Kedua adalah kontrol sosial, yang bisa dilakukan melalui dua cara. Cara yang pertama adalah kita memberi sanksi sosial pada pimpinan yang tidak menepati janjinya.
Di banyak negara maju, sanksi sosial itu sangat berat. Sehingga banyak pemimpin itu mundur karena lebih takut sanksi sosial dari pada sanksi politik.
Counter Culture
Kontrol sosial yang kedua, kita tidak perlu memberi sanksi tetapi kita memberi model dan keteladanan kita sebagai pribadi dan institusi, itu kita sebagai contoh.
"Menjadi pribadi yang amanah, menepati janji, dan senantiasa menjadi organisasi yang membangun trust, kepercayaan dengan prinsip-prinsip clean government dan good government," jelasnya.
Keteladanan ini dalam konteks tertentu itu bisa menjadi counter culture, bagian dari counter budaya, yang memang dalam hal tertentu berani melawan arus atau tidak ikut arus. Kalau arusnya tidak kuat kita lawan. Ini memang berat.
"Paling enak memang ikut arus, ngintir seperti Bengawan Solo itu, mengalir sampai jauh akhirnya ke laut. Pas mengalir enak, pas kecebur kaget, jebule segara (tiba-tiba sudah sampai laut)," imbuhnya.
Atau yang kedua, bertahan agar tidak hanyut. Tidak kintir di tengah arus yang begitu kuat. Itu yang dalam hadits nabi disebut seperti memegang bara di genggaman tangan. Beratnya luar biasa.
"Nah atau yang ketiga, melawan arus. Kalau melawan itu memang betul-betul kuat. Nah, kira-kira kalau kita itu melawan, kuat atau tidak. Kalau sudah anggotanya sedikit, miskin-miskin, kok melawan arus. Itu kira-kira bagaimana?" tanya Mu'ti secara retorik.
Dua Pilihan
Maka dari itu pilihan kontrol sosial itu bisa dilakukan dengan dua cara yang paling mungkin untuk dilakukan, pertama adalah bertahan supaya tidak kintir atau tidak ikut arus. "Atau yang kedua, bagaimana kita tetap memberikan counter culture dengan tidak ikut arus," paparnya.