosial. Bedanya, buzzer politik merupakan agen terampil yang tidak diketahui identitasnya secara jelas, namun memiliki legitimasi di masyarakat tentang keahliannya dalam menciptakan tren politik di media sosial.
Dampak #Kadrun terhadap citra Anies Baswedan
Framing Anies Baswedan sebagai idola kelompok Islam radikal dilakukan dengan cara memberi nama Anies Baswedan menjadi Wan Abud, dan selalu memberi background berita online yang menampilkan kelompok dengan pakaian budaya Arab dan foto Rizieq Shihab. Meskipun foto tersebut tidak digunakan oleh portal berita online yang dikutip oleh buzzer, portal berita tersebut digunakan sebagai legitimasi bahwa framing yang dibuat oleh buzzer faktual, aktual, dan dibutuhkan penelitian lebih mendalam apakah portal berita online yang dipilih juga termasuk dalam jaringan buzzer di media sosial mengingat pesan yang disampaikan senada dengan framing yang dilakukan oleh buzzer.Â
Lihat juga:Â Ini 7 Pernyataan PP Muhammadiyah Tentang Perang Israel-Palestina
Penyajian opini yang dilakukan oleh buzzer melalui #kadrun jelas mengarah pada konstruksi politik identitas Anies Baswedan yang negatif karena melibatkan unsur psikologis yang dalam "agama dan etnis". Konstruksi politik identitas pada agama dan etnis telah menjadi suatu kecenderungan di media sosial sejak terjadinya ajang politik pada Pemilu 2019. Agama merupakan objek yang rawan terkonstruksi demi kepentingan ekonomi dan politik. Dalam pandangan akademisi bidang agama dan politik, afiliasi agama penting untuk menumbuhkan sikap dan partisipasi politik yang lebih baik, namun banyak orang pada akhirnya terjebak pada hal yang negatif ketika mencampuradukkan afiliasi agama dengan identitas politik sehingga menjadi politik identitas.
Keberadaan buzzer untuk menjatuhkan lawan politik
Dari #Kadrun, buzzer tidak hanya menciptakan konstruksi politik identitas Islam Radikal, namun juga menyerang semua kelompok oposisi, meskipun pada awalnya tagar Kadrun digunakan untuk melabeli kelompok 212 dan oposisi kelompok Islam keturunan Arab. Walau Anies tidak beroposisi dengan pemerintah ketika menjabat sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, namun Anies juga dibingkai sebagai pendukung gerakan oposisi Islam garis keras, termasuk juga partai-partai yang dinilai buzzer sebagai partai oposisi,.
Fenomena buzzer telah menjadi perhatian dunia. Mengutip penelitian yang dilakukan oleh Bradshaw & Howard pada tahun 2019, di 70 negara menemukan 89% telah menggunakan buzzer untuk menyerang lawan politiknya. Kecenderungan buzzer ini menggunakan akun palsu untuk mengkonstruksi politik identitas lawan politiknya. Hal ini tentu memunculkan ketidakpastian fakta dalam konten yang dibuat oleh buzzer, oleh karenanya. Buzzer menggunakan kutipan portal berita online untuk meyakinkan masyarakat dan menghubungkan unsur pendukung lainnya.Â
Lihat juga: Cegah Gerakan Radikal Melalui Integrasi Darul 'Ahdi wa Syahadah
Seperti penekanan judul, angle foto dan background, penggunaan istilah Wan Abud, khilafah, dan selalu menekankan struktur kalimat di tiap konten pada siapa dan mengapa, yang dalam hal ini Anies atau pendukungnya melakukan tindakan tercela karena ingin mendirikan negara khilafah. Istilah-istilah penggunaan bahasa obyektif tersebut dalam sebuah konstruksi realitas oleh Berger disebut sebagai objektifikasi.Â
Proses ini adalah usaha untuk meyakinkan komunikan bahwa apa yang telah disosialisasikan dianggap objektif dan sudah sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang ada di masyarakat. Misalnya berulang kali mendengungkan kata khilafah dan Islam radikal untuk meyakinkan masyarakat bahwa Anies dan para pendukungnya adalah kelompok intoleran yang tidak sesuai dengan cita-cita Pancasila.Â
Penulis: Romadhona S
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H