Ini menjadi metafora tentang tubuh politik untuk menjelaskan proses disintegrasi sosial. Ada daftar panjang dari "gejala" pembusukan sosial, Tindakan kerusakan/korup oleh anggota masyarakat akan membawa pembusukan yang menular ke seluruh organ tubuh.
Lihat juga: MK Perbolehkan Parpol Kampanye di Tempat Pendidikan, Pakar Hukum Umsida Beri Tanggapan
Kita postulatkan yang dialami masyarakat yang korup itu itu berawal dari bandar narkoba. Bandar narkoba menularkan pembusukan dengan penyebaran narkoba. Dan pembusukan itu pun telah menjalar dalam kepolisian kita. Dan kini telah nampak pertama kali ada serombongan polisi ditangkap karena terlibat narkoba dan "pesta" narkoba itu dipimpin seorang Kapolsek. Ke-12 polisi yang menggunakan narkoba itu seperti gerombolan mafia narkoba yang sedang beraksi, yang dipimpin bosnya, seorang kapolsek. Bagaimana pun kasus yang sangat memalukan ini merupakan deskripsi telak tentang pembusukan tersebut.
Sulitnya menemukan kebenaran
Proses pembusukan itu dimulai ketika bandar narkoba dan para polisi bejat itu berusaha untuk mengaburkan makna kebenaran, sehingga antara kebenaran dan kepalsuan tidak bisa lagi dibedakan, benar dan salah menjadi pudar batas-batasnya. Seperti dijelaskan oleh Jean Baudrillard dalam Simulacra dan Simulation (1981). Baudrillard menggambarkan tentang realitas hiper yakni ketika polisi yang telah sekaligus menjadi penjahat; hakim yang juga sekaligus melanggar hukum, dst.ketika kebenaran tidak bisa lagi dipegang nilainya. Kondisi ini dijelaskan sebagai simulacrum.
Pemujaan yang menunjukkan betapa irasionalnya perilaku konsumtif orang-orang yang rela melepas nilai yang diyakininya hanya untuk memuaskan nafsu, insting, dorongan dan impuls. Kolektivitas yang muncul adalah semu. Segerombolan orang riang gembira menikmati kebersamaan mereka. Kemudian kembali terpecah menjadi individu-individu yang menjemukan dengan rutinitas yang itu-itu saja. Ini adalah sebuah simulakrum
Kehancuran dimulai dari rusaknya moral
Dalam bukunya yang berjudul Collapse: How Societies Choose to Fail or Survive, Prof. Jared Diamond menggambarkan kolapsnya berbagai peradaban dunia, mulai dari peradaban kuno di Montana, Kepulauan Pitcairn dan Henderson, Anasazi, Maya, Viking, Norse Greenland, hingga peradaban modern di Rwanda, Dominika, Haiti, China, dan Australia.Â
Buku yang ditulis tahun 2004 itu menjelaskan faktor penghancur peradaban itu sangat beragam dan mungkin kompleks. Satu sama lain saling berkaitan. Dan, masyarakat memilih sendiri kehancurannya atau keselamatannya. Bisa jadi apa yang terjadi dalam perpolitikan Indonesia saat ini merupakan indikasi bahwa kita memilih kehancuran kita sendiri.
Lihat juga: Tanggapi Judi Online, Pakar Hukum Umsida: Aparat Bisa Bekerjasama dengan Google
Bagi Diamond, sosok penulis yang bukunya Guns Germs and Steel merupakan favorit Bill Gates ini mengungkapkan persoalan mendasar yang dihadapi oleh masyarakat global saat ini adalah kendali diri Perilaku. Kendali diri perilaku yang bermuara pada akhlak ini berkontribusi besar pada keruntuhan peradaban.
Hal senada disampaikan oleh pakar sejarah peradaban dunia Prof. Arnold J. Toynbee (lahir 1889- wafat 1975)yang menyimpulkan, bahwa banyak peradaban yang hancur (mati) karena "bunuh diri" dan bukan karena benturan dengan kekuatan luar. Toynbee tidak menekankan pada wacana clash of civilizations seperti yang digagas oleh Samuel Huntington yang menggambarkan kehancuran peradaban lain karena benturan, tetapi lebih menekankan pada aspek "peran dinamis agama dan spiritualitas dalam kelahiran dan kehancuran suatu peradaban."
Dalam studinya yang mendalam dan panjang tentang kebangkitan dan kehancuran peradaban, Toynbee menemukan, bahwa agama dan spiritualitas memainkan peran yang luar biasa dalam jatuh dan bangunnya sebuah peradaban. Karena itu aspek spiritual memainkan peran sentral dalam mempertahankan eksistensi suatu peradaban. Peradaban yang telah hilang inti spiritualitasnya, maka ia akan mengalami penurunan bahkan kehancuran.