Peraturan tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang tertuang dalam PP Nomor 21 Tahun 2024 langsung menuai protes dari banyak kalangan, dari buruh hingga akademisi. Pakar ekonomi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Kumara Adji Kusuma SFilI CIFP turut menyoroti kebijakan ini.
Lihat juga: Polemik Tapera, Pakar Umsida: Perlu Dikaji Ulang
Program pemerintah ini sebelumnya pernah diajukan namun akhirnya ditolak. Tepatnya pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Peraturan tersebut, dinilai tidak win-win solution terhadap masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).Â
Kementerian keuangan kala itu, Chatib Basri sependapat dengan argumen RUU Tapera harus diikuti dengan adanya program pemerintah untuk membuat Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dapat memiliki akses terhadap perumahan. Tetapi skemanya harus 'win-win', MBR memperoleh akses rumah yang tidak memberatkan, di sisi lain tidak menimbulkan risiko fiskal yang tinggi dalam jangka panjang.
Tapera bertujuan mengumpulkan dan menyediakan dana berbiaya rendah dengan durasi panjang demi mendukung pembiayaan perumahan. Gaji pekerja akan dipotong untuk Tapera baik bagi pekerja di lingkup pemerintahan, swasta, maupun mandiri.
PP Tapera menyebutkan bahwa pekerja akan dikenakan potongan gaji sebesar 2,5 persen untuk Tapera. Sementara pemberi kerja menanggung 0,5 persen. Bagi pekerja mandiri, potongan penuh sebesar 3 persen.Â
"Potongan ini diterapkan langsung dari penghasilan para pekerja tersebut. Catatan pentingnya, bahwa sifat kepesertaan Tapera adalah wajib. Dana yang sudah dikumpulkan bisa diambil saat pensiun," ucap dosen prodi Manajemen tersebut.
Potensi dana Tapera
Pada tahun 2023, jumlah pekerja di Indonesia mencapai 139,85 juta orang. Pekerja tersebut terdiri dari beberapa kategori berdasarkan sektor pekerjaan dan status pekerjaan:
Pekerja Formal dan Informal: